Kalah dua kali berturut-turut dengan lawan yang sama tentu bukan hal yang bisa dibanggakan.
Meski dua kali mengeklaim bahwa pihaknya yang menang, menurut saya, kekalahan Prabowo dalam gelaran pilpres untuk kedua kalinya ini hanya tinggal diresmikan saja. Materi gugatan ke MK yang tidak berisi bukti-bukti kecurangan yang bisa dikuantifikasi membuat saya yakin bahwa MK akan menolak gugatan BPN.
Menarik untuk kemudian membuat analisis, mengapa seorang Prabowo yang mempunyai banyak sumber daya bisa kalah untuk kedua kalinya? Tidakkah ia belajar dari pengalaman?
Bahkan, umat islam yang militan dan konon rajin beribadah dan berdoa kepada Allah ada di kubu Prabowo. Mengapa Allah tidak mengabulkan doa hamba-hambaNya yang alim saleh ini?
Berikut ini hasil perenungan saya tentang empat alasan penyebab Prabowo kembali gagal menjadi Presiden. Keempat-empatnya adalah kesalahan dari pihak Prabowo sendiri, bukan kesalahan pihak lain.
1. Mencitrakan diri sebagai presiden pilihan ulama dan merepresentasikan diri sebagai pemeluk islam yang taat.
Berasal dari keluarga nonmuslim, tidak pernah mengenyam pendidikan agama di pesantren, tidak dekat dengan ulama sebelum pemilu, dan tidak menampakkan tampilan islami, tetapi mencitrakan diri sebagai presiden pilihan ulama tentu terasa sangat dipaksakan.
Berbeda dengan sebagian umat yang sendiko dhawuh dengan apa kata ulama, ada sebagian umat yang tetap menimbang bibit, bebet, dan bobot calon presidennya. Dibandingkan dengan Jokowi, dari dzahirnya, tentu Jokowi terlihat lebih islami. Entah itu pencitraan atau bukan.
Apalagi, pasangan cawapres Jokowi yang jelas-jelas ulama dihead to head-kan dengan sosok Sandi yang seorang pengusaha plus background pendidikan di sekolah kristen. Praktis, citra diri Prabowo tidak mampu menggaet keseluruhan suara umat islam. Bahkan umat islam yang masuk kategori taat sekalipun tidak semua takut dengan ancaman tidak masuk surga jika tidak memilih Prabowo.
Seharusnya, Prabowo dengan latar belakang militernya, menantu penguasa Orba, dan bahkan didukung langsung oleh sang putra mahkota zaman Orba, mencitrakan diri sebagai seorang nasionalis yang tegas dan patriotik. Dibandingkan tagline “Presiden pilihan ulama”, tagline “Enak jamanku to?” bakal lebih ‘klik’ dengan Prabowo.
Tidak dapat dimungkuri, jumlah pengagum Pak Harto sampai saat ini masih lumayan. Terbukti dengan Partai Berkarya yang tanpa perlu pasang iklan unfaedah di tivi bisa memperoleh 2.09% suara.
Tapi, kalau hanya mengandalkan pengagum Pak Harto atau orang-orang yang rindu dengan Orba, jumlah mereka masih kalah jauh dibanding para pengikut apa kata ulama, kan?
Nah, di sini kesalahan Prabowo. Para pengikut apa kata ulama ini sebenarnya hanya perlu perintah dari qiyadah-nya, hanya butuh maklumat dari imam besarnya, tanpa perlu pencitraan dari sosok Prabowo-nya.
Sudah banyak contoh di pilkada tahun lalu, di mana kepala daerah yang dipilih ulama, meski tidak mencitrakan diri sebagai pembela umat atau pejuang agama, akan tetap dipilih dan dipromosikan.
Dengan mencitrakan diri sebagai sosok yang akan mengembalikan kejayaan Orba plus mendapat rekomendasi dari para ulama, Prabowo akan mendapat dua lumbung suara. Ditambah lagi, swing voters yang enggan memilih Prabowo karena citra diri Prabowo yang “terlalu” islami bisa jadi akan berbalik memilih Prabowo.
2. Menggunakan strategi yang sama dengan 2014.
Petuah Bung Karno dengan akronim Jas Merah, yang berarti jangan sekali-kali meninggalkan sejarah, sepertinya kurang merasuk ke dalam sanubari Prabowo. Pada Pilpres 2014 lalu, tim Prabowo menggunakan strategi fitnah dan hoaks. Strategi yang gagal itu diulang lagi di 2019 dengan intensitas yang lebih nggilani.
