Jacques Derrida adalah seorang keturunan Yahudi, Ia lahir pada tanggal 15 Juli 1930 di El Biar salah satu wilayah terpencil di Aljazair. Pada tanggal 9 Oktober 2004 Derrida menghembuskan nafas terakhirnya di Paris. Derrida dikenal karena pergaulannya yang luas dengan sesama intelektual Prancis, di antaranya Foucault dan Althuser.
Di samping itu Derrida juga dikenal sebagai seorang filsuf yang filsafatnya berbeda dengan pengertian filsafat pada umumnya. Di mana ia lebih memilih untuk menjadikan filsafatnya sebagai sebuah penafsiran.
Dalam menafsirkan teks-teks filosofis, Ia hendak mencari kelemahan-kelemahan yang tersembunyi dalam teks. Dengan mencari kelemahan-kelemahan itu, Derrida hendak menunjukan pada kita bahwa tak ada makna yang stabil dalam teks.
Jika filsafat umumnya cenderung untuk mengejar kebenaran yang didasarkan atas rasionalitas maka pada Derrida kita akan melihat bagaimana Ia akan menggugat dan mempertanyakan kebenaran-kebenaran yang hendak dikejar ataupun dicapai oleh filsafat itu sendiri.
Hal ini dilakukannya tidak lain untuk membebaskan penafsiran dari beban makna dan menjadikan proses pembacaan teks sepenuhnya lepas dari kuasa-kuasa yang hendak menstabilkan penafsiran dalam satu makna tertentu. Metodenya yang juga “anti-metode” adalah dengan mendekonstruksi pengandaian-pengandaian yang paten dalam teks dan memperlihatkan kompleksitas penafsiran yang mungkin dicerap dari teks[1].
Dekonstruksi merupakan sebuah teori dengan dimensi yang sangat luas, di mana ia selalu membuka diri untuk ditafsirkan. Bahkan Derrida sendiri menolak untuk membatasi pengertian dekonstruksi dalam satu defenisi.
Namun, secara umum dapat dipahami bahwa dekonstruksi merupakan metode pembacaan teks secara sangat cermat, hingga pembedaan konseptual hasil ciptaan penulis tampak tidak konsisten. Lebih jauh lagi dekonstruksi yang diradikalkan oleh Derrida yang awalnya digagas oleh Heidegger dengan istilah destruksi, dapat dikatakan lebih bersifat antiteori atau bahkan antimetode sebagaimana disebutkan di atas, hal ini dikarenakan elemen yang terkandung di dalamnya berupa permainan dan parodi.
Kecenderungan antiteori atau antimetode inilah yang menyebabkan dekonstruksi mendapat tanggapan cukup serius dari kalangan ilmuwan, terutama dari mereka yang masih berpegang teguh pada positivisme dan ajaran “modernis”.
Mereka yang keberatan dengan dekonstruksi, cenderung menganggap bahwa metode ini bersifat relativis dan bahkan nihilistik, sehingga pada akhirnya dikatakan bahwa dekonstruksi hanyalah intellectual gimmick yang tidak berisi apa-apa selain permainan kata-kata.
Sungguh sangat disesalkan anggapan yang dilontarkan terhadap pemikiran Derrida tersebut. Dan tentunya, tidak ada alasan yang cukup dari mereka untuk menyatakan keberatannya atas pemikiran Derrida jika saja mereka melihat dan meletakan pemikirannya pada konteks yang lebih luas.
Karena tentunya, dekonstruksi dalam pemikiran Derrida ini merupakan reaksi dan kritik atas modernisme dengan segala proyeknya yang secara keseluruhan terkait dengan kemajuan, ditandai oleh adanya kapitalisme dan individualisme.
Sebagai sebuah proyek, modernisme tentu tidak dapat dipisahkan dari asumsi-asumsi filosofis yang kemudian membentuk pandangan dunia dan menjadi fondasi dasar dari seluruh bangunan epistemologinya. Di mana asumsi yang kemudian berakar kuat dalam filsafat modern antara lain mengatakan bahwa pengetahuan senantiasa bersifat objektif, netral, bebas nilai, serta berasumsi bahwa rasio dan akal budi merupakan satu-satunya sumber dan otoritas yang memiliki kebenaran tak tergugat.
Hal inilah yang kemudian melatarbelakangi lahirnya dekonstruksi sebagai bagian dari corak pemikiran di era postmodernisme yang pada dasarnya ingin mempertanyakan dan meruntuhkan klaim-klaim yang dianut oleh modernisme dalam mempertahankan proyek pencerahannya.
Sebagaimana diketahui bahwa modernisme selalu mencari dasar universal pengetahuan (fondasionalisme). Sehingga dasar itu mereka jadikan sebagai neraca dalam mengukur kebenaran pengetahuan. Subjek sebagai yang mengetahui diharapkan mampu menemukan kepastian tentang realitas.
