Hadiah nobel kedokteran tahun 2022 baru saja diumumkan dan diraih oleh Pakar Genetika Evolusi asal Swedia, Svante Paabo. Karyanya membantu meluruskan pemahaman kita tentang evolusi manusia.
Dengan mengungkap perbedaan genetik yang membedakan semua manusia yang hidup dari hominin yang punah, penemuan Paablo, memberikan dasar untuk mengeksplorasi apa yang membuat kita menjadi manusia yang unik.
Dia menemukan bahwa transfer gen telah terjadi dari hominin yang sekarang sudah punah ini ke Homo Sapiens setelah migrasi keluar dari Afrika sekitar 70.000 tahun yang lalu.
"Aliran gen kuno ke manusia masa kini memiliki relevansi fisiologis hari ini, misalnya mempengaruhi bagaimana sistem kekebalan tubuh kita bereaksi terhadap infeksi," Steve Paabo memahamkam kita bahwa urutan gen kuno dari kerabat kita yang telah punah mempengaruhi fisiologi manusia modern.
Penelitian genetika keterhubungan dengan evolusi justru berkembang setelah pencetus utama teori evolusi Charles Darwin yang saat itu belum menggunakan basis genetika untuk membangun teorinya.
Ahli genetika Jepang Motoo Kimura menemukan ‘neutral theory” yang menyatakan bahwa adanya “neutral” gen lah yang memicu adanya mutasi menuju evolusi. Sedang Richard Dawkins menggunakan istilah “selfish Gene” (gen egois) sebagai yang berpusat pada evolusi.
Bahasan teori evolusi menjadi bagian penjelajahan sains yang makin memikat dalam mempelajari manusia dan peradabannya. Ikutan dari teori evolusi memberikan pandangan paradigma melihat manusia dan perilaku kehidupannya. Keterkaitan evolusi dengan genetika ini mengarahkan pada pemodelan budaya manusia.
Teori evolusi Darwin ikut memunculkan gagasan Survival of Fittest, organisme terbaik dalam beradaptasi dengan lingkungannya yang paling berhasil dalam bertahan hidup. Ditangan Herbert Spencer (1820-1903), sosiolog dan filosof Inggris, ungkapan ini diselaraskan dengan teorinya di bidang ekonomi dengan konsep temuan Darwin terkait dengan "seleksi alam" atau kelangsungan hidup individu-individu terkuat.
Pendapat Spencer itu masuk dalam kategori kelompok Darwinisme Sosial. Istilah terakhir singkatnya dipahami sebagai teori yang memaklumkan bahwa "mereka yang kuat pantas mendapatkan kesuksesan, dan mereka yang lemah layak gagal."
Sedang teori evolusi Dawkin menemukan konsep meme sebagai unit evolusi budaya dengan analogi dengan gen; ini mengasumsikan duplikasi egois dapat diterapkan dalam budaya manusia.
Bersamaan dan pada perkembangannya baik setelah Darwin dan Dawkin banyak bermunculan para saintis yang tidak sejalan dengan mereka terutama pada aspek penyimpulan pemodelan budaya manusia.
Pada tahun 1902, profesor biologi Pyotr Alexeyevich Kropotkin, ahli biologi menerbitkan buku Mutual Aid: A Factor of Evolution (Kerjasama: Sebuah Faktor Evolusi), di mana ia mempunyai sebuah pandangan alternatif dalam proses keberlangsungan hidup pada binatang dan manusia, melampaui klaim akan "Survival of the Fittest".
Argumentasi utama Kropotkin adalah kehidupan sosial maupun ekologis kita sejatinya menunjukkan kekuatan kerja sama dibandingkan dengan cara kompetisi. Kropotkin menafsirkan kembali teori evolusi Darwin dan membalikkan asumsi bahwa evolusi manusia didorong karena kompetisi sengit untuk mempertahankan diri. Berlawanan dengan hal itu, Kropotkin menyatakakan bahwa evolusi manusia sangat ditunjang oleh cara manusia melindungi sesamanya.
Pertanyaan muncul terhadap kepunahan manusia purba yang digantikan homo Sapiens. Apakah benar bahwa Homo Sapien lebih kuat? Atau lebih cerdas? Sejarawan mutakhir Rutger Bregman dalam bukunya Humand Kind, a Hopeful History mengulas penemuan para saintis yang menyimpulkan bahwa Neandertal lebih kuat secara fisik. Kecerdasan? Otak Neandertal rata-rata 15% lebih besar daripada otak kita sekarang. Mereka lebih cerdas.
