Meratanya akal sehat yang diberikan Allah Swt. kepada manusia, tidak mungkin lagi dapat dibantahkan (Descartes, 2006: 5). Paling tidak, secara alamiah, manusia memiliki kemampuan untuk menalar apa yang bermanfaat bagi dirinya, dan apa yang mesti dihindari karena membahayakan.
Sebagaimana dikutip Hamka (2018:17), saking dimuliakannya akal sehat manusia, Rasulullah Saw. pun bersabda: “Agama ialah akal. Dan tidak ada agama pada orang yang tidak berakal.”
Kemanfaatan akal sehat di satu sisi, dan akal sehat yang membawa manusia kepada kemanfaatan di sisi lain, kemudian menyebabkan “seolah-olah” ada tingkatan penalaran yang berbeda di antara manusia. Padahal, tinggi atau rendahnya penalaran adalah tergantung konsistensi dalam mengikuti alur penalaran tersebut.
Sekalipun diandaikan bahwa ada manusia yang lahir dengan kemampuan berpikir di atas rata-rata, pun belum tentu bisa dipastikan akan sampai pada kemanfaatan. Boleh jadi malah akan membahayakan, kalau jalan (baca: alur) penalaran yang dilalui tidak tepat. Sebaliknya, selambat apapun seseorang dalam berjalan, kalau ia konsisten berjalan lurus dan mengikuti rambu-rambu penalaran yang tepat, ia akan sampai lebih dulu dibandingkan dengan orang berlari tapi di jalan yang salah.
Lalu, bagaimana menjaga akal agar tetap sehat (hifz al-‘aql)?
Bagi umat Islam, menjawab pertanyaan tersebut tidaklah sulit, karena bagi siapa saja yang sudah mengaku Islam, secara otomatis memiliki kewajiban untuk menjaga akalnya lewat pendidikan atau menuntut ilmu (ilmu di sini mengikuti bahasa aslinya, yakni Arab, yang berarti pengetahuan; pengetahuan lebih umum dari sains (science); sains sudah tentu pengetahuan, tapi pengetahuan belum tentu sains).
Dalam diskurus Hak Asasi Manusia versi Barat, pendidikan dijadikan sebagai hak dasar setiap manusia. Tapi, dalam Islam, pendidikan bukan semata-mata hak, melainkan kewajiban. Berbeda dengan hak, yang boleh diambil yang empunya atau malah ditinggalkan, kewajiban berarti ada tuntutan untuk melaksanakan. Dengan kata lain, pendidikan dalam Islam adalah tuntutan yang harus dijalani.
Rasulullah Saw. bersabda, H.R. Ibnu Majah No. 224 dari Anas bin Malik R.A.: “Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim dan muslimah.”
Bahkan Allah Swt. telah menggugah kesadaran kita, menyapa akal manusia lewat Firman-Nya dalam Q.S. al-Zumar ayat 9: Artinya: Katakanlah, “Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?”. Allah Swt. pun menegaskan, dalam Q.S. al-Mujadalah ayat 11: Artinya: “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.
Lalu, jenis ilmu apa yang mesti dipelajari? Apakah hanya sebatas pengetahuan tentang Agama, seperti fiqh, tafsir, akidah dan sebagainya? Apakah kita juga dianjurkan mempelajari sains alam; sains sosial; serta sains terapan (teknologi)?
Sebagai umat Islam, sebenarnya kita mudah untuk menjawab pertanyaan ini, lewat 1 ayat yang paling sering kita baca, paling tidak ketika salat, yakni bismillahirrahmanirrahim. Tentu kita sering membaca al-basmalah, ketika membaca al-Fatihah dalam salat.
Kita sangat tahu terjemahan dari bismillahirrahmanirrahim, yakni: Dengan menyebut Nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Namun, pernahkah kita renungkan bahwa keluasan makna al-basmalah ini juga memiliki keterkaitan bagi penuntut ilmu?
Secara filosofis, makna bismillahirrahmanirrahim juga menyimpan anjuran bagi kita selaku penuntut ilmu, di antaranya:
Pertama, bismillah. Interpretasi-Etis “dengan nama Allah”, berarti seorang penuntut ilmu hanya dibenarkan semata-mata atas nama Allah. Artinya, keridoan Allah lah yang dituju. Karena Allah lah kita ingin menghilangkan kebodohan dalam diri kita lewat belajar.
