Tidak ada satu pun calon diktator yang sejak awal berencana menjadi diktator sungguhan.
Alberto Fujimori, Presiden Peru, tidak pernah berencana menjadi seorang diktator. Bahkan kata Levitsky & Ziblat, Fujimori tak berencana menjadi Presiden Peru. Tapi krisis besar di Peru tahun 1990—yang membuat rakyat Peru muak dengan partai-partai lama—telah mengantarkan tokoh keturunan Asia Timur ini menjadi presiden di Peru.
Ini kerumitan dalam mendeteksi calon pemimpin autokrat: bahwa pelakunya sendiri tidak menyadari dirinya adalah seorang calon pemimpin otoriter.
Pada awalnya semua berlangsung baik, dan yang bersangkutan (calon pemimpin) punya keyakinan sangat kuat bahwa di tengah krisis, ia dapat membalikkan keadaan negara menjadi lebih baik. Ini kemudian menjadi sebuah wacana populis dari seorang kandidat.
Keyakinan sebagai tokoh yang bisa menyelamatkan bangsa itu akan menghiasi kampanye politik di seantero negeri (wacana populis). Struktur lama dan elite-elitenya dituduh sebagai oligarki korup yang merusak negara.
Rakyat yang memang sudah muak dengan tatanan lama dan menginginkan perubahan menaruh harapan besar di pundaknya. Saat semua itu berlangsung, tidak ada alarm yang berbunyi sekadar memberi aba-aba bahwa dia, calon yang dipercaya itu, adalah calon pemimpin diktator yang akan membunuh demokrasi di negaramu.
Setelah dilantik menjadi Presiden Peru, Fujimori menyampaikan pidatonya yang isinya memperingatkan bahwa Peru sedang menghadapi krisis terbesar dalam sejarahnya sebagai republik, ekonominya menjelang ambruk, masyarakat Peru telah terpecah karena kekerasan, korupsi, terorisme, dan obat terlarang. Fujimori berjanji akan mengeluarkan Peru dari krisis itu dan membimbingnya ke arah yang lebih baik. Demikian ditulis oleh Levitsky & Ziblat dalam buku Bagaimana Demokrasi Mati (How Democracies Die).
Yang jadi pertanyaan, jika pada awalnya calon diktator bercita-cita baik, lalu bagaimana dia menjadi seorang diktator?
Sekali lagi, pada awalnya semuanya bercita-cita baik. Namun setelah terpilih dan berada di tampuk kepemimpinan, seorang diktator mula-mula merasa dipersulit oleh lembaga-lembaga demokrasi—yang cukup ribet—untuk merealisasikan kehendak politiknya. Karena itu, dia mencari cara sedemikian rupa agar lembaga-lembaga demokrasi itu dapat diatasi, bahkan ditaklukkan.
Karena mengandung prinsip checks and balances, lembaga-lembaga demokrasi tidak dapat diperintah secara sepihak seperti memerintah karyawan bisnis keluarga. Demokrasi butuh perundingan, negosiasi kepentingan, dan kompromi yang melibatkan banyak pihak dan banyak pendapat. Sering kali calon pemimpin otoriter tidak tahan menghadapi kerumitan proses demokrasi itu.
Dalam demokrasi, inisiatif presiden bisa dibatalkan oleh legislatif atau kongres. Tetapi pemimpin demokrasi dapat menerima itu karena dia mengerti dan menghargai proses demokrasi (pengawasan dan perimbangan), mengerti bahwa dia bukan penguasa mutlak. Ada balance of power.
Tetapi bagi calon pemimpin otoriter, mekanisme checks and balances itu seperti ikatan yang membatasi dan menghambat realisasi kehendak politiknya. Maka serangan terhadap lembaga-lembaga demokrasi dimulai. Pada awalnya adalah serangan kata-kata, istilah-istilah kasar dan provokatif.
Ketika media-media di Turki mengkritik Recep Tayyip Erdoğan, dia melawan dengan menuduh jurnalis menyebarkan “terorisme”. Ketika hakim di Italia membuat keputusan yang bertentangan dengan kehendak penguasa, Perdana Menteri Italia, Silvino Berlusconi, menyebut hakim itu sebagai “komunis”.
Ketika kelompok oposisi Venezuela meminta Mahkama Agung untuk mencopot Hugo Chávez dari jabatan presiden karena alasan “ketidaklayakan mental”, Chávez justru makin keras melawan oposisi.
Seorang calon diktator benar-benar menganggap mekanisme lembaga-lembaga demokrasi sebagai ikatan yang menjadi aral bagi langkah politiknya. Oleh karena itu, Alberto Fujimori bahkan tidak bisa menerima gagasan harus berunding dan makan bersama dengan para pemimpin Senat setiap kali dia ingin mengesahkan undang-undang.
Mereka tak sabar dengan prosedur demokrasi yang rumit. Menurut pengakuan seorang ajudannya, Fujimori tak tahan dengan gagasan mengundang Ketua Senat ke istana kepresidenan tiap kali dia ingin Kongres menyetujui satu undang-undang. Dia lebih suka memerintah Peru sendirian dari balik komputernya (Levitsky & Ziblat 2019).
Serangan berikutnya adalah mengubah aturan main dan melumpuhkan oposisi sedemikian rupa sehingga tidak dapat melawan penguasa. Salah satunya adalah dengan melemahkan para pemimpin bisnis yang membiayai oposisi atau menangkap tokoh-tokoh berpengaruh.
