Beberapa hari lalu saya dan beberapa orang teman pergi takziah. Dalam perjalanan, teman saya, Bu lisa menggerutu betapa sulitnya mencari minyak. Kebetulan di rumah, Bu lisa punya usaha produksi kue pia. Di mana dalam pengolahnnya membutuhkan banyak minyak untuk mencampur adonannya.
Sementara teman saya yang lainnya, Bu Muna juga mengeluhkan hal yang senada. Bu muna bercerita jika suaminya suka sekali menggoreng kerupuk, yah karena minyak langka sementara puasa krupuk hehe. Kebutuhan minyak Bu Muna per bulan bisa sampai 4 liter. Menurut saya itu jumlah yang banyak, lah saya habis 2 liter dalam sebulan. Dengan jumlah anggota keluarga yang sama.
Lain lagi menurut pak Joko tetangga saya yang hobi ngopi di warung sebelah rumah. Minum kopi tanpa ditemani pisang goreng dan tahu goreng terasa nikmat. Kini dengan minyak yang langka pemilik warung, Bu Asmah, jarang menjual pisang goreng dan tahu goreng.
Suatu sore saat saya belanja ke toko sayur langganan, niatnya ingin cari peyek. Aduh ternyata kata pemilik toko, sudah lama tidak dititipi peyek sejak harga minyak naik dan langka. Sempat terlintas di fikiran saya, apa yang dilakukan penjual gorengan dalam situasi seperti ini.
Ternyata kelangkaan menyerang di sekitarku juga. Dari abang sayur pagi pun saya juga mendengar celetukan…waduh kemarin terlanjur tak jual obral ternyata langka. Sementara para emak menimpali sudah berburu minyak ke mana-mana. Mereka sudah berburu ke toko-toko, nyatanya stok selalu habis. Kalau pun dapat, harga minyak sudah naik dua kali lipat dibandingkan harga biasanya.
Kemarin sewaktu saya berbelanja toko A , kebetulan stok minyak ada. Banyak orang datang berebut minyak, ternyata pembelian minyak dibatasi, 1 orang hanya boleh beli 2 liter minyak dengan menunjukkan KTP. Tentunya banyak orang yang membeli minyak mengajak keluarganya, anaknya, suami/istrinya, sepupunya, iparnya, nenek, kakeknya.
Heran saya kenapa tidak menggunakan kartu keluarga saja untuk pemerataan pembelian. Jika subsidi dimaksudkan dengan tujuan tersebut. Apakah akan merata jika hanya dengan meliha KTP.
Bah, tadi sore saya baru baca berita di salah satu media online. Ternyata ditemukan minyak yang sengaja ditimbun. Adakah misi-misi khusus yang sengaja dirancang dibalik timbunan minyak ini. Untuk menyambut lebaran kah, atau untuk pilkada.
Kelangkaan minyak ini, pastinya akan diikuti oleh kenaikan harga semua jenis makanan yang menggunakan minyak dalam pengolahannya. Apalagi mendekati bulan Ramadan dan lebaran, tentunya semua harga akan mengekor naik. Meskipun nanti tak langka lagi, tapi harga minyak mungkin akan anteng menyambut lebaran.
Bagaimana ya jika kelangkaan minyak terjadi terus-menerus. Atau misal jika minyak goreng hilang di masa depan? Mungkin para emak akan menggantung wajannya, hanya menyajikan menu rebus dan kukus. Tentunya para pecinta gorengan akan tersenyum kecut melihat menu rebus dan kukus setiap hari.
Bagaimana nasib penjual gorengan? Para penjual gorengan akan alih profesi sebagai penjual jajanan rebus dan kukus juga kah. Seperti kacang rebus, pisang kukus, roti kukus, ayam kukus dan sejenisnya.
Lalu bagaimana kelanjutan perusahaan-perusahan macam KFC. Perusahaan-perusahaan tersebut tentunya akan tutup atau pun beralih haluan jenis usahanya. Apalagi bisnis ayam goreng yang di daerah- daerah tentunya juga akan turut tutup. Kita semua tahu bisnis ayam goreng ini sangat menjanjikan, dengan penggemarnya yang luar biasa.
Bagaimana dengan bisnis kuliner lainnya. Tentunya juga turut berimbas. Lebih kompleks lagi akan berimbas pada pengurangan tenaga kerja. Ternyata dari benda yang namanya minyak semua berdampak, dari lapis produsen ke konsumen akan turut berdampak. Semua seperti jaring laba-laba, saling berkaitan satu sama lainnya.
Namun, saya kok merasa negeri ini akan sehat ya jika tanpa minyak. seperti yang biasa dikonsumsi nenek moyang kita zaman dahulu, intinya makan hijauan, rebus kukus hehe. Tentunya akan bebas kolestrol dan linu-linu. Kolestrol dalam pembuluh darah akan luruh. Peredaran darah jadi lancar. Mungkin dokter akan kehilangan banyak pasien, atau malah mencari pasien.
Ya seandainya saja sudah tak ada produksi minyak goreng lagi, pastinya keluarga saya juga akan ikut menu rebus kukus. Keluhan ibu terkait kolestrolnya tak kan ada lagi. Bapak yang punya keluhan jantung pun tentunya tak lagi rutin kontrol ke dokter jantung. Bukannya sakit itu karena pola makan dan pikiran kita. Ya siapa tahu dalam kondisi seperti ini terbuka untuk memulai hidup sehat.
Tanpa minyak hidup kita sehat tapi ekonomi turut berdampak tentunya. Anda pilih mana sehat jasmani tapi ekonomi “sakit” atau sehat keduanya. Tentu pilihan ada di tangan Anda bukan. Yah, ini hanya sebuah wacana andai-andai jika minyak tidak ada lagi tentu banyak orang yang sehat.