SEPANJANG sejarah kehidupan saya hanya satu pengalaman yang cukup unik dan menarik juga tangis. Kala duduk di bangku kelas dua SD. Bayangkan usia pun masih muda enam tahun.

Dimana pada waktu itu saya ditinggal atau tahan kelas dua sekolah dasar (SD). Nyaris mau pindah sekolah namun kali pertama tidak berhasil.

Kali kedua benar terbukti. Bakal pindah sekolah jauh dari kedua orangtua. Tempat asal dimana saya tinggal. Beda kabupaten.

Kenapa saya memilih pindah sekolah? Tentu karena takut nan malu. Malu bertemu juga senda gurau bersama guru-guru terutama teman sekelas yang baru saja naik kelas.

Lantaran malu justru sebulan tidak masuk sekolah. Bukan hanya sebatas malu saja tetapi justru berniat mau keluar sekolah.

Keluar sekolah pasti kedua orangtua marah besar. Sekali tidak pergi ke sekolah bakal mereka pukul sampai darah kejatuhan. Maklum saja kedua beliau ini paling jahat.

Sebulan tidak akses ke sekolah itupun karena saya bohongi; pura-pura sakit.

Sama sekali tidak menceritakan konkret soal keadaan sekolah dimana saya ditinggal atau tahan kelas.

Pasalnya kalau saya menarasikan tentu tensi mereka bakal meletus dan bisa dipukul belur. Hal itu menjadi alasan pokok tidak beritahu secara jujur kepada kedua orang tuaku.

Durasi cukup lama menjalan satu bulan dua minggu tidak masuk sekolah. Pak Y adalah guru yang menahan kelas itu pergi lapor sama bapa saya.

"Sepi kenapa tidak masuk masuk sekolah" tanya Pak Y kepada Bapa saya.

"Dia masih sakit" jawab Bapa singkat.

"Jangan-jangan Sepi tidak masuk sekolah karena kemarin ditahan kelas".

"Berarti Sepi tidak masuk sekolah bukan karena sakit melainkan ditinggal atau tahan kelas" gumam Bapaku.

Setiba rumah beliau memanggil saya dengan nada lembut tidak lazimnya sejahat anjing.

Kam tra ke sekolah karena tahan kelas to?!

Ahk, sapa yang bilang? sa ini sakit bapa!

Pak guru kamu sudah cerita sama bapa jadi jangan belajar menipu orang tua.

Saya terdiam bisu. Lupakan naratif itu lantas Bapa menyarankan agar lebih giat belajar supaya tahun depan Sepi bisa naik tangga. Kira-kira harapan sekaligus pesan Bapa demikian singkat.

Setahun lantas saya kembali masuk lagi ke sekolah. Raport lama yang huruf-hurufnya tidak terbaca gegara dimakan tikus masih cengkeram tangan.

Guru yang sama, Pak Y justru menerima saya sebagai peserta didik pada kelas yang sama tanpa basa-basi.

Setelah diterima, beliau menguji kemampuan membaca. Ia menulis kalimat pendek yang gampang dan mudah dibaca seperti 'saya', 'kamu', 'kita', dan lain sebagainya.

Pemahaman beliau ini memastikan apakah sudah bisa membaca atau tidak. Konkretnya, semua yang ditanya Pak Y spontan saya respon tepat.

Beliau takjub dan berkata bahwa betapa besar perjuangan kamu bakal secepat itu sudah bisa membaca.

Siapa mentor kamu? jawabku singkat, sosok YB tete saya. Beliau adalah seorang guru tertua kota Wamena yang baru-baru ini pindah tugas di SD Inpres Beko, Kecamatan Obano, Paniai, Papua.

Buah dari bimbingan atau didikan YB memang tidak sia-sia. Beliau terjuluk guru terbaik mampu menumbuh dan taklukkan segala macam penyakit dalam otak.

Semester selanjutnya setelah distribusikan raport kepada masing-masing siswa ternyata nilai saya cukup baik dan layak naik kelas.

Dari sini, sebagaimana yang saya gagas untuk hendak berpindah sekolah tiba-tiba timbul lagi dalam benakku.

Entah apa, saya komit bahwa kali ini waktu telah menjawab otomatis harus pindah sekolah. Ini sudah direncanakan setahun silam semenjak ditahan kelas.