Vladimir Putin, misalnya, berusaha melumpuhkan miliarder Rusia, Boris Berezovsky, pemilik saham terbesar stasiun televisi ORT di Rusia dan orang terkaya di Rusia, Mikhail Khodorkovsky, karena mendanai oposisi.
Ketika lembang-lembaga demokrasi di suatu negara telah dilangkahi dan oposisi telah dibungkam, maka demokrasi sebenarnya telah dibunuh perlahan-lahan. Jika diumpamakan, lembaga-lembaga demokrasi itu ibarat wasit, konstitusi ibarat aturan main, dan oposisi ibarat pemain lawan dalam permainan sepak bola.
Jika keputusan wasit terlalu ketat dan dianggap merugikan, maka wasit itu bisa dilangkahi, keputusannya dianggap curang, atau diganti dengan wasit lain yang lebih loyal dan mengubah aturan mainnya.
Demikian juga jika pemain lawan terlalu kuat, dapat dilemahkan dengan mencederai pemain terbaiknya dan melemahkan donatur yang mendanai kesebelasan itu. Jika wasit permainan telah ditaklukkan, aturan main telah diganti, dan lawan-lawan telah menjadi sedemikian lemah; yang ada hanya satu pemenang, diktator.
Kerumitan lain yang kemudian muncul dari kediktatoran adalah kita terlambat menyadari kehadirannya; dan ketika benar-benar disadari, dia telah menjadi sedemikian kuat dan sulit ditaklukan.
Pada saat itu kita berada dalam dua keadaan, menyesal karena terlambat menyadarinya yang mengantarkannya ke kursi kekuasaan, dan kini makin sulit dilawan ketika kehidupan bernegara telah benar-benar dibuat kacau oleh kediktatoran itu.
Tetapi berkat kerja keras Levitsky & Ziblat dalam penelitiannya selama bertahun-tahun, kita dapat mendeteksi embrio kediktatoran itu sejak awal. Jika kita mengenali rekam jejak politikus itu, tentu saja pertama-tama adalah dengan melihat rekam jejak politikus itu, jika ada jejak kediktatoran atau kekerasan dalam kariernya (pemeriksaan sejawat).
Namun jika kita tidak tahu rekam jejaknya, menurut dua professor Harvard University tersebut, kita sebaiknya berhati-hati jika seorang politikus memperlihatkan empat atau beberapa perilaku berikut ini:
Pertama, mereka menolak aturan main demokrasi dengan kata-kata atau perbuatan. Sikap ini salah di antaranya dapat dilihat: apakah mereka berusaha merusak legitimasi pemilu, contohnya dengan menolak hasil pemilu yang kredibel?
Apakah mereka menolak konstitusi atau menunjukkan kesediaan melanggarnya. Apakah mereka berusaha (atau menyetujui) menggunakan cara di luar konstitusi untuk mengubah pemerintahan, seperti kudeta militer, perlawanan dengan kekerasan, atau dengan unjuk rasa besar untuk memaksakan perubahan di pemerintahan?
Kedua, mereka menyangkal legitimasi lawan. Sikap ini di antaranya dapat dilihat: apakah mereka menyebut lawan sebagai pelaku makar, atau menentang tatanan konstitusional yang ada? Apakah mereka menyatakan bahwa lawan adalah ancaman eksistensial, baik bagi keamanan nasional maupun cara hidup yang umum?
Apakah mereka menuduh tanpa dasar lawan partisan sebagai kriminal yang dianggap melanggar hukum (atau berpotensi begitu) dan tak memenuhi syarat ikut serta dalam arena politik? Apakah mereka berkata tanpa dasar bahwa lawan adalah antek asing, bekerja sama diam-diam dengan (atau dipekerjakan) pemerintah asing—biasanya yang bermusuhan?
Ketiga, mereka menoleransi atau menyerukan kekerasan. Sikap ini dapat dilihat pada: apakah mereka punya hubungan dengan geng bersenjata, pasukan para militer, milisi, gerilyawan, atau organisasi lain yang terlibat dalam kekerasan tak sah?
Apakah mereka atau sekutu partisan mereka mendukung atau mendorong serangan massa terhadap lawan? Apakah mereka secara tak langsung menyetujui kekerasan yang dilakukan pendukung mereka dengan menolak mencela dan menghukumnya? Apakah mereka pernah memuji (atau menolak mencela) tindakan kekerasan politik, pada masa lalu atau di tempat lain?
Keempat, mereka menunjukkan kesediaan membatasi kebebasan sipil lawan, termasuk media. Sikap ini dapat dilihat: Apakah mereka mendukung hukum atau kebijakan yang membatasi kebebasan sipil, seperti perluasan hukum pencemaran nama baik atau penistaan, atau hukum yang membatasi protes, kritik terhadap pemerintah, atau organisasi sipil atau politis tertentu?
Apakah mereka pernah mengancam melakukan tindakan hukum atau lainnya terhadap pengkritik di partai lawan, masyarakat sipil, atau media? Apakah mereka memuji tindakan represif yang dilakukan pemerintah lain, pada masa lalu atau di tempat lain.
Jika seorang politikus memperlihatkan semua atau salah satu sikap di atas, kita perlu berhati-hati. Apalagi dia (politikus itu) sekaligus populer di mata orang banyak.
Sebelumnya, para penjaga demokrasi di Amerika Serikat telah menggunakan tinjauan sejawat (yang dilakukan oleh petinggi-petinggi partai politik) untuk mendeteksi dan mencegah calon diktator masuk di arena pemilu.
Namun, jika kita tidak mengenal rekam jejak seorang politikus, semoga empat indikator di atas dapat digunakan untuk mendeteksi dan mencegah calon diktator untuk berkuasa.