Bagi pendukung fanatik Prabowo, materi fitnah dan hoaks itu akan segera diyakini sebagai sebuah kebenaran yang hakiki. Sedangkan bagi pendukung fanatik Jokowi, materi fitnah dan hoaks itu menjadi sasaran empuk untuk menyerang lawan.
Bagi para swing voters yang membaca berita dari kedua sisi, tentu tidak sulit untuk kemudian menentukan pilihan. Berkaca pada pilpres 2004, di mana SBY yang bisa dibilang ‘bukan siapa-siapa’ dibandingkan pesaingnya, Megawati dan Amien Rais, bisa menang karena menempatkan diri sebagai pihak yang terzalimi.
Sifat dasar rakyat Indonesia itu mudah merasa kasihan dan tidak tegaan. Menyerang Jokowi bertubi-tubi dengan berita fitnah dan hoaks malah akan membuat sebagian rakyat yang belum menentukan pilihannya merasa kasihan pada Jokowi.
Seharusnya, kubu Prabowo menjadikan serangan fitnah dan hoaks kepada dirinya sebagai senjata untuk meraup suara dengan menempatkan diri sebagai pihak yang difitnah. Bukan malah menyerang balik dengan fitnah dan hoask yang lebih terstruktur, sistematis, dan masif.
3. Tidak menawarkan program yang jelas.
Ada cukup banyak masyarakat yang tidak peduli dengan politik identitas. Tidak peduli agamamu apa, sukumu apa, dan kekayaanmu berapa, yang mereka pedulikan adalah programmu apa.
Ketika Jokowi masih mengusung program yang tidak jauh berbeda dengan 2014 lalu, Prabowo gagal mengisi kekosongan program Jokowi. Bahkan, beberapa kali pernyataan Prabowo, Sandi, maupun timsesnya saling bertolak belakang.
Contoh paling mudah diingat adalah masalah pajak. Pada debat pertama, jelas-jelas Prabowo menyatakan ingin menaikkan tax ratio hingga 16%. Tetapi di beberapa kesempatan, Sandi menyatakan ingin menurunkan pajak.
PKS sebagai partai pengusung menggunakan tagline bebas pajak motor dan menaikkan PTKP hingga 8 juta. PBB pun diwacanakan oleh timses Prabowo-Sandi untuk dihapuskan khusus untuk rumah pertama. Lalu, bagaimana tax ratio 16% bisa tercapai? Hingga tulisan ini dibuat, jawabannya masih misteri.
Program lain yang disampaikan Prabowo-Sandi tidak jauh dari sekadar memberi ikan ketimbang kail atau bahkan kolamnya. Pernyataan Sandi yang akan mengizinkan nelayan kembali menggunakan cantrang menunjukkan ketidakpahaman pasangan ini akan sustainability. Hal ini yang membuat pasangan Prabowo-Sandi tidak mendapat dukungan dari para “pakar”.
Seharusnya, Prabowo-Sandi tidak perlu menebar janji surga, tidak perlu berusaha membahagiakan semua orang. Yang perlu mereka lakukan hanyalah kembali membuat GBHN dan Repelita. Yup, dua hal utama yang dimiliki Orba. Cocok dengan image yang seharusnya dibangun.
Membaca dokumen visi-misi yang dikirim tim Prabowo-Sandi ke KPU, tidak banyak gebrakan yang dibuat. Padahal, ada banyak ide di luar sana yang tidak terpikirkan oleh kubu Jokowi.
Misal, di bidang energi, menyatakan dukungan untuk pembangunan PLTN. Di bidang lingkungan, melarang penggunaan kantong plastik di semua lini. Di bidang transportasi, menaikkan pajak, menaikkan tarif parkir, dan biaya impor kendaraan pribadi, didahului dengan merevitalisasi dan membuat sebanyak mungkin transportasi publik yang terintegrasi.
Eh, tapi kan pajak kendaraan bermotor pengen dihapus. Ah, gak nyambung jadinya.
Ya intinya, buatlah program yang menunjukkan sebuah pandangan jauh ke depan, sebuah cita-cita mulia akan menjadi apa Indonesia ini di 2050 nanti. Bukan malah menakut-nakuti Indonesia bubar di 2030.
4. Mencalonkan Diri.
Alasan terakhir ini jelas tidak terbantahkan. Seandainya Prabowo tidak mencalonkan diri lagi, pasti dia tidak akan kalah lagi.
Semoga tim sukses Prabowo membaca tulisan ini dan kemudian mengikuti saran saya jika tidak ingin kalah lagi di Pilpres 2024. Citrakan diri sesuai latar belakangnya. Jangan sebar fitnah dan hoaks. Buat program yang menunjukkan pemahaman menyeluruh atas permasalahan bangsa.
Dan yang terakhir, jangan mencalonkan diri. Calonkan yang lain.