Abid Al-Jabiri merupakan seorang filsuf yang menginspirasi bagi kaum anak muda tentang dunia Arab dan juga bagi kalangan kaum intelektual di Indonesia. Pemikiran beliau diawali dengan adanya isu kemunduran peradaban Islam, sehingga muncul buah pikiran beliau untuk menjadikan peradaban Islam lebih maju.
Nama lengkap abid Al-Jabiri adalah Muhammad Abid Al-Jabiri, beliau lahir di Figiug (Fegig), bagian tenggara Maroko, pada tanggal 27 Desember 1935. Beliau dibesarkan dalam keluarga yang terpandang , ayahnya adalah pendukung perjuangan partai Istiqlal untuk kemerdekaan di bawah penjajahan Perancis dan Spanyol.
Fenomena Wayang
Sempat viral fenomena wayang beberapa waktu lalu di beberapa media sosial, yang menjadikan perdebatan panjang di kolom komentar, dan juga tentunya bagi para pemuka agama dan pencinta seni dan budaya. Tentu saja ini menarik perhatian untuk dibahas lebih lanjut.
Semuanya ramai di media sosial membahas tentang bagaimana hukum wayang dan sebagainya. Mereka membahas dengan cara mereka masing-masing, ada yang menggunakan perspektif agama, ada juga yang menggunakan perspektif seni dan budaya, ada juga yang menggunakan perspektif sejarah.
Bagi para pencinta seni dan budaya mereka melihat apa yang terjadi pada wayang menyulut emosi sesaat, karena bagi mereka wayang adalah sebuah peninggalan sejarah yang harus diwariskan kepada generasi berikutnya, inilah yang menjadikan masalah serius.
Tidak ingin ketinggalan dengan mereka saya akan memiliki pandangan tersendiri terhadap fenomena “Wayang Haram” dalam perspektif “Kritik Nalar Arab” Abid Al-Jabiri. Dalam Kritik Nalar Arab Abid Al-Jabiri menerangkan bahwa ada persilangan epistemologi nalar Arab dengan nalar Islam.
Nalar Arab Abid Al-Jabiri
Tradisi Islam Menurut Al-Jabiri, adalah segala sesuatu yang secara fundamental terkait dengan aspek pemikiran dalam peradaban Islam, mulai dari ajaran doktrinal, syariah, bahasa, sastra, seni, teologi, filsafat, hingga tasawuf.
Mereka semuanya bergolak dan terjalin antara satu sama lain dalam hubungan yang saling melengkapi, mengkritik, dan bahkan menggagalkan. Oleh karena itu, Al-Jabiri memilih menggunakan tiga metode dalam menganalisis tradisi Islam atau nalar Arab.
Yakni: (1) struktur alis, kajian harus berdasarkan teks apa adanya, (2) analisis historis, dengan tujuan melihat seluruh ruang lingkup budaya, politik, dan budaya. sosiologisnya, dan (3) kritik ideologis, guna mengungkap peran ideologi yang berkembang yang mempengaruhi fungsi sosial politik yang terkandung dalam ide-ide tertentu.
Dari ketiga analisis tersebut menjadikan tiga fondasi Al-Jabiri membuat proyek Nalar Arab. Bahwasanya ketika ingin memahami tradisi Islam harus melalui proses dengan menggunakan khazanah kearaban secara struktur alis, sejarah, dan ideologis. Ketiga fondasi atas proyek tersebut adalah epistemologi Bayani, Irfani, dan Burhani.
Epistemologi Bayani
Bayani adalah suatu metode khas pemikiran arab teks otoritas (nash), langsung atau tidak langsung, dan dibenarkan oleh pengertian linguistik yang disarikan kesimpulannya. Secara langsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan yang siap dan langsung menerapkannya tanpa perlu pemikiran.
Secara tidak langsung memahami teks mentah tanpa memerlukan interpretasi dan penalaran. Namun, ini bukan berarti akal atau rasio bebas menentukan makna atau makna tetapi tetap harus bersandar pada teks.
Dalam Bayani, rasio atau akal tidak memiliki kemampuan untuk memberikan pengetahuan tanpa mengandalkan teks. Metode Bayani yang dituju ini adalah aspek esoteris (syariat). Dengan demikian, sumber pengetahuan Bayani adalah teks atau nash (Al-Qur'an dan Hadits).