Munculah hipotesis bahwa seandainya kita Homo Sapiens tidak lebih kuat, tidak lebih berani, atau tidak lebih pintar, barangkali Homo Sapiens lebih kejam. Yuval Noah Harari berspekulasi,” Ketika Sapiens berjumpa Neandertal, hasilnya adalah kampanye pembersihan etnis pertama dan terpenting dalam sejarah “
Apakah itu benar? Berkat penemuan Svante Paabo, kita memahami bahwa urutan gen kuno dari kerabat kita yang telah punah mempengaruhi fisiologi manusia masa kini. Populasi Neandertal tinggal di Eurasia barat, sedangkan Denisovan menghuni bagian timur benua. Selama ekspansi keluar Afrika, Homo Sapiens tidak hanya bertemu namun kawin dengan Neandertal dan Denisovan. Telah terjadi transfer gen dari manusia Purba ke Homo Sapiens.
Dalam buku Human Kind, Bregman membahas dengan menarik penelitian yang dilakukan professor Dmitri Balyaez, seorang ahli zoologi dan genetika, bersama Lyudmila Trut, ahli biologi di universitas Moskwa. Mereka meneliti rubah perak di Siberia sekitar tahun 1958. Rubah perak adalah hewan yang tidak pernah dijinakkan sebelumnya. Penelitiannya untuk menjawab pertanyaan bagaimana mengubah pemangsa ganas menjadi hewan peliharaan jinak?
Seratus tahun sebelumnya, Charles Darwin sudah memperhatikan bahwa hewan-hewan jinak -kelinci, domba, babi- menunjukkan beberapa kemiripan mencolok. Hewan jinak lebih kecil daripada leluhurnya yang liar. Otak dan giginya lebih kecil. Kadang telinganya terkulai dan ekornya keriting. Ciri-ciri anak yang dibawa sepanjang hidup.
Awal penelitian dengan mengontrak peternakan rubah yang galak. Pada tahun 1964, digenerasi keempat percobaan dua ahli ini mulai mendapatkan rubah yang mengibaskan ekor. Di alam liar, rubah menjadi lebih agresif pada umur sekitar delapan minggu, tapi rubah biakan selektif kedua ahli ini tetap bersifat seperti anak, suka bermain seharian.
Ada perubahan fisik yang tampak. Telinga rubah terkulai, ekornya melengkung dan rambutnya mulai tampak berbintik. Moncong memendek, tulang mengecil, dan pejantan makin mirip betina. Bahkan rubah-rubah itu menggonggong seperti anjing.
Pada tahun 1978, dua puluh tahun sesudah percobaan itu dimulai, pada Kongres Genetika International, Dmitri memaparkan temuannya yang membuat terkesan para tamu. Dmitri menyampaikan gagasan revolusionernya, bahwa dia duga perubahan rubah disebabkan hormone. Rubah yang lebih ramah menghasilkan lebih sedikit hormone stress, serta lebih banyak serotonin (“hormone Bahagia”) dan oksitosin (“hormone cinta”)
Dua tahun setelah Richard Dawkins menerbitkan buku laris mengenai gen egois, yang menyimpulkan bahwa manusia “terlahir egois”, Dmitri menyatakan bahwa manusia adalah spesies jinak. Bahwa selama puluhan ribu tahun, manusia paling ramah mendapat keturunan paling banyak. Bahwa evolusi spesies kita adalah “kelestarian yang paling ramah”.
Ketika pada tahun 2014 satu tim Amerika mulai mengamati tengkorak manusia dari berbagai zaman selama 20.000 tahun terakhir, mereka bisa melihat satu pola: mendapati wajah dan tubuh kita telah menjadi lebih lembut, lebih muda, dan lebih feminim. Otak kita mengecil 10%, sementara gigi dan rahang menjadi pedomorfik ( Artinya: mirip anak kecil).
Jika dibandingkan dengan Neandertal, perbedaannya sangat mencolok. Tengkorak kita lebih pendek dan bulat, dengan alis tak menonjol. Perbedaan kita dengan Neandertal mirip perbedaan anjing dan serigala. Manusia berevolusi tampak seperti anak.
