Siapa itu Masyarakat Adat (Indigenous People)?
Bukan hal yang asing lagi ketika kita mendengar istilah “Masyarakat Adat”. Di Indonesia sendiri populasi Masyarakat Adat mencapai sekitar 40-70 juta jiwa, yang mana 20 juta diantaranya adalah anggota Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).
AMAN menyamakan terminologi “Indigenous People” sebagimana yang pakai secara global, sebagai Masyarakat Adat. Pendefinisian atas siapa itu Masyarakat Adat acapkali dipahami secara samar dan keliru.
Masyarakat Adat sendiri merupakan suatu kelompok yang memilki sejarah asal-usul dan menempati wilayah adat secara turun menurun. Masyarakat Adat juga memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial-budaya yang diatur oleh hukum adat, dan lembaga adat yang mempertahankan keberlanjutan kehidupan Masyarakat Adat sebagai komunitas adat.
Masyarakat Adat sendiri merupakan penganut dari agama leluhur, dan istilah “Agama Leluhur” sendiri baru populer sejak era Reformasi. Agama Leluhur digunakan secara bergantian dengan istilah “agama asli”, “agama lokal”, “agama nusantara”, dan bahkan sering diidentikkan dengan “kearifan lokal”.
Agama leluhur merujuk pada praktik-praktik keagamaan lokal (subjek materi) yang sering diklaim sebagai praktik animis, magis, adat, budaya, dan seterusnya, baik dalam wacana publik maupun dalam literatur. Beberapa contoh praktiknya yaitu seperti semedi, sesajen, kunjungan (ritual) ke gunung, hutan, sungai, dan lain lain.
Perlu dipahami antara kategori agama dan budaya dalam konteks politik agama, yang mana keduanya merupakan hasil konstruksi dari politik atau lebih tepatnya kebijakan yang tujuannya untuk menentukan siapa yang (tidak) boleh diakui, dilindungi dan dilayani oleh Negara. Dan akhirnya ada enam kelompok yang diakui, dilindungi serta dilayani sebagai penganut agama.
Sedangkan disisi lain, terkhusus penganut agama leluhur yang dikategorikan sebagai budaya dan karenanya, tidak mendapatkan pelayanan dari Negara atas nama pelayanan agama yang dampaknya sangat hegemonik dan bahkan seakan ahistoris.
Perbedaan antara Masyarakat Adat dengan kelompok masyarakat lainnya terletak pada empat warisan leluhur atau asal-usul. Unsur-unsur tersebut yaitu: pertama, identitas budaya yang sama, yang di dalamnya mencakup bahasa, spiritualitas, nilai-nilai, serta sikap dan perilaku yang membedakan kelompok sosial yang satu dengan kelompok sosial yang lain.
Kedua, sistem nilai dan pengetahuan, yang di dalamnya meliputi pengetahuan tradisional yang salah satunya dapat berupa pengobatan tradisional, pertanian tradisional, permainan tradisional, sekolah adat dan lain sebagainya.
Ketiga, wilayah adat (ruang hidup), yang di dalamnya meliputi tanah, hutan, laut, serta sumber daya alam lainnya yang bukan hanya dilihat sebagai barang produksi (ekonomi), akan tetapi juga menyangkut sistem religi dan sosial budaya.
Keempat, hukum adat dan kelembagaan adat, yang di dalamnya berupa aturan-aturan dan tata kepengurusan hidup bersama untuk mengatur dan mengurus diri sendiri sebagai suatu kelompok sosial, budaya, ekonomi, dan politik.
Perlakuan Diskriminatif terhadap Agama Leluhur di Indonesia
Berbicara perihal dinamika yang ada pada agama leluhur di Indonesia sangatlah kompleks, salah satunya adalah perihal kognisi Negara terhadap agama leluhur, yang di dalamnya mencakup perihal legalisasi kesetaraan agama leluhur dengan agama yang diakui Negara, serta terkait kedaulatan masyarakat adat yang dampaknya pun akan menimpa terhadap penganut Agama Leluhur tersebut, mereka kehilangan hak-haknya serta terdiskriminasi di sepanjang hidupnya, mulai dari upaya mendapatkan akta kelahiran, kartu tanda penduduk, surat nikah, bahkan hingga akses pada pekerjaan, pendidikan, atau kesehatan.
Agama leluhur adalah perihal kelompok warga negara yang tertimpa perlakuan diskriminasi sepanjang sejarah Indonesia yang perlu diadvokasi. Tak hanya itu, Agama leluhur juga dinarasikan berbeda dari agama-agama resmi yang telah diakui serta dilayani oleh negara, yang mana agama tersebut tak lain adalah agama impor, sementara kepercayaan adalah agama (warisan) leluhur.
Rasanya hal tersebut adalah sebuah “ketidakadilan” dan “kejanggalan” bahwa negara lebih gandrung dengan asing dan “kejam” terhadap bangsa sendiri, penganut agama leluhur.
Setelah penganut agama leluhur melalui berbagai fase, dimulai dengan dituduh sebagai komunis, dan dilanjut dengan kepercayaannya yang ditetapkan sebagai budaya, serta penganutnya dipaksa berafiliasi ke agama resmi di rezim sebelumnya. Maka selanjutnya mereka menemukan babak baru guna menyuarakan untuk mendapatkan kembali haknya agar diakui serta diperlakukan setara dengan agama.
Kelompok masyarakat adat mengordinir diri dan berhimpun untuk membentuk organisasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), yang melalui kongres pertamanya pada tahun 1999 di Jakarta mereka mendeklarasikan bahwa “kami tidak mengakui negara jika negara tidak mengakui kami.” Selain itu mereka juga menuntut negara yang mereka anggap telah lalai dalam memenuhi dan melayani warga masyarakat adat, dan juga bahkan melanggar hak-hak mereka.
AMAN juga memperjuangkan pengakuan serta perlindungan hak penganut agama asli dan kepercayaan sebagai warisan leluhur atau nenek moyang masyarakat adat. Dan pada tahun 1993 di Toraja-Sulawesi Selatan disepakati atas lahirnya sebuah wadah yang diberi nama Jaringan Pembela Hak-hak Masyarakat Adat (JAPHAMA) yang dipelopori para tokoh adat, akademisi serta pendamping hukum dan aktivis gerakan sosial.
AMAN bersama lembaga-lembaga swadaya masyarakat lainnya berhasil mempengaruhi beberapa kebijakan yang berpihak pada kepentingan masyarakat adat serta menyebabkan isu adat menguat dalam wacana publik.