Dalam hal ini, tentu kita dapat melihat bagaimana manusia dijadikan sebagai subjek dan dunia sebagai objek. Dengan kata lain, filsafat modern membagi antara subjek (manusia) dan dunia objektif dalam hal menjalankan ambisinya untuk menemukan pengetahuan yang benar dengan menjadikan manusia sebagai subjek yang mengorganisasikan gagasan-gagasan yang logis dan tepat sehingga representasi ataupun keserupaan objektif yang dikonsepsikan itu dapat sesuai dengan kenyataan.
Dari penjelasan di atas dapat kita temukan satu perbedaan mendasar antara modernisme dan postmodernisme khususnya dalam pemikiran Derrida. Sebab, pembacaan dekonstruktivis yang ditawarkan oleh Derrida sangat bertolak-belakang dengan filsafat modern, khususnya dalam ranah pemikiran.
Hal ini dikarenakan kecenderungannya yang anti fondasionalisme. Di mana Derrida selalu mempersoalkan klaim kebenaran dari filsafat dengan memeriksa asumsi metafisik yang menjadi landasan utama filsafat dalam menemukan kebenaran. Dengan kata lain, Derrida ketika membaca teks-teks filosofis menggunakan pembacaan dekonstruktifnya.
Pertama, ia tidak melacak unsur-unsur dari teks-teks tersebut yang sifatnya inkonsistensi logis, argumen-argumen yang lemah, ataupun premis-premis yang tidak meyakinkan, melainkan unsur yang secara filosofis sangatlah menentukan, atau unsur yang menjadikan teks itu filosofis.[2]
Di sini dapat kita melihat bagaimana pendasaran universal dari filsafat mendapat kritikan, khususnya dalam filsafat modern. Hal ini dapat dilihat misalnya dalam pendasaran universal Descartes dengan adagiumnya yang terkenal “cogito ergo sum” (aku berpikir maka aku ada).
Dengan pendasaran ini Descartes membedakan antara pikiran dan realitas. Di mana pikiran menjadi pusat kehadiran sehingga apa pun yang berada di luar diri manusia dianggap sebagai manifestasi pikiran, atau dalam ungkapan Derrida yang diistilahkannya sebagai “logosentrisme” atau “metafisika kehadiran”.
Dalam kaitannya dengan kritikan atas pemikiran filsafat modern atau metafisika barat yang secara keseluruhan adalah metafisika kehadiran (logosentrisme), Derrida berhutang budi pada Heidegger sebagai tokoh pertama yang melakukan kritikan terhadap tradisi metafisika barat yang secara sistematis mempersoalkan sejarah ontologi.
Heidegger beranggapan bahwa metafisika Barat selama ini cenderung berangkat dari cogito atau pikiran, ketimbang bertolak dengan mempertanyakan sum atau ada. Sehingga, sebagai akibatnya, posisi pikiran diletakkan sebagai subjek, pusat atau tolak ukur atas realitas.
Dalam metafisika Barat, subjek dijadikan sebagai pusat yang diabadikan dengan menggunakan pendekatan yang memprioritaskan logos di atas segalanya serta menjadikan logos sebagai suatu yang universal dan mengatasi ruang-waktu.
Akan tetapi hal ini kemudian mendapat kritikan dari Heidegger karena cenderung menguniversalkan logos dan seolah-olah logos terpisah dari ruang-waktu. Sebab dalam pandangan Heidegger, keberadaan logos itu sendiri tidak dapat dilepaskan dari “waktu” atau dimensi “kemewaktuan”.
Keterpisahan antara Ada dan waktu ini dapat kita lihat dalam pemikiran Descartes yang cenderung membedakan antara pikiran dan realitas. Atau dengan kata lain, metafisika Barat selalu mempertanyakan Ada tanpa mempersoalkan hubungan Ada dengan waktu. Padahal keduanya memiliki hubungan yang tak terelakan jika kita berbicara mengenai realitas kehidupan.
Dari pembahasan ini, kita dapat melihat bagaimana upaya Heidegger mengkritisi logosentrisme dengan menggunkan konsep destruksi, cukup berhasil dalam mempersoalkan sudut pandang Cartesian yang memisahkan antara pikiran dan realitas, serta cenderung memusatkan perhatiannya pada cogito. Selain itu, Ia juga berhasil merehabilitasi fungsi ontologi yang selama ini dimandulkan oleh dominasi rasio.
Meskipun demikian, proyek destruksi yang dimulainya dengan mempersoalkan status ontos harus diakui belum sepenuhnya berhasil. Hal ini dikarenakan logosentrisme yang hendak dikritisinya itu, ternyata masih membayang-bayangi sebagian pemikirannya. Terutama dalam konsep aletheia (penyingkapan/ketersingkapan Ada).
