Untuk lima belas tahun campur tangan dengan urusan dalam negeri Kuba, dua ratus ribu Yankee akan dibunuh.

Sepenggal kalimat dari pidato seorang Marxis-Leninis kelahiran Birán, Kuba inilah yang kemudian memicu nafsu Dwight Eisenhower akan nostalgia perang dunia, dan ingin mengakhiri Fidel seperti musuh-musuhnya terdahulu.

Fidel Alejandro Castro Ruz lahir pada 13 Agustus 1926 di Birán, Kuba. Ayahnya, Angel Casro Argiz, adalah pendatang yang pertama kali tiba bersama tentara Spanyol saat berlangsungnya perang Spanyol-Amerika pada tahun 1898. 

Kehidupan sebagai seorang pendatang jelas berbeda dengan seorang pribumi. Namun berkat keuletannya dalam berbisnis, Angel berhasil menikmati hidup yang berkecukupan dari bisnis perkebunan tebu miliknya. 

Paras yang elok disokong perekonomian yang di atas rata-rata menjadikan Lina Ruz Gonzales, ibunda Fidel yang merupakan pembantu rumah tangga, jatuh hati pada Angel. Hubungan di luar nikah Angel dan Lina membuahkan enam orang anak. Fidel, Raul, Emma, Angela, Ramon, dan Juanita. 

Status Fidel sebagai "anak di luar nikah" bertahan hingga ia berumur 17 tahun. Pada umur 15 tahun, ayahnya cerai dengan istri pertamanya dan menikahi Lina Ruz, namun baru mengakui Fidel sebagai anaknya saat berumur 17 tahun. 

Secara hukum, nama keluarga "Ruz" harus berubah jadi "Castro". Namun Fidel memakai keduanya dan menambahkan nama pilihannya sendiri "Alejandro" sehingga menjadi Fidel Alejandro Castro Ruz.

Dari segi latar belakang keluarga, Fidel memiliki kisah masa kecil yang sama kelamnya dengan Adolf Hitler. Tumbuh besar di keluarga yang berantakan, membentuk pola pikir Fidel muda menjadi seorang yang benci akan kekerasan dan penindasan. 

Rasa irinya pada keluarga harmonis di sekitar tidaklah menjadikannya psikopat, namun memunculkan emosi tersendiri dalam dirinya bila menemui hal yang berbau kekerasan dan penindasan. 

Fidel muda tumbuh dan berkembang layaknya remaja biasa. Kelebihannya dalam bidang olahraga menjadi suatu karisma tersendiri baginya untuk menjadi utusan mengikuti perlombaan-perlombaan olahraga dari Universitas Havana, tempatnya mengenyam pendidikan. 

Bakat revolusionernya mulai muncul ketika ia aktif berorganisasi di perkuliahannya. Terlebih karena ia merasakan kerasnya hidup di zaman diktator, Fulgencio Batista. 

Berawal dari ketidakpuasannya terhadap sistem pemerintahan yang ada, Fidel mencoba untuk bergabung dengan organisasi-organisasi penentang Batista. Bersama rekan-rekannya, Fidel semakin gencar menyerukan pemberontakan terhadap pemerintahan yang ada. 

Fidel merasa gembira ketika ia mendapati seorang yang memiliki pengaruh turut bergerak untuk meruntuhkan pemerintahan yang ada.

Adalah seorang Jorge Eliecer Gaitan, pengacara cerdas yang berani dan memiliki pengaruh luas terhadap berbagai universitas yang ada di Kuba, menjadi orang yang dipanuti Fidel berkat perjuangannya yang kontra terhadap Batista. 

Perjuangan Fidel tidaklah main-main. Dengan kondisi keuangan organisasi yang minim, ia dan rekan-rekannya terbang menuju beberapa negara untuk menggalang dukungan terhadap gerakan revolusi di Kuba. Tidak sia-sia, mereka akhirnya mendapat dukungan dari Venezuela dan Panama.

