Berkaca pada kondisi saat ini, pandemi Covid-19 memengaruhi masyarakat di berbagai sektor, mulai dari kesehatan, ekonomi, hingga sosial. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memproyeksikan lebih dari 66 juta anak terancam mengalami kemiskinan ekstrem karena pandemi Covid-19. Alhasil, angka pernikahan anak berpotensi meningkat dalam situasi ekonomi sulit.
Berbagai upaya yang berusaha diambil untuk menekan penyebaran virus telah menimbulkan dampak buruk bagi perekonomian. Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi sebesar 5 persen atau lebih tinggi selama satu dekade terakhir.
Namun, pada tahun 2020, angka tersebut diperkirakan turun hingga sekitar 2%. Meskipun Indonesia telah menunjukkan perkembangan yang signifikan dalam mengurangi kemiskinan ekstrem, hanya 52 juta penduduk Indonesia yang bisa dianggap memiliki pendapatan aman di tengah pandemi Covid-19.
Akibat lemahnya ekonomi ini, menikahkan anak dianggap menjadi salah satu solusi. Jawa Barat adalah salah satu daerah penyumbang angka pernikahan anak tertinggi di Indonesia berdasarkan data Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional tahun 2020. Sedangkan daerah Jawa Tengah meningkat dua kali lipat pasangan yang mengajukan dispensasi nikah dibanding tahun 2019.
Jawa Timur sendiri, menurut data dari DP3AK, terjadi peningkatan 20,7% pernikahan dini yang terlaporkan. Yang terlaporkan itu artinya yang melakukan akses permohonan dispensasi nikah ke pengadilan, kemungkinan yang menikah siri jauh lebih banyak lagi.
Sebelumnya, kenaikan pernikahan anak sendiri sudah diprediksi oleh United Nations Population Fund (UNFPA) akan terjadi 13 juta perkawinan anak di dunia pada rentang waktu 2020-2030 atau 10 tahun ke depan akibat pandemi covid-19. Melemahnya ekonomi menjadi salah satu faktor penting meningkatnya kurva pernikahan anak.
Mirisnya, banyak orang tua beranggapan bahwa dengan menikahkan anak maka beban ekonomi akan sedikit berkurang tanpa adanya efek samping. Di sisi lain, lemahnya pengawasan orang tua dalam pemberlakuan sekolah daring menjadi salah satu sebab insiden pergaulan bebas. Tidak dapat dihindari akibat dari pergaulan bebas tersebut yang menjadi salah satu sebab meningkatnya dispensasi nikah di masa pandemi.
Praktik pernikahan anak sendiri tetap marak meskipun pemerintah sudah merevisi batas usia minimal perkawinan di Indonesia menjadi 19 tahun melalui Undang-undang Nomor 19 tahun 2019. Selain itu, dalam ketentuan pasal 7, ada aturan yang menetapkan penyimpangan batas usia minimal dalam pernikahan hanya bisa dimohonkan dispensasi ke pengadilan.
Dalam pasal tersebut, lebih tepatnya pada ayat 2, orang tua pihak pria dan atau orang tua pihak wanita dapat mengajukan dispensasi nikah dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang jelas. Sedangkan dispensasi nikah harusnya mengacu pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 tahun 2019.
Namun faktanya, regulasi ini belum menekan praktik pernikahan anak di Indonesia. Buktinya, data selalu menunjukkan dispensasi nikah di pengadilan makin meningkat. Semestinya pengadilan sendiri jangan mempermudah izin dispensasi nikah. Fakta di lapangan, hampir 90% permohonan dispensasi nikah tersebut dikabulkan oleh hakim.
Merujuk data yang ada, darurat pernikahan anak di Indonesia sendiri ditunjukkan dengan laporan penelitian mengenai perkawinan anak yang dilakukan oleh Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak (Puskapa) bersama UNICEF, Badan Pusat Statistik (BPS), dan Badan Perencanaan pembangunan Nasional (Bappenas). Laporan yang dikeluarkan pada 2020 itu menyebut bahwa berdasarkan populasi penduduk, Indonesia menempati peringkat ke-10 perkawinan anak tertinggi di dunia.
Untuk memperbaiki sisi buruk tersebut, hakim sepatutnya mempertimbangkan alasan yang menjadi dasar permohonan dispensasi. Apakah alasan tersebut merupakan alasan yang benar-benar mendesak atau dapat ditunda, serta mempertimbangkan perlindungan dan kepentingan terbaik bagi anak dalam peraturan perundang-undangan dan hukum tidak tertulis dalam bentuk nilai-nilai hukum, kearifan lokal, dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Faktor ekonomi memang menjadi alasan utama pengajuan dispensasi nikah. Banyaknya pemohon datang dari keluarga lemah yang tidak bisa melanjutkan pendidikan lalu akhirnya memilih menikah saja. Anehnya, setiap anak yang melakukan pernikahan dini ini sadar dengan kemauannya sendiri, tidak hanya kemauan orang tua karena lemahnya ekonomi.
Beberapa daerah lain juga memiliki permasalahan serupa. Hal ini membuat kita sadar bahwa problem pernikahan tidak akan berhenti hanya dengan aturan minimal umur. Meningkatnya pernikahan anak merupakan masalah serius. Emosi yang belum matang akan menimbulkan banyak kendala dalam berumah tangga.
Di sini, orang tua seharusnya bertanggung jawab. Apabila pernikahan anak sudah telanjur terjadi, pendampingan perlu dilakukan oleh orang tua dan keluarga mempelai. Pendampingan yang bisa diberikan adalah dengan memberikan pengetahuan tentang pernikahan sehat dan selalu memberikan dukungan apabila terjadi permasalahan di dalam keluarga mempelai.
Melihat dampak secara luasnya, pernikahan anak dikhawatirkan akan menyebabkan terjadinya baby boom. Hingga akhirnya akan menjadi bonus demografi yang berlangsung lama hingga tahun 2030, namun dengan kurva miring ke kiri (kualitas SDM kurang bagus). Bayangkan saja bagaimana ibu-ibu hamil melahirkan di masa pandemi, di tengah lemahnya ekonomi, tekanan, baik fisik dan psikis.