Dengan demikian menurut orang-orang yang menggunakan epistemologi Bayani dalam fenomena wayang tersebut, maka wayang dikatakan tidak islami karena tidak ada dalam budaya Arab dan tidak menggunakan bahasa Arab.
Berbeda dengan budaya arab seperti gambus, Al-Barjanji. Yang di mana mereka menggunakan bahasa arab. Nalar seperti ini digunakan oleh orang yang memandang wayang untuk melegitimasi pengetahuannya tentang wayang , yang bermaksud bahwa tidak Arab berarti tidak Islam.
Epistemologi Irfani
Kata irfan (gnosis) merupakan bentuk masdar dari kata arafa yang berarti “pengetahuan”, pengetahuan dan kebijaksanaan. Dan Irfani (gnostik), kata ini berarti dengan makrifat, berarti pengetahuan yang diperoleh secara langsung melalui pengalaman.
Sedangkan pengetahuan adalah pengetahuan yang diperoleh melalui transformasi (naql) dan rasionalitas (aql). Sistem epistemologi Irfani didasarkan pada perbedaan antara batin atau manifes dan lahiriah atau laten. Hal yang bersifat batin memiliki posisi tertinggi dalam herarki pengetahuan Irfani.
Jika sumber pokok ilmu pengetahuan dalam tradisi Bayani adalah teks (nash), maka sumber ter pokok ilmu pengetahuan dalam tradisi berpikir Irfani adalah “pengalaman” (pengalaman). Dan Validitas kebenaran epistemologi irfani hanya dapat dirasakan dan dihayati secara langsung.
Dengan demikian, orang-orang yang memiliki pengetahuan Irfani ini dalam memandang wayang berbeda pendapat dengan orang yang berpendapat bahwa wayang itu haram atau tidak islami, mereka tidak melihat dengan demikian, karena bagi mereka yang menciptakan wayang adalah sunan Kalijaga.
Tidak mungkin seorang wali Allah menciptakan sesuatu yang dilarang olehnya, bahkan bertentangan dengan agama Islam. Dengan begitu orang-orang yang memiliki pengetahuan Irfani tidak memandang wayang sebagai hal yang tidak islami atau haram.
Epistemologi Burhani
Epistemologi Burhani, berbeda dengan epistemologi Bayani dan Irfani, yang masih berkaitan dengan teks suci, burhani sama sekali tidak mendasarkan diri pada teks, juga tidak pada pengalaman. Burhani menyadarkan diri kepada kekuatan rasio, akal, yang dilakukan lewat dalil- dalil logika.
Bahkan dalil-dalil agama hanya bisa diterima sepanjang ia sesuai dengan logika rasional. Perbandingan ketiga epistemologi ini, seperti penjelasan Al-Jabiri, Bayani menghasilkan pengetahuan lewat analogi non fisik atau furu’ kepada yang asal.
Irfani menghasilkan pengetahuan lewat proses penyatuan rohani kepada Tuhan dengan penyatuan universal, burhani menghasilkan pengetahuan melalui prinsip-prinsip logika atas pengetahuan sebelumnya yang telah dipercaya kebenarannya.
Dengan demikian, sumber pengetahuan burhani adalah rasio, bukan teks atau institusi. Rasio inilah yang dengan dalil-dalil logika, memberikan penilaian dan keputusan terhadap informasi-informasi yang masuk lewat Panca Indera, yang dikenal dengan istilah tasawur dan tasdiq.
Menurut pandangan orang yang menggunakan pengetahuan burhani ini, ketika melihat wayang dan gambus atau Al-Barjanji, yang paling penting adalah nilai islam yang terkandung di dalamnya. Sehingga apa pun budaya itu tergantung nilai yang terkandung di dalamnya.
Bisa saja gambus atau Al-Barjanji tidak islami ketika yang mereka lakukan dengan cara yang dilarang oleh agama, misalnya ketika bersholawat menggunakan pakaian yang tidak menutupi aurat. Sedangkan wayang yang notabene bukan dari Arab tetapi nilainya lebih Islam karena menyampaikan dakwah Islam, dan melaksanakannya dengan cara islam.
Sehingga kita tidak dapat membandingkan nilai wayang dengan gambus maupun Al-Barjanji lebih Islam karena wayang bukan dari Arab atau namanya bukan arab. Tetapi dari substansi yang terkandung di dalamnya. Wallahua’lam bi Showab.