Hal inilah yang menarik perhatian Gaitan untuk berdiskusi dengan Fidel dan kawan-kawan. Bahkan sebelum dimulainya diskusi, banyak hal yang menambah dan membuka wawasan Fidel tentang ada yang terjadi sebenarnya. 

Akhirnya ia sadar bahwa rahasia di balik kokohnya pemerintahan Batista bukan hanya militer, namun adanya raksasa besar yang bermain di belakangnya, yaitu Amerika. Diskusi singkat yang direncanakan antara Fidel dan Gaitan kemudian mengubah pola pikir Fidel untuk selama-lamanya.

Pada 9 April 1948, sesuai jadwal rencana untuk berdiskusi, Fidel dan rekan-rekannya bergerak menuju lokasi yang ditetapkan. Dalam perjalanan menuju lokasi, terjadi hal besar yang kemudian mengundang kericuhan massa. Gaitan telah dibunuh di rumahnya. 

Mendengar berita tersebut, kekecewaan yang besar pada hati Fidel mengubah jalan hidupnya yang terbiasa menyelesaikan masalah dengan orasi dan mediasi, menjadi seorang yang vulgar.

Kerusuhan Bogota pada 1948 tersebut menjadi batu loncatan untuk karir Fidel sebagai seorang "Pemberontak" di mata Batista. Makin hari, Batista makin geram dengan tindakan Fidel. Puncaknya, Batista mengirim pasukan besar-besaran untuk mengejar dan menghabisi Fidel. 

Adapun sikap Batista ini disponsori oleh Amerika di belakangnya. Pengejaran terhadap Fidel menjadi sangat luas dan keras, namun tekad bertahan hidupnya menjadikannya licin tak tertangkap.

Dukungan Amerika dalam penangkapan Fidel adalah untuk mempertahankan kekuasaan Batista di Kuba. Batista adalah pejabat korup yang tidak peduli terhadap kehidupan rakyatnya dan hanya memikirkan dirinya sendiri. Sementara ia memperkaya diri, hasil bumi dan sumber daya manusia Kuba makin diperas Amerika. 

Keberadaan Fidel jelas menjadi suatu ancaman bagi Amerika, terlebih sebab Fidel telah membentuk partai-partai pemberontakan yang tidak sedikit jumlahnya.

Setelah bertahun-tahun melarikan diri dari kejaran pasukan Batista, akhirnya Fidel memutuskan untuk melakukan perlawanan secara gerilya terhadap sang diktator. 

Dirinya menyadari bawha mediasi melalui jalan apa pun takkan mampu untuk menghentikan apa yang sedang terjadi. Terlebih untuk menghentikan Batista. "Terkadang Anda membutuhkan singa untuk melawan singa." Demikianlah yang ada dalam kepala Fidel.

Perang gerilya yang dilancarkan Fidel Castro terhadap pemerintahan Fulgencio Batista tidaklah spontan berhasil, mengingat Batista memiliki seluruh elemen kekuasaan di negeri tersebut, termasuk militer dan pasukan-pasukan khusus. 

Belajar dari banyak kegagalan, Fidel akhirnya makin matang dalam penyusunan strategi perang, hingga pasukan fidel bersama sahabat seperjuangannya Che Guavera berhasil menekan Batista. 

Melalui taktik ini, Fidel berhasil menggulingkan pemerintahan Batista yang telah lama merongrong bangsa tersebut. Orang yang paling berpengaruh dalam perjuangan Fidel ini adalah sahabat dekatnya yang memiliki pola pemikiran sama dengannya, Che Guavera. 

Che merupakan orang yang terpandang dan memiliki pengaruh luas dalam organisasi-organisasi revolusi yang ada di beberapa negara. Bergabungnya Che bersama Fidel makin memperkuat kubu Fidel, yang pada puncaknya berhasil menggulingkan kediktatoran Batista.