Sejatinya, ini lah hakikat seorang muslim, bahwa dalam hal apapun, keterhubungan kita kepada Allah, senantiasa kita jaga. Karena setiap amal, tidak akan berguna kecuali kita tujukan kepada Allah.
Untuk itu, sangat tidak dibenarkan jika tujuan belajar adalah untuk mengejar popularitas, apalagi dimaksudkan untuk mendebat para guru, supaya terlihat hebat. Jika kita berbuat demikian, maka sia-sialah yang kita dapatkan dalam belajar.
Kembali ke pertanyaan tadi, jenis ilmu apa yang mesti kita pelajari sebagai penuntut ilmu? Apakah hanya sebatas pengetahuan tentang Agama, seperti fiqh, tafsir, akidah dan sebagainya? Apakah kita juga dianjurkan mempelajari sains alam; sains sosial; serta sains terapan (teknologi)?
Kita mesti mengetahui terlebih dulu, bahwa tujuan menuntut ilmu adalah mendapat Rahman dan Rahim Allah Swt. Apa maksudnya?
Kedua, al-rahman. Di dalam al-Qur'an kata al-Rahman terulang sebanyak 57 kali. Para ulama menjelaskan makna al-Rahman menunjukkan rahmat Allah Ta’ala yang sangat luas, yang meliputi seluruh makhluk, termasuk hamba-Nya yang kafir. Dengan kata lain, al-Rahman merupakan kasih sayang Allah kepada seluruh makhluk di dunia, juga di akhirat. Pendapat ini diungkapkan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Quran al-Adzim dan Abu Hayyan dalam al-Bahr al-Muhith.
Kita bisa ibaratkan bahwa kasih sayang Allah dalam makna al-Rahman ini seperti hukum alam, atau lazimnya kita kenal dengan sunnatullah. Atau hukum yang ditetapkan Allah di alam semesta. Di antara alam semesta itu, kita kerucutkan menjadi hukum Allah bagi kehidupan manusia secara keseluruhan di bumi. Allah dengan kasih sayang-Nya dalam makna al-Rahman, memberlakukan semua manusia sama, baik muslim maupun non-muslim.
Kita bisa saksikan, meskipun seseorang itu merupakan non-muslim, tidak beriman kepada Allah, jika seseorang itu belajar dengan giat, tentu akan menjadi pintar. Kita bisa saksikan banyak ilmuwan-ilmuwan yang bukan muslim, Enstein, Nikola Tesla, Issac Newton dan lain sebagainya tetap diberikan Allah kejeniusan hasil dari usaha mereka dalam belajar. Ini berlaku bagi semua manusia.
Kita juga tidak mungkin mengabaikan fakta bahwa, banyak negara-negara besar di dunia yang jelas-jelas menolak agama Allah, tapi dengan Kemahaan Kasih Allah dalam makna al-Rahman tetap menjadi negara adidaya, mengapa? Karena negara negara itu menguasai sains dan teknologi.
Bukankah sains (alam) dimaksudkan untuk membaca alam secara kenyataan? Artinya, secara ontologis, alam diasumsikan memiliki hukum yang mengatur atau aturan main yang diikuti segenap pesertanya. Ketika hukum alam itu bisa dibaca dan diukur dengan bijak lewat penalaran sehat, apakah kita menolak, mereka yang memahami hukum itu lah yang akan menguasi kehidupan di alam ini?
Ini lah hukum dunia, turunan dari Rahman Allah, bahwa siapa pun manusia yang berusaha menguasai sains dan teknologi maka akan menjadi penguasa di dunia ini. Negara manapun, sekalipun negara yang dikelola oleh orang-orang kafir, jika negara itu memiliki sistem politik yang bijaksana, akan memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya. Negara yang menyusun kebijakan ekonomi yang adil tentu rakyatnya akan hidup dalam kemaslahatan.
