Di dalam sebuah film yang berjudul The Platform (2019) digambarkan sebuah penjara dengan sistem yang berbeda dengan penjara lainnya. Penjara ini memiliki ratusan lantai yang menjulang dari atas ke bawah. Penjara ini sama sekali tidak bisa disebut sebagai penjara, yang memiliki sipir atau penjaga. Di setiap ruangan dimasukkan dua orang dengan lubang tengah kosong yang bisa menghubungkan lantai paling atas hingga paling bawah.
Ketika waktu makan, sebuah meja persegi seukuran lubang tersebut melewati lantai demi lantai. Meja tersebut berisi banyak makanan. Dan akan singgah di setiap lantai dengan durasi tertentu. Sayang, karena makanan ini berpindah dari lantai atas kemudian ke lantai selanjutnya.
Maka yang terjadi lantai berikutnya hanya mendapat sisa bahkan habis sebelum sampai ke lantai paling bawah. Sedang orang-orang di lantai paling atas dengan rakus menikmati segalanya. Maka yang terjadi, para penghuni di penjara tersebut saling mementingkan diri sendiri tanpa memedulikan penghuni di bawahnya. Begitulah sistem yang berajalan dalam penjara.
Saya tidak bermaksud menyamakan kehidupan penjara dengan kehidupan rakyat di bawah kekuasan—seperti penjara. Tapi itulah yang terjadi di masyarakat kita, kebijakan penguasa kadang hanya memihak kepada kalangan atas, yang di atas semakin makmur. Kelas di bawah semakin menderita. Semakin tinggi kedudukan sosial dan ekonomi seseorang maka semakin berkesempatan untuk menikmati kehidupan yang bagus, namun sebaliknya.
Ketika penguasa mengeluarkan kebijakan baru yang tidak tepat maka seringkali yang akan mendapat dampak paling buruknya ialah masyarakat kalangan bawah. Film tersebut sebenarnya tidak berhenti sebatas kekurangan makanan. Namun berujung pada konflik berdarah oleh sesama penghuni. Di mana satu orang ingin memperbaiki sistem, menciptakan keadilan namun yang didapatkan hanya peristiwa saling membunuh satu sama lain.
Lihat saja ketika wacana pajak sembako dan pendidikan diterapakan apalagi dengan sistem sapu rata. Maka lapisan masyarakat bawahlah yang akan merasakan dampaknya lebih dulu. Kebijakan seperti ini terlihat seperti pemalakan yang sering dilakukan preman-preman dalam beberapa sinetron, bukan lagi pajak. Kecuali jika memang penguasa menganggap posisinya merangkap jadi preman.
Kekuasaan merupakan unsur penting dalam kehidupan masyarakat karena perannya dapat menentukan nasib orang banyak. Max Weber memberikan penjelasan bahwa kekuasaan adalah kesempatan seseorang atau kelompok untuk menyadarkan masyarakat akan kemau-mauannya sendiri sekaligus diterapkan kepada tindakan perlawanan dari orang atau golongan tertentu, seperti di tulis N. Manik dalam Kekuasaan dan Kepemimpinan sebagai Proses Sosial dalam Masyarakat.
“Semoga dengan kekuasaan di tangannya rakyat bisa sejahterah”. Setiap kali penguasa berganti kita selalu menaruh harapan agar kekuasaan di tangannya menjadi lebih baik, sebab kekuasaan juga bisa menjadi petaka jika berada di tangan yang salah/tidak berkompeten. Sebab kekuasaan memiliki kekuatan untuk memerintah, mengatur dan memberikan keputusan.
Maka kekuatan sebesar itu mesti keluar berdasarkan kepentingan dan kemaslahatan bersama, bukan berdasar kepentingan nafsu pribadi, kelompok di belakang, atau jangan-jangan tanpa dasar yang jelas?
Berebut Kekuasaan
Dari dulu sampai hari ini kekuasaan selalu menjadi rebutan banyak orang/kelompok. Dengan kekuasaan berbagai keuntungan sangat bisa didapatkan. Dengan kekuasaan, penguasa bisa dicintai sekaligus dibenci oleh rakyatnya.
Kekuasaan ibarat lingkaran kenikmatan. Sekali memegang kekuasaan maka berbagai cara dilakukan untuk melanggengkannya. Jika usia kekuasaan itu dibatasi oleh aturan maka dengan kuasa kekuasaan akan dibuatkan aturan baru untuk tetap melanjutkannya. Sesederhana itu.
Maka ketika wacana masa tiga periode untuk presiden terdengar, sejatinya kita telah melihat wajah kekuasaan yang sesungguhnya. Kekuasaan adalah tulang punggung bagi dirinya untuk menikmati kekuasaan di hari esok. Maka tak jarang untuk melanggengkan suatu kekuasaan berbagai cara dilakukan. Misalnya saja kekuasaan menjalin hubungan romantis dengan agama.
Agama seringkali digunakan sebagai alat untuk melanggengkan satu kekuasaan ke kekuasaan lainnya. Selain itu agama digunakan sebagai alat untuk melegitimasi dan memberikan dukungan sosial. Namun ketika agama dianggap menjadi ancaman bagi penguasa, maka agama kemudian disingkirkan, dituduh atau bahkan dihadap-perhadapakan dengan situasi kebimbangan, misalnya dalam tes wawasan kebangsaan KPK “pilih Al-Qur’an atau Pancasila?”.
Ketika ada sesuatu yang meronrong eksistensi kekuasaan maka sesegera mungkin disingkirkan, jika itu adalah individu maka akan kehilangan jabatannya, jika itu adalah organisasi maka akan dibubarkan.
Selain film, kisah tentang kekuasaan bisa ditemukan dalam drama Korea Arthdal Chronicles (2019), memperlihatkan kekuasaan menjadi rebutan suku-suku. Dalam drama ini, tokoh yang bernama Tagon melakukan berbagai upaya untuk merebut kemudian mempertahankan kekuasaan yang ada digenggamannya, dengan cara apapun.
Sedangkan tokoh yang bernama Tan Nya memutuskan untuk berjuang merebut kekuasaan dengan caranya sendiri. Disebabkan karena mengalami kekecewaan dan dendam terhadap penguasa. Lantaran drinya dan keluarganya dibuat menderita oleh penguasa yang tidak bisa ia lawan tanpa kuasa di tangannya.
Terakhir, dalam esainya Sebuah Seni untuk Memahami Kekuasaan, Phutut EA menuliskan bahwa di negeri ini kekuasaan memang mudah di konsolidasi, tapi begitu tidak berkuasa mudah rapuh dan rontok.
Phutut melihat jejak beberapa mantan calon penguasa negeri ini ketika berkuasa, memiliki kekuasaan yang sangat besar namun ketika tidak lagi memegangnya, seketika terjun bebas. Kekuasaan bukan hanya tidak abadi, tapi juga cepat pergi. Begitu Phutut menutupnya.