Berlayar mengarungi lautan luas untuk merangkai pulau demi pulau bagi Pelaut adalah takdir bukan pilihan. Kemanapun melangkah, mereka harus siap berhadapan dengan bentangan laut dan ganasnya ombak. Mengarungi lautan adalah keniscayaan untuk melepaskan diri dari belenggu cengkeraman Pulau Karang.

Pelaut memiliki sejumlah pengetahuan bahari sebagai modal dalam mengarungi lautan, salah satunya mengenai ombak. Bagi Pelaut, ombak musim barat dan musim timur adalah berbeda. Musim barat dipersonifikasikan sebagai perempuan dengan ombak sangat keras dan ganas tetapi durasinya tidak lama.

Meskipun hempasan ombak angin barat sangat keras terjadinya sewaktu-waktu terutama ketika langit gelap, dan setelah cuaca cerah hempasan ombak kembali normal. Ibarat kemarahan seorang wanita, datangnya menggebu-gebu tapi waktunya tidak lama.

Angin musim timur dipersonifikasikan sebagai laki-laki. Hempasan ombaknya berlangsung sepanjang waktu dengan tekanan tinggi, dan durasinya lama. Situasi ini, bagi Pelaut diartikan sebagai kemarahan laki-laki yang keras dan lama.

Secara alamiah angin dapat menekan laut memunculkan ombak. Kebaharian Pelaut terhadap ombak diklasifikasikan menjadi empat tingkatan. Pembagian ini didasarkan pada kerasnya hantaman ombak menerjang lambung kapal dalam satu kali pergerakan kapal. Setiap tingkatan menggambarkan jumlah gulungan ombak yang ganjil dan kelipatannya, 3 (tiga) ombak, 5 (lima) ombak, 7 (tujuh) ombak, dan 9 (sembilan) ombak.

Jika dalam satu kali pergerakan kapal, ombak menghantam lambung kapal sebanyak tiga kali berturut-turut, kerasnya ombak berada dalam tingkat 1. Namun jika dalam satu kali pergerakan, ombak yang menghantam secara berurut sebanyak lima kali, maka kerasnya ombak berada pada level 2, dst dst.

Fenomena lainnya, menghitung jumlah gulungan ombak mengarah ke kapal. Sesuai kebiasaan Pelaut, menganalisa gulungan ombak besar yang mengarah ke kapal hanya satu atau dua buah, dan ombak susulan biasanya tidak sebesar atau sekeras pertama dan kedua. Hal ini berlaku juga untuk tiga, lima, tujuh gulungan ombak dengan arah dan kekerasan yang sama mengarah ke kapal secara beruntun, maka kualitas ombak juga terbagi dalam tingkatan deret hitung.

Ada situasi di mana ombak terasa begitu besar dan keras namun tidak masuk dalam kategori tingkatan di atas. Ombak seperti ini terjadi jika pelayaran dilakukan di daerah tubir pada saat air pasang atau air surut. Pelaut memahami bahwa jika air laut sedang surut, maka arus akan mengarah ke laut dalam, demikian juga sebaliknya arus mengarah ke laut bagian luar.

Pelaut menyebut daerah tubir adalah tempat beradunya arus dengan ombak, sehingga menghasilkan gelombang besar dan keras. Pada saat air laut sedang pasang, maka arus akan mengarah ke perairan dangkal. Arah pergerakan arus dan ombak adalah sama sehingga menghasilkan gelombang keras meskipun kadang-kadang tidak terlalu besar.

***

Wawasan kebaharian seorang Pelaut sejatinya tidak bisa dipisahkan dengan penghafalan terhadap teori alam. Berlayar merupakan ajang kontestasi Pelaut dalam mengaplikasikan semua teori yang telah dipahami. Pelaut memerlukan berangkat dan pulang berlayar dalam keadaan selamat, sehingga ia perlu menghilangkan kesalahan manusia sekecil mungkin untuk mempertahankan keseimbangan teori dan fenomena alam.

Kuasa alam kadang-kadang memunculkan fenomena baru yang belum terdaftar dalam teori alam. Teknologi kapal yang dioperasikan Pelaut juga mengalami penyesuaian-penyesuaian seiring perubahan tanda alam. Itulah mengapa teori kepelautan selalu berkembang yang ditandai dengan akumulasi kecelakaan kapal yang disebabkan kesalahan manusia dalam mengoperasikan kapal maupun ketidaksesuaian struktur kapal itu sendiri.

Mata hati Pelaut juga perlu diasah terus-menerus untuk menganalisa setiap peristiwa sebelum terjadi. Menganalisa kejadian dengan mengaitkan mistis gender dibutuhkan sebagai upaya penghormatan terhadap suatu kaum agar alam bersedia bersahabat dengan kapalnya. Pelaut berusaha memahami karakter dan sifat gender tertentu, maka ia akan bereaksi ke alam sesuai karakter dan sifat kaum.       

Di luar faktor force major, seorang Pelaut juga dituntut mengedepankan nalar mendahului persepsi. Peristiwa alam seperti angin, gelombang dll, mempunyai pergerakan teratur dan terukur yang menghasilkan deret ukur pedoman dalam berolah gerak kapal. Arah dan kekuatan angin selalu dicermati Pelaut menggunakan setiap indikator yang tersedia di kapal sebagai upaya menjamin keselamatan pelayaran.

Kekuatan jasmani maupun rohani dibutuhkan bagi Pelaut. Seperti telah diuraikan sebelumnya tekanan alam membutuhkan kekuatan fisik mereka untuk tetap bertahan di setiap kondisi cuaca. Perpisahan dengan keluarga dalam waktu lama turut menempa Mental Pelaut dengan mengisi setiap kekosongan dengan hal-hal positif melalui pemahaman yang kuat bahwa keberadaan mereka sangat dibutuhkan dan ditunggu keluarga di rumah.

Alam tidak membutuhkan kata-kata melainkan sikap perilaku dari Pelaut dalam mengemudikan kapalnya. Masyarakat kapal sangat heterogen karena berasal dari latar belakang sosial budaya yang beraneka ragam. Kesetiakawanan sosial di antara Pelaut sangat dijunjung tinggi dengan prinsip saling menerima dan saling memberi satu dengan lainnya.

Kesenyawaan keutuhan lingkungan maritim sebagai pendukung utama keberlangsungan pelayaran, Pelaut akan merasa terusik jika lingkungan tempat bekerjanya terganggu. Pelaut beralasan terciptanya kelestarian lingkungan turut melanggengkan kesinambungan pekerjaannya. Hal ini tercermin dalam sepak terjang Pelaut untuk bersuara lantang ketika lingkungan maritimnya terusik.

Sendi-sendi di atas yang melatar belakangi motivasi Pelaut hingga di darat. Dia sangat menyayangi dan memanjakan keluarga, mendahulukan bertindak melampaui kata-kata. Pelaut bisa masuk segala lapisan setelah terpatri dengan keanekaragaman latar belakang anak kapal. Kini, saatnya mengangkat Pelaut menjadi profesi mulia dan menjadi pilihan hidup untuk mengembangkan kemaritiman yang terbuka luas di persada negeri ini.

 Wahyu Agung Prihartanto, Master Marine dari PIP Semarang.