Film Autobiography garapan sutradara sekaligus penulis Makbul Mubarak akhirnya bisa saya tonton di bioskop, setelah film tersebut berkeliling di berbagai festival film mancanegara hingga festival film internasional.
Film bergenre suspense thriller ini berhasil membuat saya tegang hingga beberapa saat. Sutradara Makbul Mubarak berusaha menyuguhkan cerita yang mengksplorasi relasi antarmanusia dan kekuasaan, selain itu, ia juga mencoba mengungkap dan mengangkat sisi gelap kekuasaan melalui sudut pandang yang intim dan personal.
Film ini sebenarnya bukan film dengan alur cerita rumit, kisah didalamnya menggambarkan hubungan seorang majikan yang bernama Purna (Arswendy Bening Swara) dan asisten rumah tangga bernama Rakib yang diperankan (Kevin Ardilova).
Namun dibalik alur cerita yang tidak rumit tersebut, justru saya bisa merasakan kengerian, ketakutan yang mencekam di beberapa adegan, mulai dari peristiwa penyiksaan di kamar hingga kematian Agus yang diperankan oleh Yusuf Mahardika, pemuda desa yang cukup berani menyuarakan pendapatnya.
Berlatar belakang pedesaan di kelahiran saya Bojonegoro Jawa Timur, rupanya ada alasan tersendiri mengapa sutradara memilih Bojonegoro sebagai lokasi syuting Autobiography. Menurutnya, seperti dikutip dari laman Hypeabis.id. Bojonegoro adalah salah satu daerah di Indonesia yang cenderung memiliki kondisi cuaca yang panas, sehingga mampu mendukung suasana yang coba dibangun dalam film tersebut.
Cuaca panas Bojonegoro rupanya benar-benar memberi sumbangsih pada amarah tokoh-tokoh dalam film ini sehingga sutradara berhasil mengembangkan hubungan personal itu menjadi sebuah ketakutan bahkan trauma yang kerap kali terjadi pada masyarakat di negeri ini.
Singkat cerita, film ini berpusat pada sosok Rakib yang mendampingi Purna ketika menjalani masa pensiunnya sebagai Jendral. Rakib menjadi pendamping Purna sehari-hari.
Di awal cerita digambarkan Rakib mengagumi sosok Purna ibarat anak mengagumi seorang ayah. Rakib yang polos dan patuh menuruti semua keinginan yang kebutuhan Purnawinata, hingga akhirnya ia menjadi orang kepercayaan, bahkan teman-temannya memanggilnya Sersan.
Seiring kepercayaan antara keduanya tumbuh, relasi antara keduanya berubah lantaran Rakib mengetahui sejauh apa dan seberapa berbahayanya kekuasaan yang dimiliki majikan atau Sang Jendral.
Dalam benak saya berpikir, pada satu titik, mengidam-idamkan seseorang atau sosok tertentu dalam hidup adalah hal yang sangat wajar, akan tetapi, tak selamanya apa yang diodalakan bisa selalu ideal, terutama bila semuanya sudah terlalu ekstrem seiring berjalannya waktu.
Max Weber mengartikan kekuasaan atau power sebagai peluang atau sarana bagi seorang individu untuk dapat mencapai keinginannya sendiri bahkan sekalipun harus menghadapi perlawanan dari orang lain, dalam hubungan sosialnya. Pada film tersebut digambarkan oleh sosok Agus pemuda desa yang berani menyuarakan haknya yang kemudian hidupnya berakhir naas dan mengerikan.
Politisi sekaligus Filsuf abad ke-19 Lord Acton pernah mengatakan “power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.” Pada film ini digambarkan peran Jendral Purnawinata adalah gambaran dari digdayanya kekuasaan itu sendiri, hebatnya kekuasaan yang dieksplorasi dalam film ini bukanlah kekuasaan yang vulgar dan kasar, melainkan kekuasaan yang menyelinap dalam diam melalui tindakan-tindakan yang lembut. Tak heran, jika banyak ulasan yang menyebut ada bapakisme di film ini, pada pengamatan saya, kekuasaan itu memang berwujud dalam figure bapak.
Sosok Jendral selain memiliki keistimewaan yang melekat pada jabatan dan kekuasaan, ia juga memiliki privillage yang bisa dinikmati di jalan dan tempat-tempat tertentu, dikenal banyak orang, mendapatkan perlakukan khusus bahkan dengan jumlah ajudan yang berlimpah untuk melayani urusan yang berbeda-beda, ia bisa menentukan hak mengambil keputusan dan otoritas untuk memerintah.
Banyak orang yang melayaninya karena takut, banyak orang yang menghormatinya karena kekuasaan dibaliknya, banyak dari mereka yang tidak berani membantah perintahnya karena diharuskan begitu, menurut pada wewenang dan apa yang menjadi kehendak dalam dirinya.
Dalam film tersebut, Purnawinata berhasil hadir sebagai sosok laki-laki berkuasa yang seluruh hidunya diasuh oleh rezim otoriter, meski dalam film digambarkan setting pada tahun 2017 namun cara-cara yang diperankan adalah warisan masa lalu pada zaman orde baru. Sementara Rakib adalah simbol dari korban kekuasaan itu sendiri.
Hemat saya, Autobiography adalah film pembuka awal tahun yang berani dan menghantui bagi penikmatnya. Penggambaran desa benar-benar terasa utuh, ditambah minimnya dialog membuat suasana film ini hening lenggang namun mendebarkan. Banyak yang disajikan secara tersirat maupun tersurat lewat adegan dan angle. Sampai pada akhir film ditutup dengan adegan yang menyimpan segudang pertanyaan di kepala, penulis dan sutradara sepertinya enggan mengakhiri kisah film ini, seolah ia meminta penonton untuk menyimpulkannya sendiri.
Ditutup dengan original soundtrack ambilkan bintang yang dinyanyikan oleh Sal Priadi semakin melengkapi keseluruhan tema film ini. Saya masih berharap film ini akan bertahan lebih lama di bioskop dan disaksikan oleh banyak orang, karena kisah yang diangkat sangat layak ditonton oleh masyarakat dan generasi muda.