Belakangan ini saya sering menemukan kata alternatif, mulai di meja makan sampai di buku bacaan. Hidup bersama orang tua yang sudah lansia, salah satu perubahan yang cukup signifikan adalah upaya-upaya mencoba pengobatan ataupun perawatan kesehatan alternatif.

Dalam hal ini, diksi alternatif tentu saja identik dengan metode pengobatan atau perawatan yang tidak melibatkan tenaga medis tersertifikasi seperti dokter. Definisi alternatif lain dalam pengobatan juga bisa mencoba obat lain yang tidak berdasarkan resep dokter, misalnya, obat-obat herbal, atau jamu-jamuan.

Sepanjang hidup, saya juga sering mendengar orang tua, kerabat, sahabat, dan lingkungan pekerjaan saya menggunakan kata 'alternatif' untuk menjelaskan tentang sejarah. Kata itu bahkan masuk isi percakapan dalam sebuah novel berjudul Laut Bercerita, karangan Leila S. Chudori. 

Para tokoh yang berlatar belakang mahasiswa Universitas Gadjah Mada itu sedang membaca buku-buku alternatif, buku-buku yang punya sudut pandang lain dari sudut pandang utama tokoh sejarah. 

Artinya, pembacaan kisah alternatif juga melahirkan sejarah alternatif, sudut pandang baru, dan cara-cara alternatif.

Jika mengutip dari KBBI Daring, kata 'alternatif' sendiri punya definisi yang mudah dipahami yaitu; pilihan di antara dua atau beberapa kemungkinan. Dengan demikian dapat disimpulkan, alternatif berarti adalah pilihan lain, pilihan baru, pilihan berbeda dari pilihan utama atau kemungkinan yang sudah tersedia.

Kembali pada kisah dalam Laut Bercerita, saya tergelitik tentang bagaimana 'buku-buku alternatif' yang menjadi bahan bacaan mahasiswa era Orde Baru itu kini bisa kita identifikasi sebagai 'buku kiri'. Hal yang menurut saya unik akhirnya, 'buku kiri' selalu melahirkan efek represi. 

Misalnya, pemberangusan buku-buku kiri atau umumnya adalah buku pemikiran Marxis. Hal itu terjadi sejak zaman Orde Baru sampai saat ini. Kondisi ini tentu bisa jadi contoh agar bisa menyegarkan kembali ingatan kita pada kekuatan sejarah menutup keran pada 'kemungkinan' atau 'alternatif' dari kisah yang sudah dipublikasikan.

Pada akhirnya dengan perjalanan hampir menyentuh kepala tiga berdiam di planet bumi dan hidup sebagai warga Indonesia, buku kiri atau buku alternatif itu meski dibakar, dibuang, dihancurkan, tetap saja laku di pasaran. Tetap saja ada pembaca yang akan memburu naskah-naskah itu dan mereplikasi hingga mempublikasikan ulang. Ada juga yang mengkapitalisasi dengan menyebarkan secara terbatas. 

Sekilas jika kita memakai paradigma berpikir seorang pengusaha, buku dan obat alternatif di Indonesia sebenarnya cukup laku, minatnya cukup besar. Lantas bagaimana dengan aplikasi alternatif lainnya?


MENGENAL POLITIK ALTERNATIF

Mari kita berbicara soal politik. Politik ini pada dasarnya adalah kata benda. Dia tidak berada di level yang lebih mulia dari buku dan obat. Artinya, saya menilai cukup sah dan aman-aman saja untuk mengatakan, selain buku dan obat, tentunya politik juga punya alternatif, sebutlah politik alternatif.

Agar lebih sahih cara kita berpikir seturut kaidah Bahasa Indonesia, politik jika dikutip menurut KBBI Daring adalah; 1 (pengetahuan) mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan (seperti tentang sistem pemerintahan, dasar pemerintahan); 2 segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain: -- dalam dan luar negeri; kedua negara itu bekerja sama dalam bidang -- , ekonomi, dan kebudayaan; partai --; organisasi --; 3 cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani suatu masalah); kebijaksanaan: -- dagang; -- bahasa nasional. 

Dari definisi di atas kita bisa menyimpulkan politik sebagai kata benda punya fungsi dari mulai informasi pengetahuan, tindakan kebijakan, sampai cara bagaimana bertindak. 

Dalam level ketiga inilah politik menjelma kata kerja. Ketiga definisi ini pun menggambarkan apa itu politik secara sederhana adalah substansi benda yang hanya bisa terimplementasi dengan aksi atau kata kerja.

Politik alternatif akhirnya saya terjemahkan pribadi sebagai suatu rangkaian dari pemahaman sebagai pilihan lain dalam politik yang sudah ada saat ini, dan dalam proses, cara kerja, sampai dengan hasil dia akan tetap memakai standar-standar alternatif. 

Dengan kata lain, mengaplikasikan standar-standar baru dalam politik yang memihak pada suara marjinal. Suara yang selama ini terabaikan. Hal itu bisa kita cari dari partai politik saat ini, adakah satu saja partai yang menghadirkan bukan hanya narasi alternatif, cara kerja alternatif, dan opsi alternatif? Silakan Anda cari jawabannya, dan refleksikan.

Iseng yang berbuah ilmu, saya membaca opini dari Dirga Ardiansa selaku Peneliti Puskapol UI dan Dosen Politik FISIP Universitas Indonesia. Dalam opini yang berjudul: "Strategi Alternatif Politik Elektoral : Respon terhadap Wacana Politik Alternatif Gerakan Kiri" terbit di Indoprogress tahun 2015 menyebut, politik alternatif berpotensi hidup dalam iklim tatanan masyarakat yang muak pada oligarki.

