Jutaan dan triliunan manusia saat ini kehilangan moral: penyebab utamanya adalah fiksional. Tetapi penderitaan yang sesungguhnya adalah 100 % nyata. Ini pentingnya kita membedakan fiksi dari realitas.

Fiksi itu baik, yang buruk – fiktif. Sedangkan fiksi adalah kreativitas manusia. Imajinasi manusia. Tanpa kisah-kisah dan cerita panjang tentang fiksi, peradaban, sejarah dan pengalaman-pengalaman manusia. Fiksi itu tidak akan bisa berfungsi. Tidak akan ada. Sebab fiksi adalah energi yang mangaktifkan imajinasi.

Tetapi jika fiksi menghilangkan realitas. Itu bukan fakta, melainkan imateri.

Kenapa imajinasi kita itu lebih penting daripada pengetahuan?

Karena kerja fiksi (proses imajinasi), itu lebih baik daripada kerja fiktif: supranatural. Sebab energi fiksi adalah energi yang mampu menghidupkan daya imajinasi. Seperti Anda  mempercayai agama: ibadah, sholat, negara, pekerjaan dan korporasi. Semua yang kita percaya tentang agama, negara, dan korporasi itu adalah fiksi. Kita akan kehilangan realita, dari dunia fiksi menuju dunia kenyataan. Jika kita memakai energi fiktif. Sebab fiktif itu hanya sebagai kebohongan: taklid buta dan mengada-ngada. Tanpa ada sesuatu bukti empiris-Nya yang kuat.

Berbeda dengan agama: itu dapat menciptakan imajinasi lebih dari apa yang diciptakan robot, mesin dan komputer. Berkat bantuan bioteknologi dan algoritma, agama, komputer dan big data tak akan mustahil menghitung, seberapa besar fiksi akan menguasai esensi dan eksistensi-Nya manusia dari realitas.

Tetapi fiksi dan realitas akan mampu membentuk tubuh, otak, dan pikiran manusia seutuhnya - lengkap dengan surga dan nerakanya. Selain dapat membedakan agama dari sains, serta juga bisa menyamakan imajinasi dari kenyataan.

Misalnya, sebagai kesalahfahaman besar manusia memahami fiksi dan sains adalah merupakan definisi keliru tentang agama. Terlalu sering kita mengcampuradukan agama dengan tahayul, fiksi dengan supernatural, dan keyakinan terhadap kekuatan spiritulitas, atau kepercayaan pada dewa-dewa.

Agama jelas bukan hal-hal seperti itu, agama tak bisa disamakan dengan tahayul. Karena sebagian kita percaya, agama tak mungkin menyebut kepercayaan yang kita pahami adalah "tahayul". Kita percaya dan yakin agama adalah ajaran kebenaran; hanya orang-orang keliru memahami agama – yang percaya agama adalah tahayul.

Demikian juga, hanya sedikit orang-orang yang mengerti tentang fiksi yang mengcampuradukan imajinasi dengan kekuatan supranatural. Mereka yang percaya pada dewa-dewa, hantu, arwah dan makhluk halus atau makhluk yang misterius: mereka jelas bukan supranatural. Mereka adalah bagian integral - komperehensip seleksi alam seutuhnya. Mereka semua pada dasarnya bagian dari alam. Sama seperti ular, kalajengking, harimau dan bakteri.

Bagi mereka yang kering imajinasi akan tetap menyebut; binatang itu tidak ada hubungan dan otoritas tertinggi terhadap orang-orang yang supranatural, selain makhluk yang sesungguhnya.

Jika dokter modern, membedah anjing Anda yang sakit. Salah satu pertanyaan kamu adalah kenapa anjing saya sakit dok? Dokter menjawab. “karena jenis makanan yang Anda beri terdapat mengandung banyak bakteri”. Anda tidak percaya bahwa dukun, ustad, uskup dan pendeta adalah orang-orang yang Anda percayai mampu mengusir hantu, arwah dan makhluk halus. Dari jenis-jenis penyakit dan bakteri hingga makhluk misterius. Tidak sedikitpun mereka tak paham.

