Dalam rapat Anggota DPR RI, Ary Egahni dari komisi III (27/01) menyatakan dirinya akan mengawasi kasus Edy Mulyadi sampai ke meja hukum. Tak ayal itu,— ia juga menyampaikan pendapat bahwa seluruh wakil komisi III dari anggota DPR RI akan mengusut tuntas kasus penghinaan tersebut.

Sebagai aspirasi dari suara dan perwakilan masyarakat Kalimantan, dan suku Dayak. Ia tidak akan membiarai kasus ini tanpa melalui proses penegak hukum. Haerul Dodo, selaku anggota DPR RI Dapil II perwakilan Kalimantan Selatan,—ikut juga menyayat dan mempercayai penuh kepada pihak kepolisian untuk segera menanggapi dan menyelesaikan kasus ini secara tuntas.

Mereka menilai bahwa ungkapan Edy Mulyadi terhadap wilayah Kalimantan. Itu adalah bentuk penghinaan dan pelecehan pada suka Dayak, serta khusus masyarakat Kalimantan. Ungkapan 'Jin Buang Anak' menurut mereka telah melanggar masyarakat adat wilayah Kalimantan. Itu wajib di pidanakan.

Menanggapi kasus demikian, Eggi Sudjana Mastal (25/01), selaku ketua Umum Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) menegaskan kembali bahwa 'Ungkapan Jin Buang Anak adalah bukan kasus Pidana. Sebagai Ketua Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA). Ia menyarankan kepada publik dan selaku kepada pihak penegak hukum lebih khususnya. Agar hati-hati tidak menindaklanjuti kasus ini ke tingkat kriminalitas terhadap Ulama, yang kebetulan berselisih dengan pendapat dan pandangan aktivis tentang proyek pembangunan IKN.

Ia menyatakan bahwa perumpamaan "Ungkapan Jin Buang Anak" itu merupakan percakapan khusus masyarakat Betawi yang tersebar di wilayah Depok, Tangerang, Bogor hingga Bekasi. Menurut beliau; Tangerang dulu juga adalah tempat buang anak. Begitu juga dengan wilayah Bogor, sama seperti Depok. Sesuai Pasal 1 Ayat 1 KUHAP tentang Azas Legalitas Hukum Pidana.

Secara adat, masalah ini sama sekali tidak menimbulkan masalah hukum. Karena sejauh yang mereka kritik adalah di tujukan khusus kepada wilayah IKN. Menunjukkan tempat itu jauh dari lokasi Jakarta. Yang di dalamnya pula merupakan tempat pertambangan batu bara, kawasan hutan, dan lobang batu bara.

Jadi sah-sah saja pendapat mereka menuai konflik, dan perselisihan. Sebab kritikan yang mereka bangunkan adalah bukan di tujukan khusus kepada golongan, ras, suku, etnis, dan agama. Melainkan mereka lebih menilai kepada proyek pembangunan IKN, yang utamanya lebih menguntungkan kelompok pengusaha dari wilayah Jakarta. Daripada kepentingan publik di Indonesia.

Jika pihak Pemerintah dan anggota DPR RI siap adu argumen terbuka, terkait proyek IKN yang menguntungkan pihak-pihak pengusaha/oligarki ini. Silahkan!

Berhubung juga, kelompok-kelompok, anggota dan ketua Tim Pembela Ulama dan Aktivis sudah siap menunjukkan fakta, data dan dokumen tentang kebobrokan proyek pembangunan ibukota negara (IKN). Serta juga bagaimana, keterlibatan Kemenkeu yang mau pake dana PEN untuk ke IKN. Itu semuanya sudah jelas.

Suharso Monarfa, selaku Mentri Perencanaan Pembangunan Nasional tidak tahu sebagian wilayah di IKN itu merupakan konsesi wilayah tambang. Sementara di lain sisi, Airlangga Hartato membantah tentang dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk pembangunan ibu kota negara baru (IKN). Karena, mengingat pembiayaan, rincian dan alokasi anggaran APBN-Pembangunan belum jelas di tahun 2022.

Tetapi jika Pemerintah dan Anggota DPR ingin tetap melakukan eksekusi terhadap proyek pembangunan ibu kota negara baru (IKN). Itu sudah sangat jelas-jelas menguntungkan para taipan dan pihak pengusaha. Seperti Sukanto Tanoto, Hasyim, Jojohadikusumo, Luhut Panjaitan, maupun Reza Harwindo.

Oleh karena itu, apa yang menjadi kritikan besar dan pernyataan tegas dari Edy Mulyadi itu adalah bukan bagian "Ungkapan Tempat Jin Buang Anak". Melainkan ada yang lebih subtantif dan lebih nasional. Yang lebih di khususkan kepada Pemerintah dan DPR tentang pemindahan ibu kota negara baru. "Ungkapan Jin Buang Anak" itu adalah bagian daripada ekspresi idiom. Untuk itu tidak bisa di proses dengan kententuan pasal 28 ayat (2) Jo pasal 45A ayat (2) UU no 19 Tahun 2016 tentang perubahan UU no 11 tahun 2008, tentang ITE.

Mengingat; —ujaran dan penyampaian pendapat itu tidak mengandung unsur sara, penghinaan, pelecehan dan pencemaran nama baik terhadap etnis, suku, ras, dan agama, maupun masyarakat Kalimantan lebih khususnya.

Kalau kritikan itu kemudian, alih-alih di anggap oleh pihak pemerintah dan anggota DPR RI sebagai bentuk ancaman dan pembungkaman terhadap kebebasan berpendapat. Maka tidak jauh berbeda dengan Risma yang menyinggung masyarakat Papua.

Bahkan kesekian kalinya, ketika PDIP yang mengeluarkan pernyataan sara, tetap tanpa melalui proses hukum. Puan Maharani menyinggung masyarakat Minang, hingga Alteria Dahlan akhir-akhir ini menyinggung masyarakat Sunda. Itu di biarkan juga tanpa melewati proses hukum.

Jika saya tanya, apa bedanya Alteria Dahlan, Puan Maharani, dan Risma dengan Edy Mulyadi?

Apakah di posisi hukum, —mereka memiliki kedudukan yang berbeda?

Kenapa tidak di proses?

Padahal status di muka hukum. Mereka semua memiliki kedudukan dan kewenangan yang sama.

Apa yang di upayakan dalam penyampaian; Edy Mulyadi hanya mengkritisi kebijakan pemerintah terkait wilayah IKN, yang terdiri dari kawasan hutan, perkebunan, dan pertambangan yang di kuasai oleh para pengusaha Jakarta. Bukan persoalan remeh-temeh "Jin Buang Anak".

Pemerintah dan anggota DPR RI terlalu fokus kepada Edy Mulyadi, padahal Puan Maharani, Alteria Dahlan, hingga Risma tidak di perhatikan lebih jauh.

Tetapi jika Pemerintah, DPR RI dan Pihak kepolisian tetap ngotot mengeksekusi Edy Mulyadi, ketimbang Puan, Alteria Dahlan hingga Risma. Maka secara hukum, sistem demokrasi kita gagal menerapkan UU ITE.

Sebab, yang paling mengkhawatirkan bagi kita, ketika hadirnya UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) ini. Di pakai oleh pihak kekuasaan sebagai sikap untuk mengkriminalisasi dan menangkapi seseorang yang di klaim menyuarakan sikap kritis, keputusan yang berbeda, dan pernyataan yang bertentangan dengan hukum dan moral Indonesia. Dari sejak di berlakukan, UU ITE ini. Sudah mengusut ratusan korban. Dari orang biasa hingga aktivis, dan advokat.