Kapan kasus korupsi berakhir di tanah air ini? Pertanyaan tersebut seakan akan melayang bebas di hati dan pikiran kita semua yang menerima efek negatif dari kasus ini. Timbulnya pertanyaan demikian dilatarbelakangi  sakit hati dan kerugian yang dirasakan.

Sedikit cerita pengalaman pribadi saat saya masih duduk di bangku SMP, sepertinya itulah pertama kali saya menyadari sesuatu yang namanya "korupsi". 

Ketika itu, saya dan tim dari sekolah berhasil meraih peringkat pertama lomba pramuka di kabupaten. Hadiahnya lumayan menarik bagi anak seumuran saya. Namun saat pembagian hadiah, pihak panitia penyelenggara tidak menyerahkan hadiah yang berupa makanan secara utuh kepada kami. 

Saya secara spontan menyapa salah seorang panitia yang saya kenal dan bertanya, "Om, itu, kan, makanan kami." Beliau menjawab, "Itu, kan, sama kalian sudah banyak. Habiskan dulu yang itu."

Terkadang hal korupsi tidak selalu bicara tentang uang ataupun seberapa sering Anda mengambil apa yang bukan bagian Anda. Ini juga tentang moralitas dan hidup. Bahkan segelas air sangatlah penting bagi orang yang membutuhkannya. 

Maka tiap individu tidaklah baik bila memiliki pola pikir "tidak masalah; hanya Rp1.000 dari Rp100.000" atau "tidak masalah; hanya 10 menit telat". Kita haruslah mengubah pola pemikiran kita. Lakukanlah apa yang seharusnya Anda lakukan, dan ambillah bagian yang memang bagian Anda.

Kita mengetahui bersama bahwa korupsi merupakan tindakan tercela. Pertanyaannya, mengapa kasus ini tetap famous? Apa yang salah dengan kita? Apakah hukum di negara ini tumpul terhadap korupsi?

Di hari pertama tahun 2019 ini, saya menghabiskan waktu berbincang dengan ayah saya. Banyak hal yang kami perbincangkan, mulai dari hal yang serius seperti perkuliahan dan perekonomian keluarga, sampai hal bersifat ringan seperti candaan dan pengalaman masa lalu sang pahlawan. 

Mengakhiri percakapan, saya bertanya pada ayah, "Pa, kapan kita punya mobil supaya lebih enak kalau pulang kampung?" 

Spontan ayah saya tertawa dan menjawab, "Kami ini hanya guru biasa, nak. Gak ada uang beli mobil. Kalian bertiga butuh biaya besar untuk melanjutkan sekolah kalian. Jangan terlalu ingin nyaman. Itu awal korupsi loh. Kecil memang, tapi duri kecil itulah yang bahaya."

Sontak saya terkejut dengan pernyataan ayah saya: "Itu adalah awal korupsi." Dalam hening saya bertanya, "Sesederhana itukah?" 

Di jadwal peraturan asrama, seharusnya saya bangun pukul 5 pagi. Namun ranjang terasa begitu nyaman dan hangat. Seakan mengikat badan untuk tidak beranjak melakukan aktivitas yang sedari awal telah direncanakan. 

Sungguh contoh yang begitu sederhana dari tindakan korupsi waktu. Sulit untuk mengubah suatu kebiasaan. Namun bila telah berubah, itu adalah suatu pencapaian yang luar biasa untuk diri sendiri awalnya, sebelum untuk mengubah tatanan yang lebih luas.

Seorang penyanyi terkenal, Franky Sahilatua, berkata, "Korupsi adalah Oksigen." 

Bukan hal yang baru ketika kita dihadapkan pada kasus korupsi. Beberapa orang bahkan mengasumsikan bahwa korupsi telah menjadi kebiasaan, tradisi, bahkan budaya bangsa. Tentunya kita prihatin terhadap hal demikian, namun kenyataannya kita tetap hidup dalam lingkaran situasi ini. 