Saya tergelitik pada tesis sederhana Dirga yang merefleksikan suasana hutan elektoral politik kita. Mengutip dari situs Puskapol UI, Dirga menulis: "kondisi kontemporer hutan politik elektoral Indonesia, yang kerap kali intelektual gerakan kiri menghindar atau merasa malu untuk mendalami politik elektoral yang dianggap sangat elitis sehingga tertinggal dan terpinggirkan dari diskursus menyangkut teori, konsep, data, praktek, advokasi, dan regulasi politik elektoral. Lantas bagaimana mungkin hanya bermodalkan optimisme yakin mampu meruntuhkan oligarki partai politik di kandangnya dalam sebuah permainan yang aturan mainnya mereka buat. Logika kerja representasi politik melalui proses pemilu, memang membuat partai politik menjadi kekuatan dominan oligarki, sehingga tidak satupun partai politik yang ada saat ini tidak menjadi bagian darinya."

Keyakinan Dirga sebagai penulis saat itu sangat menarik karena seolah nyaris menutup pintu keyakinan bagi perkembangan politik alternatif yang tentu saja pada hari-hari ini tak terlihat batang hidungnya.

Meski demikian, Dirga tidak menutup pintu pengharapan. Dengan mengingat keterbatasan waktu membangun partai politik alternatif apalagi sampai meruntuhkan oligarki, menurutnya  cara yang paling mudah bagi gerakan rakyat untuk terlibat dalam arena politik elektoral adalah dengan mengakuisisi partai politik yang telah terdaftar di Kemenkumham. 

Artinya, bukan dengan opsi membuat partai baru, apalagi jika partai baru sehebat apapun jualan janji kepada kelompok marjinal, ternyata memiliki cara kerja yang sama.

Tak hanya pemenuhan kelengkapan administrasi atas parpol yang telah diakui, Dirga juga mengingatkan pentingnya eksistensi partai politik yang dibangun oleh gerakan rakyat. “Tapi yang penting adalah eksistensi sebagai partai agar setiap kebijakan bisa direspon dan membangun struktur di wilayah,” ujarnya Dirga dikutip dari artikel ELSAM tahun 2015.

Pertanyaan saya selanjutnya adalah apakah partai yang tersedia saat ini sejak 2014 dan 2019 sudah bisa mengakumulasikan gerakan rakyat dalam membangun struktur wilayah? Tentu saja belum, dan ini semakin terlihat seiring dengan meningkatnya tensi jelang Pemilu 2024. Masalah kesenjangan, ketidakadilan sosial, dan penindasan masih menjadi berita harian yang dikunyah setiap hari oleh masyarakat.

Harus diakui bahwa saat ini pengetahuan organisasi gerakan rakyat mengenai politik elektoral masih sangat rendah. Jangan heran bahwa pemahaman soal politik elektoral ini menjadi kunyahan yang sulit bagi rakyat jelata. Kalaupun dia menjadi diskursus sehari-hari, dia hanya akan mencuat jelang Pemilu, yaa, mirip-mirip dengan momentum saat ini. Kalau menurut Dirga, kondisi yang berulang ini menandakan tidak siapnya politik elektoral dengan baik sepanjang tahun. Kondisi ini tak bisa dipungkiri akhirnya menyebabkan apatisme rakyat pada persoalan politik. 


JADI BISAKAH POLITIK ALTERNATIF HIDUP DI INDONESIA?

Berkaca dari kajian Puskapol UI, temuan ELSAM, dan keluh kesah kelompok gerakan rakyat saya berkesimpulan: hanya politik alternatif yang akhirnya tidak laku di Indonesia. 

Refleksi saya itu ternyata di-amin-kan pula oleh seorang imam Katolik dan ilmuwan politik Franz Magnis Suseno. Pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara ini membekali mahasiswa-mahasiswi dengan mengatakan kalimat pamungkas bahwa secara de facto di Indonesia tidak ada partai kiri, alias partai alternatif yang hidup.

Perlu diingat untuk bisa menjadikan politik alternatif ini laris manis seperti halnya buku dan obat alternatif, politik harus dilihat sebagai upaya merebut sumber daya sehingga membutuhkan partisipasi politik masyarakat. Alhasil, partisipasi politik tidak diukur hanya dari kehadiran dalam Pemilu dan penanda jari ungu.

Akhir kata, karena harus berlapang dada, jualan politik alternatif ini belum laku, mungkin kita bisa berangkat dari cara yang sederhana. Ibarat orang sedang berdagang, atau memasarkan barang, kata-kata politik kiri, atau apapun yang 'belok kiri' bisa kita ubah dengan kata 'alternatif'. Mungkin sudah saatnya kita perlu menghadirkan keramaian #PilihanBeda atau #PilihBeda alternatif, yang artinya menghadirkan kemungkinan baru. Maklum, kata kiri sudah lebih dari 30 tahun menciptakan memori kelam nan dramatis berujung resistensi atau represi. Mungkin dengan kata 'alternatif' inilah kita bisa membuka jalan baru, yang lebih ingin saya sebut 'jalan penyembuhan.'



Sumber dan Inspirasi:

Hasil diskusi dengan tim MOSI.ID @_mosi.id

Hasil diskusi dengan Calvin Ho, Mahasiswa Doktor City University of Hongkong

Hasil diskusi dengan Tizar Shahwirman, Mahasiswa Magister Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara

Ardiansa, Dirga. Strategi Alternatif Politik Elektoral : Respon terhadap Wacana Politik Alternatif Gerakan Kiri. 2015. Puskapol UI. Indoprogress. Jakarta.

ELSAM. Partai Politik Alternatif dan Pemilu. 2015. Jakarta.