Sependek kisah yang akan saya tulis lengkap dengan menyebut orang-orang yang berjasa di proses saya ber-HMI.

Saya besar di lingkungan betawi yang prinsip dasar beragama yang penting sembahyang dan ngaji. Nggak ngomongin mazhab, nggak ngomongin ideologi dan keruwetan lainnya.

Namun, ketika berkuliah di UIN Ciputat, saya menemukan keanekaragaman keyakinan, ideologi, mazhab, pemikiran, manhaj dan lainnya. HMI mengajarkan saya bagaimana menghormati manusia lain yang berbeda, penghormatan bukan sebatas saling menghargai namun juga berusaha untuk memahami.

Awal menjadi mahasiswa baru, banyak sekali senior yang mengajak organisasi sana-sini. Namun hanya HMI yang tidak mengajak dan mempromosikan organisasinya kepada saya. Jadi, kalau ditanya kenapa masuk HMI? Jawabannya, karena nggak diajak.

Berbeda komisariat atau cabang, pasti berbeda juga secara tradisi dan kulturnya. Namun, yang saya rasakan, ketika berbincang dengan orang HMI pada masa awal, jarang sekali membicarakan hal-hal serius, apalagi menggunakan term-term sulit kepada mahasiswa baru. Lebih banyak ngomongin game, perempuan dan hal-hal abstrak.

Karena saya gabut, akhirnya ikut diskusi di basement fakultas. Mereka menyebutnya PIUSH (Pojok Inspirasi Ushuluddin). Awal pengenalan saya terhadap filsafat yang hingga kini ilmu yang saya sukai, karena mengajarkan saya bagaimana hidup tenang, nyaman dan tentram.

Saya belajar banyak filsafat di PIUSH, saya kagum dengan senior bernama Dedy Ibmar sekarang beliau di Rusia untuk lanjut program master. Retorika yang sangat menggebu-gebu dan sulit dibantah karena ilmu logika beliau sudah selesai. Ini yang membuat saya masuk PIUSH, karena kecerdasan Dedy Ibmar.

Ilmu hidup, saya belajar dari senior PIUSH juga. Orang menyapanya Fufu. Sekarang menjabat di PB Lapmi HMI. Jujur saja, saya orang yang pendiam dulunya, hanya Fufu yang sering mengajak saya organisasi, mulai dari panitia LK II, seminar hingga menjadi notulen sidang mubes PPP.

Ilmu hidup yang dapat diambil dari Fufu, ia sangat altruistik dan loyalitas yang dikasih secara cuma-cuma. Semua ia lakukan "karena Allah", ini yang saya dengar ketika saya mengulik tentang kehidupan beliau. Orang lain biasanya banyak mengulik pada persoalan jurnalistik atau politik, namun saya berbeda, saya lebih tertarik pada kehidupan beliau.

Percintaan biasanya saya suka curhat ke senior juga, orang memanggilnya Ubed. Saya banyak konsultasi soal perempuan dan magic chess (mobile legends) ke beliau. Saya juga belajar NDP HMI dengan beliau.

Soal percintaan saya, selalu berakhir tragis. Suka sama satu organisasi, tapi dia sangat friendly ke semua orang. Suka sama perempuan sejak awal masuk, namun dijauhi ketika sudah mengungkapkan perasaan tersebut. 

Waktu daftar Senat Universitas, saya mengurus semuanya sendiri. Saya satu-satunya yang mengajukan diri dari HMI mewakilkan fakultas. Di senat, saya bertemu perempuan (mahasiswi psikologi) , yang saya sangat sukai. Saya punya banyak alasan kenapa saya bisa jatuh hati dengannya. Saya suka cara bicaranya persis seperti psikolog, tegas, lugas dan ekspresif. Saya suka humornya yang absurd dan yang tidak munafik saya suka fisiknya yang imut.

Namun kisah percintaan itu berakhir tragis lagi, saya dicuekin, jarang dibalas chat-nya. Ngomong-ngomong terakhir kabar, dia lagi dekat dengan teman sesama senat juga, teman deket, temen curhat saya juga. Penyebab tersebut, yang membuat saya menulis secara mendadak dan encer. 

Sudahlah, percintaan saya tidak seindah perjalanan intelektual saya. Mari kita membicarakan hal-hal lain saja.

Masuk pada persoalan kaderisasi, saya banyak belajar dari Pono dan Baput. Dua orang senior yang sangat ikhlas untuk HMI. Pono-lah yang pertama kali meminta saya ngisi logika atau filsafat ilmu pada forum-forum LK 1. Seingat saya pada tahun 2019 saya awal ngisi di forum hanya modal nekat.

Jujur, logika mata kuliah yang paling sulit. Namun karena keterpaksaan untuk menjelaskan materi tersebut, saya jadi senang dengan logika. Pono saat itu bilang, "Gua kurang percaya sama yang udah LK II buat ngisi, lebih percaya lu walaupun lu belum LK II," kata Pono saat itu di ruangbersuara. Kemungkinan ada intervensi mentor saya waktu LK 1 yaitu Zikri Sultoni yang mencoba merekomendasikan saya ke Pono. 

Saya minta maaf betul dengan Pono, Baput. Karena beberapa kali meminta saya berangkat LK II. Tapi saya cuekin, karena saya masih bingung kenapa saya harus LK II. Saya sudah pada tahap tidak butuh eksistensi, tidak butuh dihormati, tidak butuh dianggap, tidak butuh pencitraan. Relasi juga tidak butuh, karena sangat kejam, "kalau dia bisa dimanfaatkan, gua mau temenan sama dia, kalau tidak, untuk apa gua temenan sama dia". Perkataan yang sering saya dengar dari beberapa teman-teman HMI saya.

Mungkin saya jadi males LK II karena melihat teman-teman yang sudah LK II. Kok jadi tengil, sombong, gila hormat dan dateng kalau ada kepentingan saja. Apa di LK II tidak diajarkan atau minimal diperkenalkan oleh kedua tokoh HMI; Lafran Pane dan Cak Nur yang sangat rendah hati? Hah, sudahlah. 

Saya juga belajar kaderisasi dari Ican teman seangkatan saya. Di saat pandemi awal, ia masih tetep konsisten menjaga komisariat kami. Masih ngajak adik-adik untuk sekedar ngopi atau sekedar berimajinasi. 

Abang-abang di atas merupakan orang yang menginspirasi saya sekaligus mengajarkan saya banyak hal. Tulisan ini wujud kecil apresiasi dan rasa respect saya pada mereka. Masih banyak orang-orang yang tidak saya sebut, sekian.