Kira-kira saat itu di bulan ketika enam bulan lagi tahun 2019 akan berakhir. Saya ketik di search engine aplikasi YouTube seorang tokoh yang bertahun-tahun namanya selalu bertengger dalam daftar orang paling kaya di dunia.

Ada kisah lucu nan menyakitkan dari tokoh ini bagi seseorang yang masih bermasalah dengan finansialnya. Kisah itu bersabda bahwa jika tokoh ini menjatuhkan uang 10 juta rupiah di jalan dan sadar telah menjatuhkan uangnya 4 detik kemudian.

Secara bersamaan, dia mengambil 10 juta uangnya yang jatuh tersebut, maka orang ini akan mendapatkan uang sebesar 20 juta rupiah setelahnya. 10 juta rupiahnya lagi dia dapatkan dari kalkulasi pemasukannya sebesar 2.5 juta rupiah per detik.

Bill Gates.

Alasan saya ketik nama Gates? Berharap bisa menemukan video Gates mengantri untuk beli Burger Dick’s Drive-In yang sempat viral di bulan Januari.

Tapi, alih-alih saya menemukan berbagai video dari kanal Gates sendiri yang banyak bercerita tentang buku-buku rekomendasinya.

Yang jadi perhatian bagi saya bukan rekomendasi buku-buku Gates, tapi sekelas Gates yang ternyata punya kanal YouTube sendiri, dalam hati saya pikir mungkin orang kaya belum ngerasa sekaya yang masyarakat pikirkan.

Sikap saya yang menilai Gates dengan cermin kanal-kanal Youtube yang sering nongol videonya di trending YouTube Indonesia dengan memasang banyak “titik kuning” alias iklan ini jelas keliru. Setelah saya klik konten pertama, kedua, ketiga, keempat, kelima…kesepuluh, “titik kuning” itu gak bermunculan sama sekali di konten video Gates yang buat saya serasa punya akun YouTube premium seharga Rp 59.000 per bulan (setara dengan 2 hari jajan kuliah).

Konten video ini bertajuk 5 Books Bill Gates Loved in 2018 yang Gates review sambil mengendarai mobil diantara kelap-kelip lampu bersuasana hari natal. Lima buku itu ada Educated dari Tara Westover, 21 Lessons fot the 21st Century dari Yuval Noah Harari, Meditation and Mindfulness dari Andy Puddicombe, Army of None dari Paul Sharre, dan Bad Blood dari John Carreyrou.

Berniat mencari ulasan kelima buku tersebut di Goodreads, pada halaman review buku Educated dari Tara Westover saya menemukan Gates yang mengulas buku ini dengan memberi 5 bintang serta sejumlah kata-kata ulasan Gates yang terlihat sangat merekomendasi buku ini.

Melihat Gates yang mengagumi buku ini saya pun penasaran untuk dapat merasakan sendiri pengalaman membaca sebuah tulisan memoar atau autobiografi ini.

Di Goodreads sendiri, rating buku ini mencapai skor 4.5 bintang dengan total 534.857 suara di awal Februari ini. Banyaknya penilaian yang bagus terkait buku yang diterbitkan pada tahun 2018 ini mengarahkan saya untuk membeli buku fisiknya yang ternyata belum disebarluaskan di Indonesia.

Nah, mumpung saat itu ada kocek untuk membeli buku saya pun berniat membelinya di sebuah situs pembelian buku luar bernama bookdepository.com. Saya pun gak langsung membeli buku Educated kerena mengingat pengirimannya yang prosesnya kurang lebih 10–20 hari kerja dan sayang banget kalau cuma beli satu buku aja.

Keinginan membeli buku ini saya ceritakan ke salah satu teman di kampus. Mungkin karena latar belakangnya anak kos-kosan atau sebetulnya karena dia punya banyak ide kreatif dengan cara minimalis, dia pun memberi saran saya untuk cari dahulu buku yang saya niat beli tersebut ke situs pencari artikel ilmiah dan buku gratis, yakni Library Genesis.

Dan ternyata memang ada guys.

Saya download lah buku tersebut dengan format Epub dan ketika saya buka di aplikasi Play Books tampilan dalamnya pun bisa dibilang ramah untuk mata karena kerapatan tulisannya yang gak terlalu rapat bak buku yang pernah saya download dalam format pdf.

Buku ini baru saya niat baca ketika 3 bulan setelah diunduh.

“My strongest memory is not a memory. It’s something I imagined, then came to remember as if it had happened”

Kalimat pertama dalam chapter pertama “Choose the Good” yang masih membekas secara emosional ketika membacanya. Wah, ini buku beneran bagus. Oke next.

Meningat buku ini berbahasa Inggris dan buku dalam genre di luar fiksi novel pertama yang saya baca, plus mengingat penulisnya punya gelar Ph.D yang membuat tulisannya punya banyak banget diksi baru yang mengharuskan saya menerjemahkannya beberapa kali.

