Sepanjang yang saya ketahui dengan pengetahuan sejarah agama yang barangkali cetek sekali, terbesit suatu pikiran bahwa seorang Nabi Muhammad tidak akan menggunakan cara-cara kotor untuk mencapai tujuannya. Saya tidak terlalu memperdulikan apa sebetulnya tugas-tugas sang baginda, hanya ada dua hal yang saya yakini: tugas itu jelas tugas mulia demi kemaslahatan umat dan beliau tentu menjadi sosok yang sangat sabar dalam menghadapi segala rintangan. Satu fakta yang pasti, beliau berhasil!

Dari sekian banyak cerita kebaikan yang masuk lewat kuping kanan dan keluar dari kuping kiri, ada satu cerita yang membuat saya terkagum dengan sosok beliau. Alkisah ada seorang nenek-nenek buta dari agama lain, mungkin nasrani, yang konon katanya sangat membenci umat muslim.

Nabi Muhammad, karena tahu nenek itu tua dan kesulitan untuk makan sendiri, akhirnya setiap kali beliau lewat di depan nenek itu, ia menyuapinya. Suapan yang diberikan sangat halus menurut versi si nenek, begitu pula dengan sikap hingga tutur kata orang yang menyuapinya ini. Nenek itu bertanya-tanya, siapakah dia?

Nabi Muhammad secara konsisten melakukan kebaikan itu meski dirinya sendiri mengetahui bahwa si nenek sangat membenci Islam. Hingga singkat cerita pada akhirnya si nenek mengetahui kebenaran bahwa orang yang lemah lembut dan sangat baik untuk menyuapi nenek-nenek tua dan buta seperti dirinya adalah seorang Nabi dari agama Islam.

Sesuatu yang tentu tidak terpikirkan dalam benaknya atau minimal ia harus membenturkan realitas yang dihadapi ternyata tidak sesuai dengan apa yang ada di pikirannya selama ini. Entah bagaimana akhir keputusannya, mungkin saja ia menjadi masuk Islam.

Dari cerita sederhana itu, saya merefleksikan bahwa Nabi Muhammad memiliki etika politik yang sangat baik dengan cara membangun karakter dan kepribadian yang juga benar-benar terkontrol dengan baik. Etika politik paling penting yang bisa kita pelajari adalah konsistensi untuk mempertahankan segala yang baik demi kemanusiaan.

Seyakin-yakinnya saya bahwa Nabi Muhammad tidak sengaja berpikir picik atau secara strategis menyuapi nenek tersebut sekedar untuk tujuan politisnya mengislamkan orang lain.

Tentu pertimbangan dasarnya sangat mudah: Orang yang buta secara teknis rentan kesulitan untuk makan (baca: menyuap). Kesulitan makan akan mengakibatkan kesehatan diri yang tidak stabil, terlebih pada usia lansia. Maka, satu-satunya empati yang bisa kita praktikkan langsung adalah menyuapinya. Sederhana, agar manusia ini bisa terus sehat.

Lihat? Bahkan Nabi Muhammad dapat membantu orang lain tanpa melihat perbedaan dengan nalar yang sangat jernih.

Etika politik menarik lainnya adalah kemampuan untuk tidak memojokkan sang liyan hanya untuk mengatakan bahwa kita lebih baik dari mereka dan dari semuanya.

Kita bisa bayangkan bersama-sama tentang status sosial yang disematkan pada diri Muhammad. Nabi! Tentu status sosial yang sifatnya transendental dan sangat super power itu tidak bisa dinalar oleh akal manusia karena status tersebut dipercayakan langsung oleh Tuhan dengan segala prestisenya.

Ia tidak harus menjual statusnya sebagai seorang “Pembebas”, “Juru Selamat” atau sejenisnya yang sangat profetik. Nabi Muhammad jelas bukan orang yang narsistik. Ia bisa dipercaya oleh umatnya untuk menuntun mereka ke arah kebaikan bukan karena ancaman melainkan karena sifat kejujurannya, tanggung jawab yang ia terapkan bagi dirinya sendiri bahkan ketika ia masih berdagang.

Muhammad tahu persis bahwa di luar dirinya sebagai seorang Nabi, ia hanya seorang manusia yang besar kemungkinannya bisa berlaku salah. Untuk itu, penting baginya sejak awal untuk membangun kepribadian yang baik terlebih dahulu.

Bahkan, ada sedikit pemikiran out of the box darinya yang juga bisa kita pelajari. Ia tentu tahu persis bahwa Allah SWT dapat mengabulkan apapun permintaan dalam doanya. Seperti memberi adzab kepada suatu kaum, hanya Nabi Muhammad bukan tipe pemalas yang bermental pengecut macam itu. Ia berkeringat, mencoba sebisa yang bisa ia pikul dan jalani untuk mengajak secara persuasif tanpa menggunakan kekerasan, tanpa menyakiti hati siapapun, termasuk musuh Islam sekalipun.

Nabi Muhammad berhadapan langsung dengan ragam suku, salah satu yang paling kafir ya quraisy itu. Sekali lagi, ia bisa saja duduk diam dan berdoa supaya meminta Allah untuk menurunkan adzab sepedih mungkin kepada mereka. Namun, Nabi Muhammad tentu tahu persis bahwa kekerasan bukan jalan keluar.

Nabi Muhammad tidak ngedumel, ngomel, marah-marah apalagi sampai menghasut lawan-lawan politiknya di depan umat-umatnya. Ia tetap sabar bahkan dengan segala perlakuan kasar yang diterimanya. Seperti biasa, konsisten dalam kebaikan.

Sayangnya, entah kenapa saya justru tidak melihat adanya identifikasi etika politik yang digunakan oleh mahasiswa yang membuat gerakan dengan embel-embel ide plus semangat khilafahnya yang membosankan dan juga semangat pembebasannya (yang justru sangat tidak membebaskan apa pun dan siapa pun) dengan etika politik Nabi Muhammad.

Bertolak belakang sekali. Mereka hanya berkoar-koar meneriakkan kafir di sana-sini sembari mencari kelemahan dari seorang tokoh. Dalam hal ini, tokoh yang dimaksud adalah Ahok.

Sialnya pula, agaknya mereka tidak sadar bahwa tindakan yang mereka lakukan, secara etis telah melecehkan hingga menghancurkan diri salah seorang individu di mata publik. Saya kira mereka tidak perlu menjadikan diri seprofetik itu seakan-akan mereka adalah satu-satunya pembebas umat Muslim di Indonesia.

Etika politik Nabi Muhammad merawat konsistensi nalar kebaikan pada sang liyan. Etika politik Gerakan Mahasiswa “Pembebasan” merawat nalar kebencian pada sang liyan.

Oh iya, setahu saya, Nabi Muhammad tak perlu membuat video plus pamer almamater kebanggaan untuk cari perhatian publik. Dan, pengikutnya tetap luar biasa banyak.