Tulisan ini terilhami oleh kisah seorang Dosen Fakultas Agama Islam ( selanjutnya disingkat FAI ) di salah satu Perguruan Tinggi, yang diprotes oleh salah seorang Mahasiswanya karena menggunakan referensi bahan ajar perkuliahan yang ditulis oleh seseorang yang berbeda aliran paham keagamaan oleh sang pemrotes. Dan juga kisah Dosen yang dilaporkan, lagi-lagi, oleh Mahasiswanya, karena mengajarkan suatu mata kuliah agama yang kontennya tidak sesuai dengan pemahaman agama yang ia yakini/ dianggap sesat.
Beranjak dari kisah dosen, kini ke kisah Mahasiswa. Konon, terdapat salah satu Mahasiswa dari FAI yang dituntut untuk selalu agamis, syar’ie, tidak boleh bergaya yang aneh-aneh, dituntut untuk berpakaian tertentu, baca Al-Qur’an dengan lancar dan parahnya dituntut untuk tidak boleh maksiat ( dalam pengertian mereka ).
Hal tersebut, secara kasat mata, memang lumrah terjadi. Karena berangkat dari asumsi yang salah sehingga berimplikasi terhadap munculnya persepsi yang kacau balau tentang FAI. Kekacau-balauan persepsi tersebut mengakibatkan munculnya ekspektasi yang salah alamat terhadap FAI beserta para Mahasiswanya.
Disini akan saya uraikan dengan singkat kesalahan persepsi dan ekspektasi tersebut.
Pertama, Persepsi terhadap Fakultas Agama Islam. FAI ialah salah satu fakultas dari beberapa fakultas yang terdapat di suatu universitas ( PT ) yang menyelenggarkannya ( karena ada beberapa universitas yang tidak ada FAI-nya ). Dilansir dari KBBI, Universitas itu diartikan sebagai perguruan tinggi yang terdiri dari fakultas yang menyelenggarakan pendidikan ilmiah dan/atau profesional dalam sejumlah disiplin ilmu tertentu.
Perlu digaris bawahi kata “ilmiah” dan “disiplin ilmu” yang ada dalam pengertian tersebut. Ilmiah dan ilmu tersebut mengindikasikan bahwasanya segala tindak tanduk yang berlangsung di universitas harus bernilai ilmiah baik dalam bentuk praktikum, penelitian, dan kegiatan ekstra kampus, terlebih, kegiatan belajar mengajar di kelas, maka Fardlu ‘ain hukum nya untuk berlandaskan kajian ilmiah.
Dalam konteks FAI maka kajian pembelajaran dan kajiannya yaitu seputar Ilmu-ilmu Agama. Maka dalam tradisi keilmuan, semakin tinggi kualitas keilmuan seseorang, tentu saja akan menghasilkan bentuk pemahaman akan sesuatu yang lebih baik lagi. Integritas pemahaman yang kompleks dan komprehensif dalam tradisi keilmuan membutuhkan banyaknya sumber-sumber referensi yang beraneka macam dan ragam, pun dalam keiilmuan-keilmuan agama.
Lalu muncul pertanyaan, bagaiamana bisa di FAI muncul seorang mahasiswa yang tidak bisa menerima sumber informasi keilmuan agama yang ditulis oleh seseorang yang tidak sepaham dengannya ?.
Disinilah titik kesalahannya. Sang mahasiwa tidak bisa membedakan antara agama yang bersifat absolut dan keilmuan agama yang merupakan produk buatan manusia yang suatu saat bisa berubah-ubah. Sang mahasiswa menyangsikan bahwa paham keagamaan yang dia anut masuk dalam wilayah agama yang bersifat absolut, paten, dan transendental sehingga timbulah sikap protes terhadap dosen karena tidak sepaham dengannya. Padahal paham keagamaan itu muncul dari penafsiran seseorang menggunakan metodologi dan pendekatan tertentu yang sangat rentan mengandung kekurangan.
Adalah Abdul Karim Soroush yang berpendapat bahwa pemahaman keagamaan tidak dapat bersifat absolut karena semua itu hanya merupakan hasil pemikiran manusia. Forough Jahanbakhsh menggarisbawahi pemikiran Soroush, antara lain: (1) pembedaan agama dan pemikiran keagamaan, (2) agama itu bersifat ketuhanan kekal, tahan, dan sakral (4) pemahaman agama dipengaruhi oleh pengetahuan manusia, dan (5) pengetahuan agama itu berubah-ubah dan terikat waktu.