Suatu pelajaran yang sungguh luar biasa dapat kita petik dari hal ini. Perjuangan Fidel dan kawan-kawan bisa diibaratkan laksana Daud melawan Goliat. Tidak selamanya hal jahat itu dapat bertahan sebesar apa pun kekuatannya. Sebab Tuhan maha adil, maka apa yang kita lakukan akan kita terima kembali. 

Demikianlah apa yang dialami Batista ketika kekuasaannya runtuh oleh rezim Castro. Batista melarikan diri ke negara tetangga dan hidup dalam pengejaran.

Setelah Castro menang, tampuk kekuasaan beralih ke tangannya. Perombakan besar-besaran dilakukannya demi memperbaiki negara kelahirannya tersebut. 

"Dia adalah orang gila yang bekerja terus-menerus. Dia tidak akan tidur apabila masih ada yang belum sesuai dengan pemikirannya terkait hidup masyarakatnya," tutur salah seorang pelayan Castro. 

Setiap hal yang berseberangan dengannya akan dilenyapkan. Tidak dapat dimungkiri, sebaik apa pun pemerintahan yang ada, akan selalu ada saja yang tidak sesuai menurut rakyatnya.

Setelah sekian lama memerintah, Castro mulai mendapati perkumpulan-perkumpulan rakyatnya yang berusaha menggulingkannya. Tidak segan-segan, Fidel menyuruh untuk dilakukan pengejaran dan pembinasaan setiap hal yang berseberangan dengannya. 

Banyak warga negaranya yang ditangkap dan dibunuh atas kejadian ini. Pamornya di mata rakyatnya kian surut. Sikapnya yang terlalu idealis menjadikannya seorang diktator yang tanpa disadarinya justru membangun perlawanan di kalangan rakyatnya seperti kala perlawanannya terhadap Batista.

Di sela kegiatannya membangun kehidupan negerinya, jiwa revolusioner Fidel tidak kunjung padam meski tujuannya telah tercapai, yakni menggulingkan Batista. Fidel turut membantu negara-negara lain yang ingin merdeka maupun lepas dari kejahatan pihak-pihak tertentu. Fidel turut membantu Mandela dalam perjuangannya, juga berperan dalam perkembangan negara-negara Amerika Latin.

Dalam kunjungan kenegaraannya, Fidel juga mengunjungi Amerika Serikat yang saat itu dipimpin Eisenhower untuk memperkuat hubungan regional. Betapa murkanya Fidel kala ia datang dan tidak dianggap sedikitpun oleh Eisenhower. 

Veteran perang dunia pertama dan perang dunia kedua itu justru memilih untuk bermain golf ketimbang menyambut maksud baik Fidel. Justru Richard Nixon yang saat itu sebagai wakil presiden berdiskusi dengan Fidel.

"Diskusi yang membosankan. Dia hanya memberi nasihat layaknya seorang bapak kepada anaknya," tutur Fidel dalam suatu kesempatan jumpa pers. 

Amarah Fidel terhadap Amerika berbuntut pada ditutupnya beberapa perusahaan AS di Kuba dengan alasan tidak bermanfaat bagi masyarakat Kuba. Kian hari, kian banyak perusahaan yang ditutup membuat Eisenhower naik pitam dan mengancam akan melakukan embargo pada Kuba. Seakan tidak peduli apa-apa, Castro meneruskan apa yang telah ia rancang jauh hari.

Sebagai dampak dari keras kepala Fidel, Eisenhower melakukan embargo besar-besaran pada Kuba. Ini semakin melunturkan citra Fidel di mata rakyatnya. Terlebih sebab teman dekatnya, Che Guavera, pergi meninggalkan Kuba sebab berselisih paham dengan Fidel terkait kediktatoran Fidel. 

Beberapa tahun sepeninggal Che, Fidel mendapat kabar sahabat karibnya itu telah tewas dalam perjuangan revolusi di negara tetangga.

Makin kacaunya pikiran Fidel memandunya melakukan lompatan besar dengan menyatakan diri seorang Marxis-Leninis, yang kemudian langsung ditanggapi Uni Soviet dengan sangat baik. Akhirnya masalah embargo dapat terpecahkan dengan adanya Soviet yang menyokong Kuba dari belakang. 