Buku ini juga buat saya ngantuk di sepuluh halaman dan akhirnya saya vakum selama seminggu untuk melanjutkan buku ini.

Tapi, satu hal yang saya sadar dalam ‘ngantuk’ ketika membaca buku tersebut, sebetulnya itu respon otak saya yang harus kerja secara dua kali mengingat kegiatan ini bisa dibilang baru untuk otak saya. Karenanya solusi yang saya berikan terhadap otak saya ialah saya merusaha untuk membaca buku tersebut dalam lingkungan yang menantang, yakni saat di dalam bus Transjakarta jurusan S21 Ciputat-Tosari, yang mana seringkali saya berdiri di dalam bus tersebut.

Eh, saya naik TJ itu bukan hanya dalam rangka membaca buku aja tapi memang rutinitas saya yang hampir setiap hari pergi ke Perpustakaan Nasional.

Trik saya tersebut pun ampuh untuk otak saya, walaupun bisa dibilang setelah sepuluh halaman tersebut sampai sekitar halaman 45 saya masih bingung konteks buku ini akan seperti apa. Dan kali ini kegiatan membaca bisa dibilang sangat menyiksa bagi pengalaman saya sendiri.

Setelah halaman 45 tersebutlah saya mulai menemukan maksud buku ini, lebih tepatnya di bagian kelima “Honest Dirt” yang buat saya geleng-geleng kepala sekaligus ketawa di dalam TJ pas bagian abangnya Tara, yakni Tyler yang bilang ke Ayahnya ingin berkuliah.

Dengan sinis ayahnya menjawab, “Kuliah cuma untuk orang-orang tolol yang baru pertama kali belajar. Dan ada 2 tipe professor di kampus, yakni yang tahu mereka bohong dan mereka yang berpikir mengatakan sebuah kebenaran. Entahlah mana yang paling buruk. Coba pikirkan, agen bonafide dari iluminati yangmana mereka tahu ada di daftar gaji iblis, atau professor yang berpikiran tinggi, mengira kalau kebijaksanaannya lebih tinggi dari Tuhan.”

“A man can’t make a living out of books and scraps of paper. You’re going to be the head of the family. How can you support a wife and children with books?”

Jelas miris lah, dan kadang masih banyak orang tua yang tipe-tipenya macem Ayah Tara ini. Dan yang harus diketahui ialah apa latar belakang Ayah Tara hingga melarang anak-anaknya untuk menempuh pendidikan.

Oke,oke saya jabarin konteks.

Tara dibesarkan dalam sebuah keluarga survivalis agama Mormon fundamentalis di pedesaan Idaho. Ayahnya super skeptis dengan pemerintah, baik dalam aspek pendidikan sampai kesehatan.

Untuk menghindari pemerintah, Tara dan keenam saudaranya ditambah dengan orang tua dan nenek-kakeknya memilih untuk tidak memiliki akte kelahiran. Selain karena mereka semua dilahirkan dirumah tanpa bantuan dokter dan rumah sakit, itu juga karena ayahnya yang punya pandangan kalau para dokter di rumah sakit tidak berniat untuk menyembuhkan pasiennya, melainkan berusaha untuk membunuh.

Untuk pendidikan sendiri, Tara dan keenam kakanya (Tony, Shawn, Tyler, Luke, Audrey, Richard) gak pernah menempuh pendidikan formal karena menurut ayahnya public school yang dimiliki oleh pemerintah hanya akan menjauhkan anak-anaknya dari Tuhan.

Ayahnya memiliki junkyard (tempat barang rongsokan) yang digunakan sebagai salah satu ladang pencaharian ayahnya dibantu oleh anak-anaknya. Serta ibunya sebagai midwife atau dalam bahasa Indonesianya semacam dukun beranak.

Hmm, mau bilang bidan tapi masalahnya ibunya Tara ini gak belajar secara formal, melainkan secara autodidak dan pengalamannya sebagai asisten dukun beranak. Wkwk.

Gerbang Tara untuk Berkuliah

Tara sebagai anak bontot sendiri bisa dibilang kalem dan nurut dengan orang tuanya. Dan Tara yang pada akhirnya memutuskan untuk bersekolah di umurnya yang ke tujuhbelas tahun ini didorong kuat setelah abang ketiganya, Tyler berkeinginan untuk meninggalkan rumah dan berkuliah.

Di keluarga Tara sendiri, ada dua kakak tertuanya yang melakukan hal yang sama. Kakak tertuanya, Tony meninggalkan rumah demi mengumpulkan banyak uang untuk menikahi perempuan pilihannya. 

Kemudian, Shawn yang meninggalkan rumah setelah sebelumnya bertengkar hebat dengan ayahnya. Dan Tyler yang sedari dulu suka mendengarkan musik klasik Mozart dan Chopin, dan banyak membaca buku pada akhirnya memutuskan untuk berkuliah.