Korupsi bukanlah hal yang baru bagi Indonesia. Sejak zaman kerajaan, rakyat nusantara telah terjangkit virus korupsi ini. Dari sejarah perjalanan bangsa ini, kita seharusnya belajar dari kasus penaklukan kerajaan Mataram oleh VOC. Hal tersebut bukanlah disebabkan lemahnya kerajaan Mataram, melainkan gaya hidup bangsawannya yang suka memperkaya diri sendiri. 

Pada zamannya, populer sebuah ungkapan bahasa Belanda "Elke regent heeft zijn eigen Chinees" yang bermakna setiap bupati memiliki orang Cina untuk memperkayanya. Jadi, apakah korupsi merupakan warisan tradisi dari zaman lampau atau hanya masalah moralitas?

Korupsi dalam sumber daya alam agaknya memiliki potensi yang lebih besar dibanding sektor yang lainnya. Dengan kayanya sumber daya alam yang dimiliki Indonesia, bukanlah tidak mungkin terjadi pemanfaatan hal ini dengan tidak bertanggung jawab. Oleh sebab itu, pengawasan harus lebih difokuskan. 

Saya tertarik melihat lebih dalam pada manajemen sumber daya alam kita. Dengan luasan lahan yang demikian besarnya, pemalsuan sertifikat lahan akan menghasilkan dana yang sangat besar. 

Kita punya 10.000 sertifikat tanah yang telah diterbitkan dari sektor pertambangan. "Namun hanya sekitar 3.000 yang terekam di NPWP," tegas Laode M Syarief selaku Wakil Ketua KPK. Lalu ke mana yang lainnya? Bukankah hal tersebut menimbulkan kecurigaan bahwa telah terjadi penggelapan di dalamnya?

Kerap kali situasi seperti ini berdampak negatif pada pekerja yang terlibat di dalamnya. Satu satunya pihak yang diuntungkan di dalam ini adalah sang koruptor. 

Runtuhnya manajemen sumber daya alam juga berdampak pada bencana alam. Ketika seorang mencari keuntungan dari sektor sumber daya alam ini, maka dia akan berjalan terus tanpa mempertimbangkan dampaknya. Contohnya dalam penebangan liar. Bukankah hal ini mendukung terjadinya bencana alam?

Beberapa tahun yang lalu, ada berita tentang kasus korupsi di PTPN V. Tersangka merupakan seorang kepala koperasi tani. Dia merugikan negara sebesar Rp1,2 M dalam kasus penggelapan sertifikat. Atas tindakannya ini, tersangka harus mendekam di penjara selama 6 tahun. 

Dari kejadian ini, kita dapat belajar bahwa koruptor bukanlah seorang yang berpendidikan rendah dan apa pun yang dilakukan di masa ini akan mendapat balasan setimpal di masa yang datang. 

Dan satu hal lagi yang saya dapat, yaitu berhati-hatilah terhadap tingkatan sosial di dalam suatu komunitas. Makin tinggi tingkatan seseorang, makin besar cobaan dan godaan untuk mengambil lebih dari yang seharusnya dimiliki. 

Mungkin kita harus belajar dari tuan Hoegeng semasa hidupnya. Beliau adalah Kapolri di masa 1968 - 1971. Beliau terkenal akan kejujurannya. Bahkan Gus Dur pernah berkata, "Hanya ada 3 polisi jujur di Indonesia. patung polisi, polisi tidur, dan Hoegeng." 

Apa yang membuatnya begitu jujur adalah nasihat ayahnya yang selalu menaungi perjalanan hidupnya. Korupsi dapat dijumpai dalam hal yang sangat kecil dan sederhana sekali. Namun ibarat duri, hal kecil ini dapat membuat ibu pertiwi pincang jalannya. 

Sebagai penutup, saya mengutip perkataan ayah tuan Hoegeng yang menjadi pedoman hidup beliau: "Hal yang paling penting di dunia ini adalah kehormatan dan nama baik. Jangan rusak reputasimu dengan tindakanmu."