Lalu, mengapa Homo Sapiens bisa lebih mengubah dunia? Neandertal punya otak lebih besar secara individu, tapi secara kolektif mereka tak secerdas Homo Sapiens. Homo Sapiens hidup dalam kelompok lebih besar, berpindah pindah dari satu kelompok ke kelompok lain lebih sering. Beberapa saintis berteori bahwa berkembangan Bahasa manusia merupakan produk sifat sosial Homo Sapiens.
Dipertegas dari penelitian dua professor ahli cognitive Steven Sloman dan Philip Fernbach dalam bukunya The Knowledge Illusions: Why We Never Think Alone. Gagasan bahwa manusia itu makhluk berpikir individual merupakan mitos belaka. Manusia berpikir dalam kelompok-kelompok. Fenomena antropologis menunjukkan hal itu yang membawa Sloman dan Fernbach pada kesimpulan bahwa manusia lebih unggul dari makhluk lain dan mengubah jadi penguasa planet bukanlah rasionalitas individual, melainkan kemampuan kita berpikir dalam kelompok-kelompok.
Jadi apa yang terjadi dengan Neandertal? Apakah Homo Sapiens menghabisi mereka? Rutger Bregman berpendapat,” Gagasan itu boleh jadi cocok untuk buku dan dokumenter yang seru, tapi tak ada bukti arkeologis yang menyokongnya. Teori yang lebih masuk akal adalah bahwa kita Homo Sapiens, lebih mampu menghadapi kondisi iklim keras pada zaman es terakhir (115.000 – 15.000 tahun lalu) karena kita mampu mengembangkan kemampuan bekerja sama.”
Ketika Darwinisme sosial berpendapat manusia yang bertahan adalah yang menang dalam kompetisi, sedang Dawkin menggagas tentang gen egois, maka seolah ikut membentuk pandangan bahwa manusia sebenarnya punya sifat dasar kompetisi, ketidak pedulian dan mau menang sendiri.
Darwinisme sosial mengarah ke suatu bentuk liberalisme radikal yang menetapkan individualisme dan persaingan antar kelompok. Bahkan darwinisme sosial dimanfaatkan oleh pihak pihak penguasa untuk mengembangkan penjajahan, nazisme, rasialisme.
Pada gilirannya terjadi pelumrahan perseteruan antara manusia dalam bentuk perang dan kehidupan dipenuhi oleh orang yang berusaha untuk menang dengan segala cara menjegal lainnya. Sering kita berujar ketika mengomentari peristiwa peperangan,” ah biasa, namanya juga manusia”.
Terbentuk keyakinan bahwa manusia pada dasarnya jahat. Pola pikir ini pada gilirannya membentuk perilaku kehidupan sehari-hari manusia. Maka perubahan pola pikir (mindset) ini sangat penting dalam gagasan pemodelan pola pikir pembentuk budaya yang menjadi ikutan teori evolusi.
Apalagi kini kita menghadapi tantangan lebih komplek dengan perubahan tak terduga dan cepat. Ketegangan antar negara menjadikan perang Rusia-Ukraina dengan keterlibatan kekuatan besar NATO berhadapan dengan negara-negara pendukung Rusia. Bayang-bayang perang lebih besar dengan persenjataan super modern sangat mengkhawatirkan.
Belum lagi Krisi lingkungan datang dengan cepat berdampak nyata di berbagai belahan dunia. Banjir, kekeringan, kebakaran hutan, longsor , dan munculnya virus-virus baru terjadi silih berganti seantoro dunia sudah pada tingkat membahayakan ekosistem kehidupan.
Tak pelak, inilah yang mendorong forum World Economic Forum (WEF) 2021 mencetuskan gagasan Great Reset, upaya menata kembali kehidupan dunia, yang landasan pertamanya adalah perlunya kita mereset pola pikir (mindset) dalam memandang dunia. Landasan ini, terinspirasi dari gagasan Rutger Bregman berdasar studi sejarah panjang manusia, bahwa manusia itu punya sifat dasar baik dan umat manusia mempunyai sejarah penuh harapan.
Jadi, bertahannya keberlangsungan kehidupan manusia bukan dikarenakan kompetesisi saling mengalahkan, bukan karena yang kuat mengalahkan yang lemah, bukan karena egoisme yang membentuk keketertutupan. Bertahannya kehidupan manusia mampu beradaptasi dikarenakan kemampuan manusia saling bekerjasama, penuh keramahan dan dibangun di atas cinta.