Di era revolusi industri sekarang ini, orang-orang seolah dituntut untuk selalu bekerja dan berlomba-lomba menyibukkan diri. Tujuannya bermacam-macam, mulai dari menggapai impian atau sekadar memenuhi kebutuhan hidup yang mapan. Tak terkecuali suami istri yang menyandang sebagai orang tua baru.
Di samping tuntutan kebutuhan hidup rumah tangga, mereka juga dihadapkan dengan kebutuhan si buah hati tercinta. Pendidikan yang pada abad belakangan ini menjadi kebutuhan pun menjadi sorotan utama, di mana orangtua sekarang ini berlomba-lomba pula menyekolahkan anak-anaknya di sekolah ternama, dengan fasilitas dan kualitas pengajaran yang bukan ala kadar saja tentunya.
Dengan kesibukan dan tuntutan kebutuhan yang sedemikian rupa, tak heran jika fenomena satu dekade terakhir menunjukkan sikap orang tua yang berlomba-lomba menyekolahkan anaknya sedini mungkin. Para orang tua merasa bahwa menyekolahkan atau menitipkan anaknya di play group, taman kanak-kanak (TK) dan semacamnya adalah jalan terbaik untuk mendidik, apalagi ditambah dengan fasilitas yang beragam, tempat yang katanya nyaman, dan rasa aman yang dijanjikan, membuat para orang tua sibuk tersebut terlena.
Tak heran jika survei baru-baru ini menunjukkan bahwa hampir 80% anak-anak di Indonesia mulai masuk sekolah dasar pada rentang usia 5-6 tahun. Itu berarti mereka mulai mengenal dan dititipkan di play group, TK, dan semacamnnya pada rentang usia 2-3 tahun.
Namun, Elly Risman, seorang psikolog keluarga dalam sebuah talk show di stasiun televisi swasta menentang sikap orang tua yang demikian. Ia berpendapat bahwa sikap tersebut didasari oleh tiga faktor utama yaitu; kurangnya ilmu, tidak adanya prinsip, dan mudah terbawa arus trend.
Pada era sekarang ini buku-buku, jurnal, hingga video-video di youtube yang mengupas bagaimana mendidik anak dengan baik, sehat dan ideal dapat dengan mudah kita dapatkan. Sehingga atas alasan “kurangnya ilmu” dari orang tua menjadi suatu hal yang disayangkan karena sikap acuh, malas belajar, dan merasa sudah benar akhirnya menjadi bom bunuh diri yang mematikan.
Berawal dari malas belajar tadi, akhirnya membuat orang tua tidak mempunyai prinsip dalam mendidik anaknya-contohnya bagaimana seharusnya lingkungan bermain anak saya atau bagaimana sebaiknya saya mengajarkan etika pada anak saya, termasuk kapan sebaiknya anak saya mulai disekolahkan.
Kesemunya jika hanya mengikuti trend yang sedang berkembang dan tanpa prinsip, maka bukan tidak mungkin membuat anak hanyut dalam keterlenaan dan kelalaian orang tua mendidik si anak. Kembali lagi, ketiga faktor tersebut jelas-jelas berakar dari si orang tua. Lalu bagaimana seharusnya dan sebaiknya orang tua mendidik si kecil?
Mengulik sedikit perihal apa sebetulnya yang dibutukan anak-anak di usia balita, Elly menegaskan bahwa kelengketan atau kedekatan dengan kedua orang tua adalah yang utama. Pada usia balita, gerak motorik anak-anak belum begitu sempurna sehingga sangat diperlukan pendampingan langsung dari orang tua.
Media belajar dengan cara bermain dan menjadikan tubuh orang tua sebagai alat peraga menjadi pilihan terbaik. Permainan yang terstruktur dengan media benda-benda mati seperti yang ada di play group dan taman kanak-kanak dianggap membatasi kreatifitas anak. Jadi sekali lagi, fasilitas bermain terbaik bagi anak adalah tubuh orang tua, bukan barang jadi.