Terbukti ketika saya menamatkan pendidikan sekolah dasar di SD YPPGI Uwakotopa, Dogiyai, Papua setelah pindah dari SD YPPGI Obano, Paniai, Papua.

Alasan konkret kenapa ditinggal atau tahan kelas? karena sama sekali saya belum mengenal dan memahami huruf apalagi baca tulis. Itu artinya buta aksara.

Bukan hanya itu, usia pun masih muda enam tahun. Kadang usia juga jadi satu alasan bagi tenaga pengajar dalam menentukan siapa layak dan pantas naik atau turun kelas.

Selain itu, penilaian guru adalah tatkala ditanya harus dan wajib dijawab. Kadangkala guru tanya saya paling rumit respon tepat.

Hampir tiga kali teman sekelas ramai-ramai menertawai saya berujung tangis entahlah.

Ketika ditanya olak-alik oleh guru otomatis saya keluar dari dalam ruang kelas tanpa basa-basi. Dan kadang juga tunduk kepala. Balik muka ke arah gunung tidak menatap guru secara bertahap.

Bahkan juga menghitung angka pun jadi satu alasan kepanikan di tengah guru dan teman sekelas. Banyak mata menatap tajam sampai saya lupa diri.

Memang saya akui bahwa disiplin dan tata cara mengajar sekolah ini sangat ketat beda jauh dengan sekolah lain di belahan bumi.

Guru-guru pun bersikap dan bertindak keras memilah siapa murid yang bisa, mampu dan barangkali pintar.

Karena guru-guru begitu memihak kepada yang tau baca tulis. Saya nyaris putus sekolah akibat diabaikan lantaran belum bisa baca tulis.

Sekolah ini pun sebelum memulai aktivitas belajar siswa dan mengajar para guru lazim memposisikan teknis duduk. Artinya siswa tidak sembarang duduk.

Teknis duduk bakal diukur berdasarkan kapasitas, kualitas dan kepintaran serta kematangan dan kemahiran para siswa.

Jika dinilai siswa yang mampu baca tulis menempatkan pada posisi deretan tengah dan bagian depan. Sedangkan yang kualitas baca tulis rata-rata cakar bakal duduk bagian belakang termasuk saya.

Sebab, tata cara duduk siswa harus teratur rapi jangan lagi ada yang protes konsisten turuti dan patuhi berdasarkan standar ketentuan sekolah.

Apabila kami protes atau melanggar standar ketentuan yang dimaksud maka guru tidak segang dikenakan sangsi tegas berupa pukulan atau tidak dikeluarkan dari ruang belajar.

Jadi, setiap peserta didik turuti dan wajib mematuhi aturan dan prosedur yang diterapkan sekolah tersebut.

Namun, apapun alasannya saya memilih duduk di kursi depan selayaknya jenius seperti siswa lain dalam kelas itu.

Berulangkali ditegur gertak atas sikap, perilaku dan tindakan saya. Namun demikian tinggal mengabaikan, tidak mengacu dengan omongan mereka.

Memang benar-benar tensi mereka tidak terkontrol dan kadang terjuluk (saya anak paling nakal bersikap agresif terhadap guru dan siswa).

Mereka (teman sekelas) tentu hormati dan hargai para guru dan antara sesama. Bagi saya, sama sekali tidak pernah hargai ataupun hormati setitik embun sekalipun.

Saat pemberian nilai oleh guru kelas, saya selalu dapat nilai rata-rata kurang dari 50% korelasi dari sikap buruknya ketimbang teman sekelas yang lain.

Mereka memperoleh nilai hampir rata-rata lebih dari 70% sebagai hasil perjuangan yang diraih oleh mereka.

Bagiku, nilai yang didapat cukup baik. Sehingga tidak terlalu penting mengejar target pada sasaran nilai paling tinggi.

Unik lagi, ketika guru mengajak kami satu per satu untuk maju ke depan menuliskan sesuatu niscaya saya siswa terkemuka yang menulis atas pinta guru seolah jenius.

Ruang kelas itu terdiri dari tiga deret meja tersusun rapi masing-masing memiliki dua kursi. Hanya saya sendiri kursi khusus selayaknya tuan besar.

Bukan tuan besar, lebih konkretnya tidak mau bergaul ataupun berteman dengan siapapun. Sebab, satu-satunya anak paling nakal yang tidak suka bergaul hanya saya.

