Althea meletakkan buku yang sedari tadi ia baca di sebuah meja kayu kuno di sampingnya. Dia menatap jauh ke luar jendela, memandangi seorang penggembala kecil yang menggiring domba-domba gembalanya dengan tongkat dan cemeti panjang, penggembala kecil itu mengenakan jubah serba putih namun lusuh.

“Ah, seandainya saja pemuda yang sedang menggembalakan domba-domba itu adalah diriku,” katanya.

Althea juga berkhayal seandainya dirinya juga menjadi seperti mereka, bangun di pagi hari untuk memerah susu dan mengaduknya. Seandainya saja dirinya ikut Bersama anak-anak berlarian riang gembira di atas hamparan hijaunya rerumputan, bermain petak umpet di balik semak-semak di sela-sela menggiring gembalanya dengan cemetinya.

Seandainya saja ia bisa mendengarkan cerita tentang pegunungan dan bintang-bintang dari mulut para penggembala yang selalu rajin bekerja keras.

Sekejap mata Althea menangkap sesuatu yang tak biasa dari penggembala kecil tadi, yang kemudian membuatnya keheranan. Penggembala kecil itu sedang terduduk di bawah sebuah pohon, dan sejauh matanya bisa melihat, penggembala kecil itu memegang sebuah buku. Ya, sebuah buku! Dan buku itu sama persis dengan buku yang ada di sampingnya, yang baru saja ia letakkan tadi.

Pemandangan si penggembala kecil itu semakin menarik perhatian Althea. Karena bukan saja memegang, tapi kini penggembala kecil itu ‘terlihat’ membaca buku itu. Tidak ada yang aneh memang, tapi bagi Althea itu luar biasa anehnya. Karena baru kali ini ia mendapati seorang penggembala membaca buku, dan bukan buku dongeng atau buku doa, tapi buku bermuatan berat seperti, “Retorika : Seni Berbicara” karya filsuf besar Aristoteles!

Althea masih mengamati penggembala kecil itu, sampai akhirnya dia memutuskan untuk pergi ke tempat penggembala itu, demi meyakinkan dirinya sendiri bahwa yang dilihatnya itu bukan sekedar luar biasa anehnya.

Althea memarkirkan sepeda yang ia pinjam dari sepupu mudanya tidak jauh dari pohon besar tempat penggembala kecil itu berada. Belum menyadari kehadiran Althea, penggembala itu masih asik dengan bukunya.

“Ternyata anak gembala bisa juga membaca,” ucap Althea, walau dia sadar bahwa kalimatnya kurang sopan untuk mengawali sebuah percakapan.

Penggembala kecil itu menutup buku yang besarnya menghalangi wajahnya. Dia sejenak terlihat kebingungan, dan kemudian menjawab dengan entengnya,

“Yah, biasanya aku lebih banyak belajar dari domba-dombaku dari pada buku-buku”.

Althea tersenyum mendengar jawaban penggembala kecil itu. Selama dua jam berbincang-bincang kini Althea tau nama penggembala kecil itu adalah Issac.

“Bagaimana kau belajar membaca?” tanya Althea di tengah obrolan mereka.

“Ya, seperti orang-orang pada umumnya”.

Althea mendengus kesal mendengar jawaban anak itu.

“Kalau kau bisa membaca, mengapa kau cuma jadi gembala?”

Si penggembala kecil itu akhirnya menjelaskan bagaimana asal mulanya dia bisa membaca. Katanya, dia pernah masuk seminari hingga berusia enam belas tahun. 

Orang tuanya ingin dia menjadi pastor, agar dia bisa menjadi kebanggaan keluarga mereka yang hanya petani sederhana. Mereka harus bekerja keras hanya untuk sekedar makan dan minum, sama seperti domba-domba itu. Dia pernah belajar bahasa Latin, Spanyol, dan teologia.

Akan tetapi sejak masih kanak-kanak dia sudah ingin tau tentang dunia, dan baginya ini lebih penting dari mengenal Tuhan dan dosa-dosa manusia. Dia ingin berkelana. Dan pada akhirnya, dengan didorong tekat yang kuat, dan restu sang ayah, dia memutuskan menjadi gembala, dan akan berkelana.

“Lalu bagaimana dengan buku yang kau pegang itu. Ya, kau tau itu bukan sembarang buku yang bisa dibaca anak seusiamu kan?”

