“Buku apa saja yang pernah kalian baca?”, “Cerpen apa yang sangat berkesan bagi kalian?, “Genre cerpen seperti apa yang menjadi kesukaanmu?”, “Penyair siapa yang karya-karyanya paling kalian ingat?”, juga “Siapakah novelis favoritmu?” adalah sederet pertanyaan yang paling sering terdengar dari narasumber agenda workshop kepenulisan.

Beberapa kali, tanpa sadar, saya juga melontarkan pertanyaan-pertanyaan seperti di atas di dalam agenda-agenda serupa. Efeknya, pertanyaan-pertanyaan seperti itu mengajak siapa saja yang mendengarnya untuk mengingat kembali dan melakukan refleksi tentang membaca, bacaan-bacannya, serta diri sendiri. Saya tergolong pribadi yang bagaimana? Merujuk pada sumber bacaannya.

Sementara, karya sastra maupun sastrawan yang pernah ‘mampir’ di dalam ruang baca seseorang besar kemungkinan akan memberikan ekses pada proses kreatif kepenulisan. 

Semisal, betapa ketika kita suka membaca karya-karya Tere Liye, maka dengan sendirinya ada tema-tema dan perspektif yang kita gunakan tanpa sadar saat (belajar) menulis. Atau dalam permisalan yang berbeda, dialog antartokoh dalam novel “Dilan”-nya Pidi Baiq ramai-ramai menjadi quote pada postingan-postingan media sosial.

Bahkan, tidak mustahil pula pengaruh itu tersebut meruyak menyentuh pola berpikir dan pola perilaku seseorang. 

Ingat, Josef Stalin yang terinspirasi tokoh Koba dalam novel The Patricide karya Alexander Kazbegi. Tokoh bandit bernama Koba yang berani melakukan perlawanan terhadap Kerajaan Rusia Raya begitu mengilhami diri Stalin muda hingga dirinya bersikeras dipanggil dengan nama itu.

Sayangnya (setahu saya), hingga usia saya yang ke sekian ini, belum pernah ada seorang pun yang sudi memberikan pertanyaan-pertanyaan seperti di atas. Padahal, saya juga ingin orang lain mengetahui karya sastra maupun sastrawan yang memberikan kesan mendalam di malam pertama pembacaan. 

Hingga saking inginnya, kadang saya membayangkan diri saya adalah Fulgoso yang meminta kepada Maria Mercedes; “Takonono aku!! Takonono aku!!” 

Jika hingga hari ini ternyata belum ada yang bertanya, mungkin karena di zaman saya masih a-be-ge dulu, arus informasi dan komunikasi belum sederas sekarang. 

Dan perlu dicatat, di masa a-be-ge saya dulu itu, agenda-agenda workshop penulisan belumlah tumbuh bak cendawan di musim penghujan seperti di era sekarang. Atau mungkin, sudah menjamur juga tapi tidak menyentuh tanah tempat lahir beta, tempatku dibuai dan dibesarkan bunda. Atau memang sudah menjamur dan menimbulkan gatal-gatal jamur.

Akhirnya, saya putuskan penantian saya terhadap pertanyaan yang tak kunjung datang tersebut dengan blak-blakan membuat testimoni bahwa karya sastra dan sastrawan yang tertulis di judul di atas adalah “sesuatu sekali” dalam perjalanan hidup (kepenulisan) saya.

Bagaimana tidak? Saya belajar mengetahui rasanya didatangi first love bukan dari pengalaman nyata, namun dari tokoh novel tersebut. Bagaimana tidak? Saya belajar mengenal karakterisasi tokoh berikut konflik plus ending sebuah cerita dari novel yang ‘keriuk’ untuk dikonsumsi remaja juga dari tokoh-tokoh di dalam novel kecil tersebut.

Kehadiran sosok tokoh Dani yang masih suka gelendot di kaki mamanya (dalam novel tersebut) merasakan salah tingkah yang pertama ketika menatap mata Kati yang baru pindah dari Christchurch, New Zealand, memberikan feel yang membuat saya kala itu semangat membuka jendela dan menatap mentari pagi lalu goes to school. 

Saya pun celingak-celinguk di antara kawan-kawan sekolah saya, adakah Kati di antara mereka? Adakah Sang Primadona, Rita Caelia Indah Miria Utami? Adakah gadis jutek yang suka berjalan dengan mengangkat sebelah roknya, Mia?

Bahkan, kemudian saya berani membuat keputusan (lumayan) penting dalam hidup saya untuk berani ‘nembak’ lawan jenis di kali pertama juga usai membaca buku novel dengan cover remaja cowok yang tengah menggambar hati di pasir ini. 

Upsss…. Entah, sampai sekarang pipi saya suka merona jika mengingatnya. Jika cinta pertama adalah sebuah dosa, maka inilah perbuatan dosa yang pertama kali saya lakukan gegara “Sebuah Makhluk Mungil” karya Katyusha ini.  

Waktu pun tak selamanya berdiri mematung di satu tempat, waktu berjalan mengikuti garis imaji yang dibuat matahari. Seiring waktu pulalah banyak dosa berikutnya yang saya buat karena terinspirasi oleh buku tersebut. 

Jika menulis puisi cinta dan cerpen-cerpen romantis adalah sebuah dosa, maka susah bagi saya untuk menghitung berapa dosa yang saya buat. Sementara, sekali lagi, bentuk dan isi buku karya sastra itulah yang menjadi biang keladi.

Ketika perjalanan waktu kian jauh, hingga kemajuan teknologi digital berlari sepesat angin, sempat saya mencari tahu lebih banyak tentang “Sebuah Makhluk Mungil” dan “Katyusha” itu sendiri. 

Tetapi, seperti halnya bangunan karakter tokoh Kati yang sok lugu dan tidak menyadari bahwa dirinya memiliki 1000 syarat untuk dicintai, misteri masih menyelimuti novel terbitan Gramedia (1981) dan pengarangnya. Banyak kawan penggemar novel yang juga memiliki pengalaman serupa tapi tak sama dengan saya yang terinspirasi buku ini dan mencari tahu siapa sejatinya pemilik nama pena “Katyusha”.

Pun begitu, misteri ternyata tidak hanya di Gunung Merapi seperti kata Sembara dan Mak Lampir. Misteri ternyata juga ada di sosok Katyusha. Hingga saya blak-blakan membuat testimoni ini, belum juga ada titik terang tentang pengarang “Sebuah Makhluk Mungil”

Dan inilah dosa besar pengarangnya di mata saya. Sebab, (alm) Arswendo Atmowiloto saja akhirnya mengaku bahwa “Titi Nginung” adalah nama samarannya.