Indonesia adalah negara berkembang yang menurut Ragnar Nurkse, Negara berkembang adalah suatu negara yang sedang membangun jika dibandingkan dengan negara-negara yang ekonominya lebih maju. Negara yang berkembang ini memiliki sedikit modal di bandingkan dengan jumlah penduduk,  sumber-sumber alamiahnya dan juga perindustriannya. Tentu saja hal ini menjadi tugas besar bagi seluruh masyarakat Indonesia terutama pemerintah dalam membawa Indonesia bangkit dari berbagai macam keterpurukan dan maju serta mampu bersaing dengan negara - negara yang secara perkembangan ekonominya lebih baik dari Indonesia.

Berangkat dari ketertinggalan di atas itulah Indonesia membutuhkan Partai Politik sebagaimana yang dibahas sebagai wadahnya para pemimpin dalam UU Parpol No 2 tahun 2008 dan 2011 pasal 11 ayat c yakni "partai politik berfungsi sebagai sarana pencipta iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan untuk kesejahteraan masyarakat" dan mempersiapkan orang - orang bijak (Aristokrasi "Sebagaimana yang di cita-citakan oleh Plato) untuk menjalankan roda sistem pemerintahan di negera ini yakni sistem demokrasi yang berlandaskan pada konstitusi nasional Pancasila dan UUD 1945.

Dengan tujuan demi mencetak Iklim yang "Kondusif bagi persatuan dan kesatuan untuk kesejahteraan masyarakat" sebagaiman yang di amanatkan oleh UU Parpol di atas, maka penyebar luasan Informasi dalam dunia pemerintahan agar dapat diketahui oleh masyarakat sangat dibutuhkan. Berangkat dari hal ikhwal inilah yang menjadi alasan pemerintah mendirikan lembaga Pers yang berdasarkan pada Pasal 28 UUD 1945 yang mengatur tentang kebebasan berpendapat baik secara lisan maupun tulisan. Kemudian dijelaskan juga dalam konsideran UU Pers No 40 tahun 1999 bahwa pers berposisi sebagai wahan komunikasi massa, penyebar Informasi, dan pemberi Opini.

Berbicara tentang pers Information Media, maka di era Kid's Zaman Now ini,   bermacam ragam sumber informasi yang dapat kita akses dengan mudah namun demikian terlebih mari kita ketahui 3 ciri media Informasi yakni;  Media visual/dibaca/dilihat (Media Cetak maupun Online), Media Audio/didengar (Radio) dan Media Audio visual/dilihat dan didengar (Televisi). Dari 3 ciri di atas, hari ini yang mendominasi dunia Informasi di Indonesia adalah Televisi dan Media Berita Online.

Namun siapa sangka, Kebaradaan media massa dan kaum Pers Indonesia hari ini semakin menjadi ancaman dan memunculkan kebimbangan tersendiri bagi Masyarakat Indonesia. Tampak dengan jelas  di Media berita Online dan Televisi tampak dengan jelas sebuah upaya penghapusan kemurnian dari Idealnya penyiaran Informasi oleh beberapa kaum Pers yang berbelok arah menjadi bagian dari kaum Murtad Ideologi dan siap menghibahkan dirinya demi bayaran yang tinggi.

Lalu bagaimana dengan para penegak Demokrasi (Politisi)? arah gerak partai Politikpun hari ini sangatlah jauh melenceng dari apa yang harusnya menjadi tujuan utama yang telah disandarkan oleh rakyat kepada mereka. Nilai - niali Politik Nasional Fatsoen Politics Pun diposisikan hanya sebagai dongeng yang diceritakan oleh para Pengajar  dan Dosen di dalam ruang perkualiahan.  Bukan hanya itu saja, beberapa pengusaha stasiun televisi swasta-pun hari ini malah melakukan gerilya politik demi melancarkan kepentingan Parpolnya. 

Perlu diketahui oleh pembaca sekalian bahwa para Politisi yang hari inipun telah berafiliasi dalam dunia pertelevisian swasta nasional. Mereka adalah; (Hary Tanoe Soedibyo pemilik MNC Group dengan Partainya "Partai Perindo", Suya Paloh Pemilik Metro Tv dengan Partainya "Partai Nasdem" dan sang penanggung dosa akan musibah Lumpur panas LAPINDO di Sidoarjo Jawa Timur Aburizal Bakrie pemilik TvOne sebagai Legendaris/Mantan Ketua Umum Partai "Golkar")". Para PolitiKus inipu menjadikan stasiun miliknya sebagai sentral dari basis komunikasi politiknya sungguh carut marutnya para pengemban amanah suci ini.

Menurut Dr. Phil. Hermin Indah Wahyuni, S.IP., staf pengajar Jurusan Ilmu Komunikasi UGM. "televisi dengan sifat audio visualnya menjadi salah satu media penyiaran yang cukup berpotensi dalam membentuk opini masyarakat. Bahkan untuk mengaburkan dan membelokkan suatu fakta. Banyak teknik-teknik yang digunakan televisi sehingga membuat image suatu persitiwa jadi berbeda dari kenyataan. 

Sementara itu, Kasus yang terjadi yang bisa kita jadikan bukti akan hilangnya kefalidan Blundernya manufer komunikasi Politik dari para elitis ini dalam melancarkan keserakahannya adalah ketika fenomena Quick Count yang di lakukan pada momentum pemilihan presidan Indonesia pada beberapa waktu lalu. Dimana penayangan hasil perhitungan suara yang sangat berbeda sehingga memunculkan keresahan dan galaunya penikmat berita.  

Dalam Pasal 6, 7 dan 8 UU No 32 tahun 2002 tentang Penyiaran dijelaskan bahwa lembaga pengawasan penyiaran informasi adalah KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) dengan tujuan yang berdarakan Pasal 8 ayat 1 yang berbunyi " KPI sebagai wujud peran serta masyarakat berfungsi mewadahi aspirasi serta mewakili kepentingan masyarakat akan penyiaran".  

Mengacu pada redaksi dari ayat di atas maka, keberadaan dan maraknya Afiliasi Partai Politik yang secara cultur/muara politknya sudah sangat menyimpang dan Media Pertelevisian Nasional yang hari ini menjadi salhasatu alasan munculnya sikap Apolitis serta kegelisahan di kalangan masyarakatpu harus di tindak tegas oleh KPI. KPI sebagai lembaga Independen seharusnya tidak malah seperti kerupuk yang melempem tampak tidak berwibawa dan ragu dalam mengambil tindakan terhadap penyiaran-penyiaran Informasi Massa yang terindikasi kurang Demokratis serta kurang Pantas di Siarkan di Media televisi Nasional maupun Swasta.

Jelang Pemilihan Presiden mendatangpun tidak menutup kemungkinan akan adanya Indikasi perbedaan penayangan masyarakat sehingga saya menghimbau kepada masyarakat pembaca yang budiman agar lebih berhati - hati dalam mencerna informasi yang sangat cendrung politis ini dan kepada kawan - kawan pers, semoga bukti yang terjadi hari ini, di depan mata kita ini, dapat kita jadikan sebagai pelajaran dalam melakukan penyiaran kedepannya demi mencegah hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap dunia Pers. 

Akhir kata saya tutup dengan sebuah ajakan dari masyarakat sesungguhnya dan anggaplah ini sebagai panggilan untuk para kaum yang ikut merasakan kegalauan yang maha dahsyat terhadap kebrutalan penyiaran Informasi dan praktik hegemoni media informasi (Pertelevisian Nasional) dengan kalimat "MARI MENGAWAL DEMOKRASI".