“Aku mendapatkannya di pasar loak. Apa pun judulnya, kalau itu buku dan bisa dibaca, akan aku baca. Terlepas dari apakah aku mengerti atau tidak dengan isinya. Aku hanya suka membaca”.

Althea diam. Heningnya sama dengan perut semesta yang bisu.

“Menurutmu dari mana datangnya dunia?” tanya Althea. Entah apa alasannya dia bertanya pertanyaan seperti itu pada si anak gembala, hanya saja dia merasa harus menanyakannya.

“Dunia itu hanya sebuah planet kecil di angkasa”.

“Namun dari mana asalnya angkasa?”

“Katakan saja bahwa angkasa itu selalu ada, karena itu dia tidak perlu mencari tau dari mana dia berasal,” jawab anak gembala itu sekenanya.

“Tapi mungkinkah sesuatu itu selalu ada? Tentunya segala sesuatu yang ada itu ada permulaannya kan? Jadi, angkasa pasti telah diciptakan dari sesuatu yang lain,” sanggah Althea. Ah, sepertinya dia senang sekali bisa bermain teka-teki dengan si anak gembala yang aneh ini.

“Akan tetapi, jika angkasa berasal dari sesuatu yang lain, sesuatu yang lain itu juga pastinya berasal dari sesuatu yang lain pula kan?” anak gembala itu mulai berpikir.

“Pada satu titik, sesuatu pasti berasal dari ketiadaan. Namun, apakah itu mungkin? Bukankah itu sama mustahilnya dengan gagasan bahwa dunia selalu ada?” tanya Althea mencoba memutar pertanyaan.

Lama sekali anak gembala itu berpikir, sampai pada akhirnya dia kehilangan gagasan dan menjawab,

“Tuhan yang menciptakan dunia”.

Althea tersenyum mendengar jawaban anak gembala itu. Awalnya Althea ragu bahwa anak itu akan menjawab seperti itu.

“Oke, aku dapat menerima gagasan itu. Tapi bagaimana dengan Tuhan sendiri? Apakah Dia menciptakan ‘diri-Nya’ sendiri dari ketiadaan? “

Anak gembala itu kehabisan kata-kata.

“Meskipun Tuhan dapat menciptakan segala macam benda, tidak mungkin Dia dapat menciptakan diri-Nya sendiri sebelum Dia mempunyai ‘diri’ kan?”

“Maka tinggal satu kemungkinan: Tuhan selalu ada!” tukas anak gembala itu.

“Tapi kita telah menolak kemungkinan itu! Segala sesuatu yang ada, harus ada permulaannya,” sanggah Althea lagi.

“Pertanyaan-pertanyaan yang menjengkelkan! Mengapa begitu sulit untuk terserap ke dalam masalah yang paling penting dan, dalam satu hal, paling wajar itu?” keluh si anak gembala.

“Hahaha.. Tepat! Seperti pertanyaan, apakah hal terpenting dalam kehidupan? Jika kita bertanya kepada orang yang kelaparan, jawabannya adalah makanan. Jika kita bertanya kepada orang yang kedinginan, jawabannya adalah kehangatan. Dan jika kita bertanya kepada para pemuka agama, jawabannya barangkali adalah Tuhan.

“Bagaimana dunia diciptakan? Karena apa diciptakan? Untuk apa diciptakan dan, masih banyak lagi. Orang-orang telah mengajukan pertanyaan seperti ini selama berabad-abad. Pada dasarnya  tidak banyak pertanyaan filosofis yang harus diajukan. Sejarah memberikan jawaban yang berbeda untuk setiap pertanyaan. Maka, adalah lebih mudah mengajukan pertanyaan filosofis dari pada menjawabnya.

“Sekarang pun, setiap individu harus menemukan jawabannya sendiri. Kamu tidak akan tahu apakah ada Tuhan, atau apakah ada kehidupan setelah kematian dengan mencarinya di buku ensiklopedi. Buku ensiklopedi juga tidak akan memberi tahu bagaimana manusia selayaknya hidup. Namun, membaca apa yang telah diyakini orang lain dapat membantu kita merumuskan sudut pandang kehidupan kita sendiri”.

“Ah, semesta penuh dengan tanda tanya,” ucap si penggembala kecil mengakhiri percakapan.