Dalam sejarahpun, ketia memimpin Negara Madinah, Rasulullah Saw. pernah mengadopsi sistem administrasi pemerintahan Romawi, dan metode pengelolaan kekayaan Kerajaan Persia. Karena Rasulullah menilai bahwa sistem kerajaan Romawi dan Persia saat itu, sangat sesuai untuk mengelola negara dengan baik.
Oleh karena itu, hukum-hukum yang ditetapkan Allah di Bumi ini, dalam arti mencapai Rahman-Nya Allah, mengharuskan kita menguasai segala macam ilmu pengetahuan (sains) dan teknologi.
Untuk itu, bukan hanya sebatas mengaku muslim, lantas kita bisa menjadi penguasa di Bumi ini. Jika kita tidak memahami hukum Allah di Bumi ini, cita-cita menjadi komunitas muslim yang kuat hampir menjadi ilusi semata.
Hal ini juga berarti, kita jangan menyalahkan Allah apabila kehidupan masyarakat muslim kita serba tertinggal, karena Allah telah memberikan panduan kepada kita, tapi kita lah yang meninggalkannya. Allah menjelaskan bahwa hidup di dunia ini adalah kompetisi bagi seluruh manusia, siapapun manusia yang berjalan dengan sesuai ketentuan kompetisi itu, maka akan hidup dengan memenangkan dunia.
Bagaimana dengan al-Rahim?
Ketiga, Rahim. Al-Rahim terdapat 95 kali dalam al-Quran. Dalam tafsir at-Thabary, makna al-Rahim adalah Dzat yang menunjukkan kasih sayang hanya di akhirat, dikhususkan hanya untuk orang-orang yang beriman.
Nah, di sinilah kekhususan bagi orang-orang yang telah beriman, yang bersaksi Tiada Tuhan selain Allah, dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Konsiderasi al-Rahim ini bisa dibaca, dalam Q.S. al-A’raf ayat 43: Artinya: Dan Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman.
Jika kunci mendapatkan kasih sayang Allah dalam makna al-Rahman adalah sains dan teknologi, beda dengan kasih sayang Allah dalam makna al-Rahim, karena jalan mendapatkan al-Rahim adalah keimanan. Tidak semua manusia akan mendapatkannya. Hanya yang beriman saja.
Jika al-Rahman tidak peduli muslim atau non muslim, apabila menguasai sains dan teknologi akan menjadi memiliki keberuntungan hidup. Beda dengan al-Rahim, tidak peduli kaya atau miskin, menjadi penduduk negara adidaya atau negara berkembang, jika beragama dengan taat, maka akan mendapatkan keberuntungan di akhirat. Kita tentu bisa menyimpulkan bahwa untuk mendapatkan Rahim Allah, kita harus belajar dan mengamalkan secara maksimal berbagai pengetahuan tentang Agama, tentu segala pengetahuan tentang Agama Islam.
Memang Allah Swt Berfirman dalam Q.S. al-A’la ayat 17: Artinya padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal. Dan Q.S. al-Duha ayat 4: artinya dan sungguh, yang kemudian itu lebih baik bagimu dari yang permulaan. Dimana kedua ayat ini menegaskan bahwa, sejatinya kehidupan di akhirat lah yang mesti diutamakan. Dan kita pun perlu mempertegas, bahwa mempelajari pengetahuan tentang Agama adalah kewajiban yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Namun, bukan berarti pengetahuan non agama, seperti sains dan teknologi kita tinggalkan.
Sebagai muslim yang bijaksana, mempelajari pengetahuan yang menjadi bagian agama, dan menguasai sains dan teknologi adalah dua hal yang tidak seharusnya kita pisahkan. Karena agama dan sains adalah jalan untuk mendapatkan Rahman dan Rahim-Nya Allah Swt.
Sebagaimana ungkapan Imam Syafi’i:
Artinya: “Barangsiapa yang ingin sukses di dunia maka hendaklah dengan ilmu (sains) barangsiapa yang ingin sukses di akhirat maka hendaklah dengan ilmu (agama), dan barangsiapa yang ingin sukses pada keduanya (dunia dan akhirat) maka hendaklah dengan ilmu pula (agama dan sains)”
*Tulisan merupakan materi khutbah yang disampaikan di salah satu Masjid Yayasan Sekolah (SMP/SMA) di Kota Medan