Descartes berbeda dari Heidegger yang masih terpenjara oleh dominasi logosentrisme, yang pada kenyataan masih banyak memengaruhi pemikirannya. Dalam ungkapannya, “Heidegger boleh dikatakan gagal menjadikan dekonstruksi sebagai senjata pamungkas dalam meruntuhkan metafisika Barat, dan kalaupun berhasil Ia hanya meruntuhkan bangunan dengan menggunakan batu yang sudah tersedia dalam bangunan itu”.
Derrida hendak “membongkar tanahnya sekalian, dengan cara meledakkannya dan membetot orang secara brutal keluar serta mencanangkan pemutusan hubungan total”.[3] Dalam ungkapannya ini, dekonstruksi Derrida nampaknya sangat berambisi untuk mengakhiri filsafat modern sesegara mungkin.
Mungkin terlihat berlebihan, akan tetapi bukan tidak beralasan, sebab dari penjelasan sebelumnya di atas, kita telah menemukan bagaimana filsafat modern memiliki kelemahan-kelemahan, dengan kecenderungan memprioritaskan yang satu dan mengabaikan yang lain, serta dengan sangat bernafsu menemukan kebenaran final.
Dalam kaitannya dengan filsafat modern, bagi Derrida filsafat modern yang secara umum diistilahkan olehnya sebagai logosentrisme atau pengetahuan yang berpusat pada logos (metafisika kehadiran), tak akan pernah berhasil dalam mencapai ambisinya. Sebab yang dilihat pertama kali oleh Derrida dalam filsafat adalah tulisan.
Dengan beranggapan filsafat sebagai tulisan, maka kebenaran yang diklaim oleh filsafat modern tentu harus diberi tanda silang; atau menunda kehadiran dari kebenaran itu. Inilah salah satu keunikan dari corak pemikiran Derrida, yang selalu menunda kehadiran dari kebenaran yang selama ini diklaim oleh metafisika sebagai kebenaran yang dapat difinalkan/diputuskan.
Selain itu, filsafat dilihat sebagai tulisan dikarenakan selama ini metafisika Barat cenderung memprioritaskan tuturan di atas tulisan. Prioritas tuturan atas tulisan ini dapat kita lihat sampai pada zaman Yunani kuno: Sokrates tidak menulis melainkan berdialog. Sampai pada awal modernisme, kita juga masih melihat adanya dominasi tuturan atas tulisan. Hal ini dapat dilihat pada Descartes yang menemukan kesadaran. Cogito adalah suara ego kepada dirinya sendiri untuk membuktikan eksistensinya.[4]
Dengan tuturan, mengandaikan adanya keserentakan subyek yang berbicara, pendengar dan obyek yang dibicarakan, sehingga dengan menggunakan tuturan itulah dianggap sebagai medium yang sempurna untuk kehadiran kebenaran. Atau dengan kata lain, metafisika kehadiran selalu meniscayakan bahwa kehadiran subyek sebagai si penutur dapat mengontrol interpretasi kebenaran yang dihasilkan.
Seperti yang dijelaskan di atas, Derrida lebih melihat filsafat sebagai tulisan, hal ini dikarenakan subyek sebagai penulis teks tidak ada kehadirannya sehingga ia tidak dapat mengontrol interpretasi kebenaran yang dihasilkan. Artinya,dengan ketidakhadiran penulis maka semua orang bebas untuk menginterpretasi, tanpa harus sesuai dengan apa yang dimaksud oleh si penulis.
Derrida selalu menangguhkan kebenaran yang dianggap sebagai satu-satunya kebenaran yang diperoleh dari metafisika. Ia beranggapan bahwa kebenaran itu tak pernah ada, kalaupun ada ia hanyalah proses yang tak pernah berkesudahan.
Apa yang dicapai oleh metafisika kehadiran sangat berbeda dengan capaian Derrida. Jika pada metafisika kehadiran kebenaran selalu dapat diputuskan, maka pada Derrida kebenaran itu selalu ditangguhkan dan selalu membuka kemungkinan-kemungkinan yang lain.
Sejauh ini kita masih menyaksikan konsistensi Derrida dengan konsep dekonstruksi yang digunakannya untuk menelaah filsafat modern/metafisika kehadiran. Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa Derrida merupakan seorang pemikir yang sangat radikal dalam menelaah teks-teks filosofis.
Sumber bacaan:
[1] Muhammad Al-Fayyad, Derrida
[2] Dikutip dari Sugiharto, Postmodernisme... hlm 44
[3] Ungkapan ini dilihat pada buku yang dituliskan oleh Muhammad Al-Fayyadl, yang dikutip dari Derrida, Margins of Philosophy, hlm.135.
[4] Budi Hardiman, Seni Memahami. Hlm.292