Edukasi Seks Masih Dianggap Tabu
Internet saat ini sangat mudah untuk diakses. Baik untuk lansia, dewasa, remaja, bahkan anak kecil hampir semua bisa menggunakan media sosial. Dalam dunia internet, online, media sosial, banyak informasi yang tersebar baik informasi baik, buruk, fakta, hoaks, mendidik, maupun merusak.
Di dalam internet, banyak edukasi yang bisa diberikan. Misalnya, edukasi pelajaran sekolah, politik, ekonomi, keadaan negara. Selain edukasi, masyarakat juga bisa mendapat hiburan di internet seperti menonton youtube, main game, dan sebagainya.
Sedari dulu, orang tua selalu menganggap bahwa pendidikan seks bagi anak itu tabu. Namun, anak-anak saat ini bisa mengakses internet dengan mudah. Mereka sudah diberi izin oleh orang tuanya untuk mempunyai gadget sehingga bisa mengetahui informasi-informasi, terutama informasi yang berbau seks karena tersebar luas di internet.
Bila orang tua tidak memberikan pendidikan seks bagi anak, kasus kekerasan seksual pada anak yang dilakukan oleh anak di bawah umur akan terus meningkat. Kasus tersebut sudah cukup banyak terjadi di Indonesia.
Sedikit dari orang tua yang memberikan edukasi seks pada anaknya. Faktor-faktor pendorong bagi mereka sendiri adalah mereka mempunyai informasi yang tepat mengenai seks, sehingga mengerti apa yang mereka ingin sampaikan pada anak. Komunikasi yang terbuka sedari kecil juga memudahkan mereka untuk berbicara pada anak.
Mengapa edukasi seks pada anak dianggap tabu oleh kebanyakan orang tua? Kebanyakan orang tua menganggap bahwa memberikan pendidikan seks pada anak itu dianggap kotor dan mengajak anak untuk melakukan hubungan seks. Orang tua merasa tidak nyaman bila harus membicarakan hal tersebut pada anak apalagi bila anak belum memahami dunia luar.
Orang tua merasa, pendidikan seks sebaiknya diberikan pada guru di sekolah, seperti mengadakan seminar. Selain itu, orang tua juga merasa susah untuk menata kalimat yang benar agar anak bisa mengerti maksud dari mereka. Mereka merasa bingung bagaimana menjawab saat anak bertanya pada mereka.
Faktor utama yang membuat anak-anak berani untuk melakukan perilaku menyimpang adalah kurangnya kedekatan dengan keluarga. Kurangnya kedekatan dengan keluarga bisa terjadi karena beberapa faktor.
Orang tua yang pola asuhnya otoriter, membuat anak tidak berani untuk berbicara dengan nyaman di lingkungan keluarga. Padahal, dalam keluarga, komunikasi itu penting supaya ada keterikatan antara orang tua dengan anak. Sementara orang tua yang permisif, juga bisa membuat anak melewati batas aturan dan berani untuk melakukan perilaku menyimpang.
Perilaku Behavioristik
Bentuk perilaku bisa diperoleh dari 2 kemungkinan, (1) nature, yaitu perilaku yang diturunkan dalam bentuk biologis, (2) nurture, perilaku yang dipengaruhi oleh lingkungan, yaitu pengalaman hidup.
Dalam psikologi sosial, banyak ahli percaya bahwa perilaku bukan terbentuk dari perilaku turun temurun, melainkan bagaimana kebiasaan, pola, pengalaman sehari-hari mereka berpengaruh. Menurut John Dewey, perilaku muncul bukan hanya dari peristiwa masa lalu, namun karena situasi saat ini yang dialami dan terus berubah.
Dari pendekatan nature dan nurture, terdapat 4 perspektif yang bisa digunakan untuk memahami perilaku sosial, yaitu : perilaku behavioristik (behavioural perspectives), kognitif (cognitive perspectives), structural (structural perspectives), dan interaksionis (interactionist perspectives).
Pada artikel kali ini, penulis akan berfokus pada pendekatan behavioristik. Perilaku behavioristik menekankan pada pengamatan perilaku yang dilakukan seseorang, bertolakbelakang dengan kognitif yang harus memahami proses mental seseorang berperilaku.