Berbeda dengan Eisenhower, perdana menteri Soviet, Nikita Kruschev menyambut Fidel dengan sangat akrab yang kemudian membuat Fidel jatuh hati. 

Banyak hal yang dilakukan CIA, agen AS untuk membunuh Castro. Mulai dari operasi besar-besaran sampai operasi super-rahasia, namun semuanya gagal. Tercatat lebih dari 300 misi dilakukan untuk pembunuhan Fidel, dan semuanya berujung kegagalan. 

Presiden AS terpilih saat itu, John F. Kennedy terpaksa untuk melanjutkan misi dari pendahulunya, Dwight Eisenhower untuk melakukan invasi teluk babi. 

Adapun pasukan yang tergabung  di dalam invasi ini adalah orang pelarian Kuba yang ingin menggulingkan Castro. AS berusaha sembunyi dari keterlibatannya untuk menggulingkan Castro. 

Melalui para pemberontak Kuba yang telah dilatih khusus, AS berharap invasi besar-besaran ini berhasil. Namun sayangnya, lemahnya intelejen AS menjadi faktor penentu kemenangan Kuba di dalam invasi ini. Fidel telah mempersiapkan segala sesuatu tentang invasi ini, sehingga meski sedikit kesulitan, berhasil memenangkan pertempuran tersebut.

Ini adalah suatu hal yang sangat memalukan bagi AS sebagai pemenang dalam perang dunia, berhasil ditekuk oleh Fidel Castro yang ibarat anak baru lahir kemarin. Hal ini juga berpengaruh terhadap nama baik presiden dan direktur CIA yang saat itu. Kegagalan Invasi membuat direktur CIA saat itu, Allan Dules mengundurkan diri sebagai bentuk tanggung jawabnya terhadap gagalnya invasi.

Dengan mengaku sahabat Kuba, Soviet secara terang-terangan membantu Kuba dari segala hal, termasuk ekonomi dan militer. Ini makin membuat geram Amerika terlebih dalam situasi perang dingin dengan Soviet, ini pertanda Soviet satu langkah lebih maju. 

Makin banyaknya ancaman Amerika tidaklah membuat ciut nyali Castro. Justru Castro merasa seperti diremehkan dengan ancaman tersebut, dan membalasnya tidak dengan sekadar ancaman, namun aksi nyata yang bahkan hampir menjadi penyulut perang dunia ketiga.

Fidel menyetujui rencana pembangunan basis rudal nuklir jarak menengah yang direncanakan Kruschev di Kuba sebagai pertahanan utama Kuba. Mengetahui pembangunan tersebut, kini AS-lah yang merasa ketakutan. 

Moncong rudal tersebut tepat mengarah ke daratan utama AS. Dan apabila meluncur, dipastikan tidak ada yang akan menghentikannya. Sekali ledak, mampu menjadikan New York City lautan debu.

Fidel sungguh seorang maniak yang membuat AS benar-benar terpojok. Tidak pernah dalam sejarahnya AS dipojokkan sampai benar-benar nyaris tak berdaya. Langkah terakhir yang dilakukan AS adalah mengancam akan melakukan perang terbuka terhadap Soviet dan Kuba apabila pembangunan basis rudal tersebut tetap dijalankan. 

Fidel, dengan pemikiran alotnya, tidak bergeming sedikitpun terhadap ancaman tersebut, namun berhasil membuat Kruschev goyang dengan mempertimbangkan kerugian apabila terjadinya perang dunia ketiga. Akhirnya Kruschev sendirilah yang membongkar kembali basis tersebut.

Makin bertambahnya usia serta dorongan dari rakyat untuk melakukan pemilihan pemimpin selanjutnya, menggiring Fidel untuk membuat keputusan melepas jabatannya dan menyerahkannya pada adik kandungnya, Raul. Kehidupan Fidel kemudian berjalan damai hingga masa tuanya tak tersentuh AS sedikitpun.