“Go where I went,” Tyler said. “Go to college.”

I snorted.

“BYU takes homeschoolers,” he said.

“Is that what we are?” I said. “Homeschoolers?” I tried to remember the last time I’d read a textbook.

“The admission board won’t know anything except what we tell them,” Tyler said. “If we say you were homeschooled, they’ll believe it.”

“I won’t get in.”

“You will,” he said. “Just pass the ACT. One lousy test.”

Tyler stood to go. “There’s a world out there, Tara,” he said. “And it will look a lot different once Dad is no longer whispering his view of it in your ear.”

Demi lulus test ACT ini, Tara mulai belajar sendiri dengan membeli buku bimbingan belajar ACT. Tara harus belajar mengenai aljabar dan trigonometri, bahasa Inggris, science alias IPA.

Sampai akhirnya Tara dinyatakan lulus.

Tara berkuliah di Brigham Young University mengambil jurusan sejarah. Perjalanannya pun penuh dengan lika-liku.

Kala itu di kelas Tara mengangkat tangannya, bertanya kepada professor kelasnya terhadap sebuah kata yang tidak diketahuinya. Bukannya jawaban yang diberikan, professor tersebut justru berkata, “thanks for that,” dengan sinis.

Holocaust. Yap, itu yang ditanyakan Tara sebagai mahasiswa sejarah. Dan selama satu semester itu Tara gak pernah lagi mengangkat tangannya untuk bertanya.

Perjuangan Tara akan pendidikannya ini mengantarkan dirinya mendapatkan beasiswa sampai ke jenjang S3 di Universitas Cambridge.

Pendidikan dan Penemuan Diri

“Ithink education is really just a process of self-discovery of developing a sense of yourself and what you think. I think of [it] as this great mechanism of connecting and equalizing.” Tara dalam wawancaranya dengan Bill Gates.

Bisa mengikuti cerita Tara dengan pendidikannya tak lain sebuah penggambaran dari hakikat pendidikan itu sendiri. Tara sendiri dalam bagian terakhir menyatakan bahwa para pembaca boleh saja mengatakan ceritanya tersebut merupakan sebuah transformasi, metamorfosis, kepalsuan, ataupun pengkhianatan. Tapi, baginya proses panjang yang mengorbankan kesehatan mentalnya tersebut ia sebut sebagai sebuah pendidikan.

Tara saat di umur enambelas tahun membantu ayahnya di junkyard dengan Tara setelah di bangku kuliah hingga mendapatkan gelar Ph.D nya jelas berbeda. Pendobrakan identitasnya yang Tara akui bahwa ia tidak lagi mengikuti kepercayaan Mormon atau agama lainnya, walaupun konsep “kepercayaan” sendiri masih ia pegang dan terus dicarinya.

Tara yang sudah berubah mungkin dianggap sesat oleh keluarganya yang masih dalam horizon survivalis, tapi pencapaian dirinya lewat pendidikan ini menunjukkan bahwa pendidikan dapat menemukan pendirian diri dengan proses pengalaman dan refleksi lewat proses itu sendiri.

Halnya Tara yang sebulan penuh belajar trigonometri dan hasilnya terbayarkan dengan lulus test ACT, justru proses sebulan penuh ini yang menjadikan dirinya bagian proses pendidikan yang dapat mengeluarkan jati dirinya.

Dan membaca tak lain dari proses connecting the dots bagi saya, dalam membaca memoar Tara ini selain merasakan secara emosional lewat pengalaman Tara bahwa proses sungguh menyakitkan dan ruang ‘kegagalan’ itu akan selalu tersedia. Tapi, kesuksesan bukanlah sukses tanpa suffer, pain, failed, and happiness. Tanpa ‘mereka’ sukses hanyalah sebuah diksi ketika tidak ada keterlibatan emosional.

Sosok Isaiah Berlin dengan konsep kebebasannya saya temukan lewat membaca Educated. Dan itu bagian ‘harta karun’ dari membaca buku yang baru saya alami di masa perkuliahan. 

Kadang membaca bukan hanya memahami isi yang ditulis dari sang penulis, tapi terkadang ketika tulisan itu mencerminkan konflik yang sedang dialami secara personal, membaca buku menjadi bagian dari penjelasan konflik-konflik yang ada dan lahirlah sebuah solusi.

Bagi saya cerita Tara dalam buku debutnya ini ialah buku untuk semua orang yang ingin berkelana dengan lika-liku pendidikan. Karena ia bukanlah hanya sebuah tempat, kelas, strata ataupun gelar tapi sebuah proses menemukan diri.

Noted: tulisan ini penulis garap dalam rangka mengulas buku Educated sekaligus menulis pengalaman penulis membaca buku genre non-fiksi berbahasa Inggris pertama kalinya.