“kerendahanmu tidak akan terangkat dengan merendahkan orang lain” (Gus Mus)
Mari rehat sejenak dari fanatisme yang justru merugikan diri sendiri, rehat sejenak dari kekejaman yang sengaja diciptakan hanya untuk membuktikan kuatnya kaum mayoritas dan rehat sejenak dari merendahkan agama lain dengan embel-embel penegakan kebenaran merupakan suatu kewajiban.
Fanatisme agama dewasa ini sudah menggelapkan mata para penganutnya. Tuduhan saling mengkafirkan bukan lagi kuasa Tuhan, tuduhan tersebut sudah menjadi makanan pokok masyarakat beragama. Sepertinya manusia perlu dijelaskan dimana batas-batas kekuasaannya, jangan kurang ajar dengan mengambil kekuasaan Tuhan.
Berbagai konflik antar agama muncul lengkap dengan pengaruh intoleransinya. Saling tumpang tindih ataupun saling menghakimi. Jika konflik-konflik tersebut terawat dengan subur, apa kabar dengan kehidupan bernegara yang katanya ‘Bhineka Tunggal Ika’.
Negara Indonesia adalah negara kesatuan, bukan negara agama pun juga bukan negara sekuler. Melalui celetukan KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Negara Indonesia ini memang “Negara bukan-bukan”. Segala macam urusan tata negara kita diatur tidak berdasarkan agama tertentu, apalagi satu agama.
Masih ingat revisi Piagam Jakarta cikal bakal lahirnya Pancasila yang menghapus ‘dengan kewajiban menjalankan syari’at islam bagi para pemeluknya’, fakta tersebut masih gamblang dibeberkan dalam sejarah pra kemerdekaan Indonesia. Tampaknya kasus intoleransi antar agama kurang membaca sejarah sehingga mereka memiliki pemahaman yang berbeda dalam kehidupan bernegara. Itulah mengapa ‘founding father’ nya Indonesia yaitu Ir. Soekarno menyebut bahwa ‘orang bijak belajar dari sejarah’.
Fanatisme agama muncul karena tiga faktor, yaitu: kurangnya pergaulan, kurang wawasan dan kurang empati. Wawasan yang luas akan membantu kita mampu melihat segala sesuatu dari berbagai macam sudut pandang, membuat kita lebih objektif dalam berfikir dan paham bagaimana cara menyikapi kebenaran. Jangan mengira suatu kejadian itu terletak pada kejadian objektifnya, melainkan pada komunikasi antara pikiran dan hati dalam melihat kejadian itu.
Masih segar diingatan kita bagaimana gemuruhnya bom Surabaya yang merenggut nyawa manusia yang tidak berdosa. Aksi teror yang dilakukan oleh rezim yang katanya ‘islam’ kian marak dilinimasa media sosial maupun kehidupan masyarakat. Mereka gencar menyebarkan isu perpecahan umat, dengan menampilkan dalil yang tidak sepenuhnya mereka fahami sebenarnya, bahkan mungkin tidak mereka mengerti sama sekali, atau mungkin pemahaman yang minim terhadap dalil tersebut atau juga dalil tersebut dimaknai secara mentah, tidak ada makna kontekstual lain untuk memaknainya. Miris sekali!
Ironisnya reaksi tersebut tidak membuat masyarakat percaya dengan islam, bahkan sebaliknya mereka takut dengan agama ‘rahmatan lil ‘alamin’ ini. Bagaimana mau percaya dengan islam kalau toh umat beragama yang benar harus membunuh rasa kemanusiaannya, jika mau masuk surga. Mati syahid istilahnya. Memangnya tiket untuk masuk surga sesepele itu?
Islam diturunkan untuk mendamaikan sesama, sebagai agama yang ‘rahmatan lil ‘alamin’ yaitu rahmat bagi alam semesta. Sebagaimana rahmat untuk alam semesta, seorang muslim seharusnya peduli akan lingkungannya, tidak menyebarkan ketakutan, dan tidak bertindak seenaknya demi alasan menegakkan kebenaran. Bukankah kitab suci menerangkan hal ini bahwa jalan dakwah atau menyebarkan kebenaran hanya ada tiga, yaitu: berdakwah dengan hikmah, berdakwah dengan al-mau’idzah al-hasanah (pelajaran yang baik) dan berdakwah dengan melakukan bantahan dengan cara yang baik. Tidak ada istilah ledakkan bom di al-Qur’an surah An-Nahl ayat 125 tersebut.
Marwah islam ternodai dengan adanya aksi teror tersebut, islam tidak dipandang sebagai agama yang penuh perdamaian justru sebaliknya. Kalau sudah begini buat apa terlalu fanatik jika harus membunuh sesama seakan tidak mempunyai peri kemanusiaan. Bukankah Nabi dulu sangat menjunjung tinggi toleransi umat beragama, meskipun kewajibannya menyampaikan risalah.
Masyarakat Indonesia harus sadar bahwa Indonesia bukanlah negara islam, pun juga tidak akan menjadi negara islam. Indonesia adalah Negara kesatuan yang merdeka karena jerih payah para pribumi, pahlawan istilahnya. Pahlawan pejuang kemerdekaan tidak hanya mereka yang beragama islam, tapi mereka yang merasa sadar bahwa Indonesia adalah milik masyarakat pribumi bukan milik pendatang seperti Belanda ataupun Inggris. Kembalinya hak atas negara Indonesia merupakan perjuangan bersama para pahlawan dari lima agama yang diakui yaitu Islam, Kristen, Hindu, Budha dan Khonghuchu.
Indonesia merupakan wujud perdamaian abadi antar umat beragama. Bagaimana di Indonesia umat beragama hidup berdampingan tanpa ada saling singgung ataupun saling kafir-mengkafirkan. Maka seharusnya fanatisme agama tidak menjadi racun dalam kesatuan Negara Republik Indonesia. Fanatisme agama tidak seharusnya ada dalam kehidupan bernegara jika dengan fanatisme tersebut rasa kemanusiaan harus dihilangkan.
Fanatisme agama tidak menjadi boomerang bagi toleransi umat beragama jika memang Nabi menganjurkan untuk toleransi antar sesama. Terakhir, jika ia harus bersikap fanatik terhadap agamanya maka ia akan dianggap religius. Jika seseorang menganggap sikap religius harus ada dalam dirinya untuk mencapai surga maka seharusnya semakin ia religius maka ia akan semakin mudah menerima dan menghargai orang lain. Bila tidak, berarti ada yang perlu diperbaiki dengan definisi religiusnya.