Absolutisme pemikiran keagamaan merupakan sasaran dari pemikiran Soroush. Ia mempertanyakan kembali absolutisme dan rigiditas praktik-praktik keagamaan. Soroush menjelaskan bahwa agama turus atas kehendak Tuhan tapi memahami dan berupaya merealisir agama merupakan usaha manusia dengan menggunakan pemahaman, teori, metode yang dimiliki.
Pada titik inilah ilmu agama lahir, seperti yang kita kenali sekarang yaitu Ilmu Tafsir, Fikih, Ushul Fikih, Hadis, Mushtholah Hadis, Sharaf, Nahwu dan lain sebagainya. seperti yang diungkapkan Valla Vakili, Ilmu-ilmu tersebut bersifat sepenuhnya manusiawi, dan bergantung pada penguasaan pengetahuan manusia. Bisa diubah-ubah, profan, dan tidak absolut.
Pengetahuan agama berubah dan berevolusi sepanjang waktu karena pemahaman yang lebih komprehensif akan menggantikan pemahaman yang lebih terbatas yang muncul lebih awal. Seperti dihapuskannya perbudakan, zakat yang tidak harus gandum, shalat tarawih menjadi berjamaah dan lain sebagainya. Tetapi seluruh penafsiran keagamaan itu dibatasi oleh zaman seorang cendekia keagamaan hidup dan oleh tingkat kemajuan pengetahuan manusia pada umumnya dan studi agama khusus pada zaman itu.
Selain itu, mempelajari agama ( Khusunya Al-Qur’an dan Al-Hadits ) tanpa memperkirakan dan mempertimbangkan hal-hal diluar Al-Qur’an adalah tidak mungkin karena kita juga mempunyai konsep asbabun nuzul dan asbabul wurud yang menjadi pertimbangan dalam penafsiran kredo keagamaan.
Maka jika saya tanya, misal, siapakah mufassir al-Qur’an paling benar ? Ibnu Katsir ? at-Thabari ? al-Baghawi ? Zamakhsyary ? Muqatil bin Sulaiman ? Quraisy Syihab ? ataukah Buya Hamka?. Pastinya tidak ada yang mempunyai legitimasi untuk memberikan otoritas kebenaran kepada salah satu dari mereka. Dan tidak ada seorang mufassir pun yang mendaku bahwasanya penafsiran mereka adalah paling benar.
Lalu kenapa kita fanatik ? cobalah berpikir dan muhasabah diri.
Mahasiswa FAI disini memiliki peran seperti para ulama terdahulu yang harus berlomba-lomba memiliki pemahaman keagamaan yang lebih komprehensif dari pada pendahulunya. Dengan cara membuka wawasan terhadap segala sumber keilmuan islam yang ilmiah tanpa harus dibatasi oleh sekat-sekat ideologi tertentu, demi memperoleh pemahaman keagamaan yang lebih kredibel dan kontekstual.
Kedua, ekspektasi kepada mahasiswa FAI. Menurut saya, sangatlah salah jika hanya mahasiswa FAI dituntut hal ini itu dalam konteks kemampuan menjalankan ritus-ritus keagamaan, seperti kemampuan menjadi imam, membaca al-Qur’an dengan lancar, bisa azan, hafal Al-Qur’an dan lain sebagainya. Karena Mahasiswa FAI itu seperti hal nya mahasiswa lain yang menggeluti bidang keilmuan, yang kebetulan, mereka pelajari ialah ilmu agama yang dipersepsikan oleh mayoritas kalangan awam, sebagai Mahasiswa yang hanya belajar ritus-ritus keagamaan.
Kewajiban menjalankan ritus-ritus keagamaan ialah kewajiban semua orang, tak terkecuali mahasiswa non-FAI. Mahasiswa Kedokteran, Teknik, Farmasi, Psikologi mempunyai kewajiban yang sama di mata Tuhan. Tidak hanya Mahasiswa FAI. Jika memang terdapat Mahsiswa FAI yang, misal, tidak dapat membaca Al-Qur’an, kita harus bisa memakluminya sebagaimana memaklumi Mahasiswa non-FAI yang tidak bisa dengan lancar membaca Al-Qur’an. Jangan malah menghujat dan mem-bully. Toh, mereka sedang dalam proses belajar, sepakat ?.