Suka jalan sendiri, main dan tidur sendiri meskipun bukan bertipe anak pendiam.

Semua teman dianggap tidak pandai dan tidak tepat bagi saya untuk bergaul bahkan jadikan teman main. Bisa bergaul dan berteman kecuali satu otak. Satu dan sama nakal.

Seolah menganggap semua teman itu musuh saya. Karena memang saya kepala main, suka langgar atas meja, buang-buang kursi dan bahkan banyak kenakalan yang telah mempraktekkan.

Tipe saya memang kasar, senonoh dan bodoh. Paling sukar dikendalikan, paling kepala batu, dangkal dan tumpul otaknya.

Sering terjuluk dan sapaan akrab mereka kepada saya demikian. Tapi tetap saya apatis tidak mengacuh dengan omongan mereka.

Apa yang termotivasi saya belajar, pindah sekolah hingga meraih gelar sarjana; berikut alasan dasarnya:

Pertama, setelah teman sekelas menertawai lebih dari tiga kali lantaran salah baca;

Kedua, merasa kenapa saya ditinggal atau tahan kelas dan teman lain bisa naik kelas;

Ketiga, menganalisis setiap julukan dan ujaran yang diucapkan oleh para guru maupun teman sekelas;

Keempat, secara pribadi merasa bersalah; dan

Kelima, masih banyak persoalan sebagai bahan evaluasi yang mesti diselesaikan kini dan kelak.

Semua serba susah nan salah. Mau mulai belajar susah. Mau masuk sekolah salah. Menganga sebagai seorang diri. Tidak ada yang dapat diajar ataupun dibimbing.

Kedua orangtua pun buta aksara. Mungkin seorang tetua sebagai lampu di tengah redupnya otakku.

Meskipun sang Ibu pernah berpendidikan. Sebelum tamat SD dinikahi Ayahku dari kelas empat. Jadi, tidak terlalu lancar baca tulis.

Sementara sang Ayah sama sekali tidak berpendidikan hingga kini profesi beliau sebagai petani.

Aktivitas rutin mereka tidak terlepas dari bertani dan beternak.

Selain berkebun sang Ibu rajin jelajah hutan mengambil sayur-mayur untuk berdangang.

Hasil dagang Mama lumayan menunjang kebutuhan keluarga kita yang sederhana meskipun jauh dari kecukupan.

Sepulang dari kebun sang Ibu sering mendidik dan menjadi mentor terbaikku entah belum matang baca tulis.

Entah salah atau benar dalam menulisan maupun pembacaan Mama tetap akan membenarkan dan meng-iya-kan supaya semangat belajar saya semakin bertambah. Namun masih tetap berada pada garis kebodohan.

Penanganan, pengajaran dan penumbuhan kerinduan seorang keras kepala seperti saya cukup sulit hanya dia satu-satu - guru tetua sosok YB yang mampu mendidiknya.

Nah, nyatanya tetua itu mendidik dan membimbing saya dalam rentang waktu satu minggu tanpa jeda. Dari situ saya lancar membaca dan menulis.

Beliau memang sosok guru yang cakap, serasi dan pandai dibanggakan dalam mendidik dan membimbing anak sekolah.

Saya sangat bangga sekali. Bangga mentor yang sempat diajar dari rumah mengantar dan memberi kelayakan naik tingkat.

Tanpa pikir panjang timbul ide cemerlang untuk hendak pindah sekolah. Kali ini tinggal hitung hari untuk pindah sekolah artinya sudah bisa membaca ataupun menulis.

Dan pada akhirnya saya menamatkan pendidikan sekolah dasar di SD YPPGI Uwakotopa, Dogiyai, Papua tahun 2011.

Langit tidak selalu biru. Cuaca pun tidak selalu cerah juga mendung. Sama juga hidupku. Sedikit demi sedikit perlahan mulai berubah.

"...untuk mendapatkan sesuatu yang kita impikan memang tidak mudah membalik telapak tangan harus mengiringi upaya dan kerja keras..." kira-kira begitu.

Titik pemberhentian telah saya menyelibkan sebuah ayat: "Harapan yang tertunda menyedihkan hati, tetapi keinginan yang tercapai adalah pohon kehidupan". (Amsal 13:12).