Bercerita sambil menggerakkan tubuh adalah salah satu contohnya. Menceritakan burung-burung yang sedang terbang sambil menggerak-gerakan tangan dapat membuat anak berimajinasi, berfantasi sebebas-bebasnya. Keuntungan lain yang didapat pun tentu berhubungan dengan kedekatan. Orang tua dan anak menjadi sering berinteraksi dan mengenali.
Pertumbuhan dan perkembangan anak baik motorik, kognitif, maupun afektiv pun dapat dipantau langsung oleh orang tua, bukan guru TK. Atas hal tersebut, orang tua tentu dituntut untuk lebih ekspresif dan aktif, ujar Elly.
Selain itu, Elly menambahkan bahwa yang dibutuhkan anak-anak pada usia balita adalah belajar bagaimana berempati, mengenali perasaannya sendiri dan perasaan orang lain. Hal ini bisa didapatkan dengan metode “belajar bersama” bukan “belajar dengan”. Metode “belajar bersama” menitikberatkan pada konsep berbagi.
Berbeda dengan metode “belajar dengan” yang mengakibatkan anak-anak asik bermain sendiri-sendiri. Mirisnya konsep belajar yang kurang tepat yaitu “belajar dengan” adalah yang sering dijumpai pada ruang-ruang kelas play group atau TK.
Untuk membentuk kesiapan belajar anak, John Locke yang terkenal dengan teori “Tabula Rasa” (anak sebagai kertas putih) ini mempercayai bahwa mengenal lingkungan sekitar adalah salah satu cara jitu. Dengan berlajar melalui ligkungan dan alam, maka anak dapat mendapatkan pelatihan sensoris.
Pelatihan ini bertujuan untuk membentuk kesiapan belajar anak (learning readiness). Esiapan inilah yang memengaruhi keberhasilan belajar anak. Sejalan dengan apa yang dikatakan John Amos Comenius yang hidup pada 1592-170 bahwa pendidikan harus berlangsung secara alami dan harus memerhatikan aspek kematangan (maturation) dan memeberikan kesempatan pada anak untuk menggunakan seluruh inderanya.
Pembelajaran semacam ini merupakan pembelajaran yang paling baik, karena pengalaman-pengalaman sensorial yang dialami anak usia dini merupakan dasar semua pembelajaran. Lalu apa dampaknya atas model pendidikan anak yang mengesampingkan kebutuha sesuai porsi usia dan terkesan serba dini tersebut?
Menurut Neil Postman dalam bukunya yang berjudul The Lost of Childhood (1970), Elly menyampaikan ulang secuil makna dalam buku tersebut yaitu “jangan kau cabut anakmu dari dunia bermainnya yang terlalu cepat, karena engkau akan menemukan dunia orang dewasa yang kekanak-kanakan”.
Pernyataan Neil Postman sedikitnya ada benarnya jika melihat fenomena anggota DPR yang bersikap kekanak-kanakan dalam kisruh rapat dan sidang. Teorinya seolah membenarkan fenomena yang sekarang ini terjadi. Elly juga menambahkan teori “tapal kuda” yang bunyinya “semakin muda anak disekolahan, maka rasa bosannya di sekolah menjadi tidak menentu, sedangkan anak yang disekolahkan pada usia ideal, maka rasa bosannya di sekolah menjadi lebih bisa terkendali”
Pada intinya, mencuri usia bermain anak yang berada pada rentang usia 0-8 tahun adalah sebuah kejahatan yang selama ini kurang disadari oleh kita para orang tua. Biarkan anak menjadi selayaknya anak. Kesibukan orang tua tidak sepatutnya dijadikan tameng pembelaan untuk “memindahtangankan” proses mendidik anak.
Menjadi orangtua adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan. Siap punya anak, berarti siap mengasuh dan mendidiknya. Percepatan pun menjadi tidak baik untuk diterapkan dalam mendidik anak atau dalam konteks ini menyekolahan anak. Ibarat anak yang belum bisa berjalan, jika dipaksa berjalan maka kakinya bisa pengkor.
Referensi
- Risma, E. (2016, Mei 4). Dampak Sekolahkan Anak Terlalu Dini. (A. Maulana, & M. Anita, Interviewers)
- Yus, A. (2011). Model Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: Kencana Prenada.