Pendekatan behavioristik awalnya diutarakan oleh John B. Watson (1941, 1919). Menurut Watson, dalam memahami perilaku, sebaiknya kita bersifat obyektif, sesuai dengan apa yang diamati, dikatakan, dan dilakukan.
Dalam teori pembelajaran sosial (social learning theory), Neil Miller dan John Dollard mengatakan dari hasil laporan percobaannya bahwa manusia belajar dari imitasi atau peniruan (imitative behaviour). Menurut Miller dan Dollard, anak-anak melakukan perilaku meniru karena mereka diimingi imbalan seperti permen.
Selain itu, anak juga bisa membedakan orang yang ditirunya. Misalnya, anak akan meniru bila orang tersebut laki-laki. Anak-anak juga suka meniru orang yang sebelumnya telah memberikan mereka imbalan.
Dari hasil percobaan Miller & Dollard, Albert Bandura dan Richard Walters kemudian mengusulkan perbaikan atas pendapatnya. Bandura dan Walters menyatakan bahwa perilaku meniru bisa terjadi tanpa adanya imbalan dan reinforcement (penguat). Hal ini terjadi karena anak-anak pada dasarnya memiliki perilaku agresif. Anak-anak bisa mengamati melalui film, kartun, dan proses tersebut dinamakan observational learning, yaitu pembelajaran melalui pengamatan.
Hal yang utama dari observasi adalah modeling. Perilaku modeling bukan sekedar meniru, namun melibatkan penambahan dan pengurangan perilaku yang terjadi. Menurut Bandura, mayoritas tingkah laku manusia dihasilkan dari peniruan dan modeling. Dalam hal ini, pengaruh orang tua dan guru berperilaku sangat besar bagi anak karena anak terus melihat bagaimana sosok orang tua dan guru berperilaku di sekitarnya.
Dalam prosesnya, ada 4 proses bagaimana anak belajar melalui observasi, yaitu :
a) Perhatian / Atensi (attention process)
Sifat model yang atraktif akan menarik perhatian pengamat. Pengamat perlu memperhatikan model dengan saksama dan tepat.
b) Representasi (representation process)
Informasi yang didapat dari model harus diingat dan disimpan dalam otak atau ingatan. Representasi bisa berupa representasi verbal dan imajinasi. Representasi verbal memungkinkan pengamat untuk mengevaluasi mana yang sebaiknya dilakukan dan tidak, sedangkan representasi imajinasi memungkinkan pengamat untuk melakukannya dalam pikiran.
c) Peniruan tingkah laku (behaviour production process)
Setelah memperhatikan dan merepresentasikan informasi yang didapat, pengamat kemudian mulai bertingkah laku. Dalam pikirannya kemudian timbul pertanyaan seperti “bagaimana melakukannya?”, “apa yang sebaiknya dilakukan?”, “apakah hal yang saya lakukan sudah benar?”
d) Motivasi dan penguat (motivation and reinforcement process)
Pembelajaran melalui observasi lebih mudah dilakukan bila ada motivasi. Observasi memudahkan individu untuk menguasai suatu tingkah laku, namun percuma bila tidak ada penguat yang membuat ingin dilakukannya tindakan tersebut.
Strukturalisme
Dalam kehidupan masyarakat, ada sebuah tatanan, struktur tertentu yang selalu sama dan susah diubah karena struktur tersebut sudah bertahan lama dan rekat di kehidupan masyarakat. Pemikiran tersebut disebut teori strukturalisme yang dikemukakan oleh Levi Strauss, seorang ahli antropologi dan etnografi.
Menurut Levi Strauss, sebuah struktur didapatkan dari pemikiran-pemikiran manusia terhadap realitas. Strukturalisme lebih ditekankan sebagai metode analisis struktur yang ada dalam masyarakat, budaya, mitos, sosial. Strukturalisme membantu proses analisis cara berpikir manusia mulai dari konsep, simbol. bahasa, budaya, bahkan kehidupan sehari-hari.
Dampak Edukasi Seks Dianggap Tabu pada Proses Belajar Anak
Dalam prosesnya, anak-anak belajar melalui pengamatan dan imitasi (behavioristik). Di zaman yang canggih ini, anak bisa melihat berbagai informasi, video, foto, dari gadget dengan mandiri. Bila anak tidak diberi pendampingan, anak akan berani melakukan hal-hal menyimpang.