Tetapi, Anda yakin: lebih memilih dokter daripada mempercayai makhluk ghoib. Dokter menyalahkan penyakit pada jenis yang tak terlihat. Ustad membenarkan penyakit pada jenis supranatural: kutukan tuhan. Sementara pendeta percaya penyakit pada arwah yang tak terlihat. Tak ada makhluk yang supranatural. Jika imajinasi Anda yang berlebih, sehingga arwah yang Anda takuti itu memasuki tubuh Anda dan membuat Anda sakit.

Kurang supranatural apa coba?

Hanya orang-orang yang meyakini arwah, setan dan hantu yang tak terpisah dari hukum seleksi alam.

Ini pentingnya kita belajar agama dan sains. Biar jelas fiksi dan sains dapat menciptakan kenyataan. Keduanya ibarat anak dengan ibu. Jika salah satu diantaranya kehilangan. Kemungkinan besar akan terjadi “kekacauan dan kehancuran”.

Jelas sains ada, karena mengakui belajar dari kesalahan-kesalahan agama di masa lalu. Agama pun demikian meyakini sains bahwa sumber kebenaran dan keilmiahan adalah hasil kosmologi kitab suci.

Tidak ada rantai yang terpisah dari pengetahuan, hukum dan pemahaman keduanya. Melainkan dari suatu entitas yang berbeda melalui hukum yang sama, yakni: semua sumber hukum kitab suci.

Cuman kesalahan besar kita di sini, terlalu menyamakan agama dengan kekuatan supranatural. Agama yang seharusnya membenarkan masa lalu. Itu dikategorikan menghancurkan masa depan. Padahal jika kita mau jujur, demi kemanshyuran intelektual. Agama jelas merupakan hasil dari segala kosmologi pengetahuan yang ada: kitab suci.

Berbeda dengan kekuatan supranatural, itu wujud dari keajaiban dan kegoiban masa lalu, bukan masa depan manusia. Sekarang kita lebih banyak mengakui mukjizat sebagai sumber "pengetahuan" ketimbang mempercayai agama dari "kesalahan-kesalahan" masa lalu.

Jelas Anda salah. Jika memilih sains untuk memperbaharui masa depan.

Tetapi Anda akan benar, jika melihat agama untuk perbaiki masa lalu. Soalnya sains hadir dari sejarah dan peradaban kesalahan agama di masa lalu, bukan masa depan.

Kita cenderung mengatakan bahwa orang Islam adalah orang-orang yang taat, tunduk pada tuhan yang maha esa. Sementara Kristen yang patut adalah mereka mempercayai Trinitas. Sedangkan orang-orang komunis yang religius dan taat: tak mempunyai tuhan.

Oleh karena itu agama diciptakan oleh manusia bukan tuhan dan agama digunakan sesuai fungsi sosialnya, bukan eksistensi-Nya. Agama menyatakan bahwa manusia harus tunduk terhadap hukum moral. Ia esensi-Nya dari segala eksistensi: tak bisa diubah oleh siapapun.

Seorang Islam akan berkata bahwa hukum moral ini diwahyukan oleh Allah dan diabadikan dalam Al-quran. Seorang Yahudi akan menyatakan bahwa sistem dan hukum moral ini diciptakan oleh tuhan dan diwahyukan dalam Bibel. Seorang Hindu akan menyebutkan bahwa dewa Siva, Wisnu dan Brahmana menciptakan moral dan hukum-hukum itu, yang diwahyukan manusia dalam Weda.

Agama-agama lain, misalnya dari Buddha, Daoisme hingga sampai liberalisme, fasisme, komunisme dan Nazisme menyampaikan bahwa hukum-hukum moral dan manusia super adalah hukum alam. Dan itu tidak diciptakan oleh tuhan.

Seperti agama-agama yang Anda percaya dan yakin. Tentu saja, bagi orang-orang yang percaya pada seperangkat ini. Itu sangat jauh relevan dengan apa yang disampaikan oleh dukun, uskup dan nabi-nabi yang terdahulu, ketimbang sekarang.