Gergasi
Tanpa alas kaki dan baju yang hangat
Aku berjalan menuju hutan pertapaan
Gelap gulita bukan rintangan yang ku pedulikan
Intimidasi suara harimau tak lagi ku hiraukan
Ironi, bendungan air mata yang merengek untuk dibiarkan bebas
jatuh di saat yang tidak tepat
Diam! Ini bukan saat yang tepat untuk menjadi manusia cengeng
Gergasi itu akan datang dan memakanmu hidup-hidup
Gemuruh suara bising dalam alam pikiran terus mendistraksi
Tanpa peduli apa dan siapa yang terlukai, ia terus memberi sanksi
Seolah-olah aku ini penjahat kelas teri yang tidak punya akal budi
Sekali lagi, tolong diam! Sebelum kau enyah ditelan gergasi
Rintangan demi rintangan telah terlewati
Namun batu nan besar itu berhasil membuat raga jatuh tergelincir
Di semak belukar dekat rumah megah
Yang konon katanya hasil pesugihan saban malam Jumat kliwon
Rusa berkeliaran seolah memberi pertanda
Bahwa malapetaka akan segera tiba
Aku tersesat, terjebak, tak tahu arah pulang
Pelan-pelan terdengar suara yang tak asing
Suaranya terus mendekat
Semakin dekat
Semakin dekat
Aku tahu
Aku kalah
Aku tahu
Aku kalah!
Enyah ditelan gergasi
Pasung
Hendaknya kau tahu apa yang kau mau
kosongkan pundakmu untuk memikul tanggung jawab
dari apa yang kau yakini dan kau tuju
Bersyukurlah
Kau ini manusia bebas!
Jangan kau dekati jeruji hitam legam yang kelam
Kambing saja tak mau,
takut diterkam!
Mungkin Sartre dan Nietzsche mengamini dua paragrafku di atas
Kau tahu,
menjadi manusia yang berlimpah mau itu mukjizat!
Karena disorientasi yang menjadi antitesis dari tuhan pikiran Sartre dan Nietzsche
telah merasuk dan memasung jiwa serta akal sehatku
Aku ini manusia bebas!
Biarkan aku lepas!
Aku ingin lepas!
Tergelincir ke dalam lubang pikiran yang tak karuan
Menjadi penghalang untuk tertawa lepas
Aku ingin bebas!
Tolong, biarkan aku lepas!
Aku tak butuh racikan obat untuk menjadi manusia seutuhnya
Untuk mengisi ruang hampa yang bising
dan melenyapkan pikiran yang asing
Kepada pasung jiwa yang merenggut sukma
Sebelum aku meninggal dunia
Tolong lepas!
Sekali lagi, tolong lepas!
Biarkan aku bebas!
Atap
Di bawahnya aku berlindung
Dari hujan darah dan hujan asam
Yang dua tiga kali rutin menghampiri
Meninggalkan noda di sekat-sekat pagar
Mengacaukan jalanan di setiap sudut kota
Membuat penggembala naik darah
Di bawahnya aku bernaung
Menyembuhkan luka yang meninggalkan bekas
Menghimpun kewarasan yang masih tersisa
Dengan untaian doa dan kata-kata penuh asa
Dari mulut yang masih sanggup untuk menganga
Melafalkan satu demi satu kata dengan paksa
Di bawahnya aku memendam
Segala keresahan dan kekesalan
Atas apa yang terjadi
Atas apa yang perlu diikhlaskan
Atas apa yang tak terjawab
Atas apa yang tak kunjung reda
Atas nama kepasrahan
Ku bakar habis seluruh penyesalan
Tiga Pagi
Dari jauh terdengar sayup-sayup suara anjing melolong
Mungkin ketakutan melihat kalong
Majikannya tak mau tahu, pulas tertidur bergelimang kembang
Terhempas ke alam mimpi pada pukul tiga pagi
Suara mesin mobil dimatikan, ah ternyata dia baru pulang
Tetangga yang rumahnya dua rumah dari rumahku
Entah apa yang habis dikerjakan
Tak mau tahu, tak ada urusan
Di rumah seberang, terdengar tangis bayi yang mengerang
Membangunkan kedua orang tuanya yang terlelap
Di sebelahku adalah ia yang sibuk mendengkur
Dengan keras dan khidmat yang teramat
Pada pukul tiga pagi tanda kehidupan mulai menyepi
Pada pukul tiga pagi racun pikiran mulai menghantui
Tanpa kenal ampun
Menimbun rasa dan tangis yang tak kunjung rampung
Menempa Sumpah
Pada hari ini aku bersumpah
Untuk berhenti mempertanyakan perihal apa dan mengapa
Untuk berdiri tegak melawan nestapa
Untuk membahagiakan perasaan yang semenjana
Untuk tak berharap pada dirinya yang tercinta
Untuk tak menyumpah serapah musuh agar samsara
Untuk keluar dari jerumus lubang derita
Untuk merapal doa pada sang arwah
Untuk berhenti bersumpah, menyumpah, dan disumpah
Perdamaian Niskala
Tak heran kau lihai bermain opera
Nyatanya hidup ini panggung sandiwara
Haha hihi canda tawa yang tak kunjung reda
Perwujudan dari wajah yang bercabang dua
Hiruk pikuk dunia membuatmu terlena
Membangun menyusun kalimat tanpa rencana
Menyisa raga di ujung tanduk dakwa
Yang membekas berakibat gundah gulana
Memendam mendendam
Menyentuh palung jiwa yang paling dalam
Hingga jiwa yang tanpa noda hanyut dan tenggelam
Mengakar menjadi sarang kebencian yang mendalam
Bising
Dalam kesunyian malam aku merasa asing
Merasuk pikiran bising yang tak kunjung hening
Mengapa begini, mengapa begitu
Dan mengapa mengapa lainnya yang membusuk menjadi nanah dalam alam pikiran
Mata ini sulit terpejam barang sebentar saja
Rekam masa lalu terputar tiada henti
Tiada jeda bahkan untuk sekadar mengernyitkan dahi
Dunia dan seisinya seakan berhenti
Merebah nalar di alam yang tak tersambangi