Perilaku menyimpang yang dibahas dalam artikel ini adalah kasus anak-anak di bawah umur yang menonton video pornografi, dan bahkan memperkosa anak lainnya. Perilaku tersebut dihasilkan melalui proses imitasi.
Proses imitasi anak melakukan pemerkosaan menurut Bandura bisa dirangkai seperti ini: (1) Atensi - anak menonton video pornografi di youtube atau platform lainnya, memperhatikannya dengan saksama, (2) representasi - anak mengingat hal-hal yang Ia lihat, menyimpannya dalam otak, menjadi kecanduan karena dilakukan berkali-kali, (3) peniruan - anak meniru perilaku yang Ia lihat, (4) motivasi dan penguat - mungkin pengaruh usianya yang berada di masa meningkatnya dorongan seksual mendukung aktivitas tersebut, juga pengaruh dari teman-teman atau lingkungan sekitar.
Pola asuh orang tua juga memengaruhi perilaku anak. Pola perilaku yang otoriter menyebabkan anak tidak ada komunikasi dua arah sehingga anak lebih senang bermain sendiri. Akibatnya, Ia terlalu berfokus pada gadget dan menelusuri internet tanpa sepengetahuan orang tua.
Pola asuh yang permisif juga memberi dampak pada anak. Anak menjadi seenaknya sendiri, bebas melakukan hal yang Ia mau. Akibatnya, anak berani untuk melakukan hal-hal di luar aturan atau menyimpang.
Antara orang tua dan anak membutuhkan komunikasi. Kebanyakan orang tua dari dulu berpikir bahwa edukasi seks bagi anak adalah hal yang memalukan. Pemikiran mereka sudah terstruktur bahwa edukasi seks bagi anak itu tabu, porno, dsb.
Orang tua tidak ingin memberikan informasi yang salah, membuat anak salah paham dengan arti dari seks yang sebenarnya. Namun, cara mereka dalam mendidik anak dengan tidak memberi pendidikan seks sejak dini malah salah.
Banyak akibat yang bisa terjadi bila orang tua tidak sejak dini memberi edukasi seks pada anak. Pemikiran orang tua yang terstruktur seharusnya diubah dari ‘edukasi seks itu porno’ menjadi ‘edukasi seks itu bermanfaat’.
Pemikiran terstruktur punya dampak positif dan negatifnya sendiri. Dalam pembahasan kali ini, pemikiran ‘edukasi seks itu tabu’ memberikan dampak negatif pada anak karena bisa menimbulkan masalah yang tidak diinginkan. Contohnya, anak bisa melakukan pemerkosaan, kecanduan pornografi, pemahaman yang salah tentang seks, dsb.
Tidak hanya mengubah pemikiran, orang tua juga harus memperhatikan aktivitas yang dilakukan anak, namun tidak mengekang. Orang tua harus memperhatikan hal-hal yang anak amati, agar proses pengamatan dan imitasi yang terjadi tidak salah.
Kesimpulan
Dalam proses belajar menurut Bandura, ada 4 proses yang terjadi. Pertama, anak memperhatikan tingkah laku model dengan saksama. Kedua, anak mengingat informasi yang didapat, mengingat tingkah laku model dan menyimpannya dalam otak. Ketiga, anak melakukan proses meniru. Terakhir, adanya motivasi dan reinforcement (penguat) yang mendorong proses meniru tersebut.
Pemikiran terstruktur tidak semuanya berdampak positif. Pemikiran terstruktur kebanyakan orang yang menganggap bahwa edukasi seks itu tabu atau porno dapat menimbulkan dampak negatif bagi anak. Anak harus dididik agar tidak melakukan perilaku menyimpang.
Proses belajar anak sangat penting. Proses belajar harus dilakukan dengan benar dengan adanya bimbingan dari orang tua. Apalagi, seiring bertambah canggihnya zaman, anak lebih sering mengamati informasi-informasi yang ada di gadget. Aktivitas tersebut harus berada di bawah pengawasan orang tua, agar anak tidak mengamati dan mengimitasi perilaku yang salah.