Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat (RUU Masyarakat Adat) saat ini tengah menggantung di DPR RI. RUU yang telah disepakati dalam proses harmonisasi di Badan Legislasi itu masih belum juga di bawa ke sidang paripurna DPR. Ada beberapa problem struktural yang menyebabkan RUU Masyarakat Adat stagnan dalam pembahasannya. Pertama, minimnya political will antar anggota DPR. Beberapa Fraksi Partai Politik di DPR masih menganggap bahwa RUU Masyarakat Adat belum menjadi prioritas karena membebani APBN, dalam hal lain, muatan isu yang menjadi fokus pengaturan dalam RUU Masyarakat Adat dianggap bertentangan dengan prinsip Hak Menguasai Negara (HMN), terutama dalam pengaturan sumber daya alam. Hal tersebut yang memunculkan kekhawatiran yang eksesif oleh Negara untuk mengakui keberadaan Masyarakat Adat.
Kedua, isu-isu ego sektoral dan birokrasi. Ego sektoral seperti tumpang tindih regulasi dan bertentangan dengan birokrasi seringkali menjadi dalih anggota DPR RI dan pemerintah untuk menggagalkan pengesahan RUU Masyarakat Adat. Sebagai contoh, peraturan sektoral yang mengatur penguasaan sumber daya alam di atas tanah dengan di dalam tanah diatur dengan ketentuan regulasi dan kewenangan yang berbeda antar birokrasi Negara. Ketiga, persoalan minimnya anggaran akibat Pandemi Covid 19. Ada beragam RUU, termasuk RUU Masyarakat Adat pada prolegnas prioritas 2021 yang pembahasannya ditangguhkan oleh DPR RI. Hal tersebut disebabkan oleh situasi Covid 19 yang membutuhkan perhatian extra dari pemerintah, termasuk alokasi anggaran penanggulangan. Implikasinya, progres pembahasan RUU Masyarakat Adat hingga saat ini stagnan di DPR RI.
Dengan membaca realitas saat ini, tampak kinerja legislasi sebetulnya sedang di bawah standar. Produk regulasi yang dihasilkan oleh DPR nyatanya justru melahirkan delegitimasi sosial secara masif di masyarakat. Mulai dari perubahan UU KPK, disusul UU Minerba, hingga UU Cipta Kerja.
Tom Ginsburg dan Aziz Huq (2016) memelopori konsep evaluasi performa konstitusi (assessing constitutional performance) untuk memangkas jarak (gap) antara harapan (sollen) dan realitas (sein) pada bunyi teks konstitusi dan performanya di tataran praktis. Hasil studinya, ada tiga faktor utama yang menyebabkan konstitusi tak dapat perform dengan baik dalam merespon kepentingan publik: (1) akibat realitas politik, (2) pengaruh kelompok-kelompok penekan, dan (3) faktor-faktor non-hukum, seperti teknologi dan birokrasi. Sejalan preposisi Ginsburq dan Huq, kinerja legislasi kita sebenarnya sedang berjalan diluar pakemnya (Ginsburg, 2017).
Keterbukaan Parlemen yang Minimalis
Sejak tahun 2009 saat pertama kali RUU Masyarakat Adat masuk sebagai program legislasi nasional selalu menghadapi problem keterbukaan informasi yang masih sangat minimalis. Belum ada ruang yang efektif untuk masyarakat terlibat memantau progres pembahasan RUU Masyarakat Adat secara penuh. Konsekuensi dari keterbukaan parlemen yang minimalis tersebut adalah seringkali keputusan yang berkaitan dengan pengaturan substansi dalam pembahasan RUU Masyarakat Adat justru bertentangan dengan aspirasi Masyarakat Adat. Sebagai contoh kasus saat RUU Masyarakat Adat kembali diakomodir ke dalam Prolegnas periode DPR 2014 – 2019, setelah mengalami kegagalan legislasi pada tahun 2009 – 2014.
Pada waktu itu, pembahasan substansi RUU Masyarakat Adat masuk dalam tahapan harmonisasi di Badan Legislasi DPR RI. Setelah melalui rangkaian proses harmonisasi dengan melibatkan perguruan tinggi hingga civil society, RUU ini kemudian ditetapkan sebagai usulan DPR RI. Namun, saat penetapan draft RUU, ada beberapa pengaturan substansi yang berubah tanpa melalui proses diseminasi terlebih dahulu. Seperti hadirnya ketentuan evaluasi Masyarakat Adat, dimana pada pembahasan harmonisasi tidak dibahas substansi tersebut. Ketentuan tersebut diputuskan oleh segelintir anggota DPR RI tanpa melibatkan Masyarakat Adat. Konsekuensinya, pengaturan substansi dalam draft RUU Masyarakat Adat yang ada sekarang justru bertentangan dengan aspirasi Masyarakat Adat.
Pada tataran praksis, seringkali substansi produk regulasi ditetapkan dengan logika hukum yang cacat. Apalagi, penetapan substansi tersebut memiliki hubungan kausalitas dengan hajat hidup orang banyak, dalam hal ini Masyarakat Adat. Seyogianya, segala kebijakan yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak harus diputuskan dengan mempertimbangkan partisipasi publik yang penuh dan efektif.
Selain itu, keterbukaan parlemen sangat kurang perihal akses informasi progres tahapan sebuah RUU. Kendati DPR perlahan sudah mulai terbuka, namun masih ada beberapa hal yang mesti ditingkatkan. Salah satunya menyoal publikasi dokumen pendukung sebuah rancangan regulasi. Informasi yang dipublikasi pada platform legislasi nasional DPR RI (SILEG) masih minimalis, hanya mempublikasikan informasi yang sifatnya prosedural seperti naskah akademik, itupun belum merata pada setiap RUU. Dokumen risalah rapat belum maksimal dipublikasikan, dan pandangan fraksi serta pemerintah yang bahkan tidak dipublikasikan. Sebagai contoh informasi berkaitan dengan RUU Masyarakat Adat, informasi yang tersedia hanya seputar naskah akademik, laporan singkat hasil rapat yang sangat minimalis beserta bahan-bahan narasumber dalam proses harmonisasi. Belum terlihat sebuah dokumentasi yang menjelaskan secara rinci bagaimana rapat pembahasan berlangsung, usulan-usulan setiap fraksi terhadap perubahan substansi RUU hingga sikap politik fraksi. Dalam hal lain, berkaitan dengan tahapan pembahasan hanya mempublikasikan tahapan pembahasan RUU sesuai mekanisme yang ada, tidak ada informasi yang berkaitan dengan status sebuah RUU, apakah pembahasannya dilanjutkan atau ditangguhkan beserta rasionalisasinya.
Keterbukaan parlemen yang minimalis tersebut kerap menjadi destruksi terhadap proses legislasi RUU Masyarakat Adat. Betapa tidak, antusiasme masyarakat untuk memantau proses legislasi RUU Masyarakat Adat justru tak tersalurkan akibat minimnya ruang yang diberikan oleh DPR untuk masyarakat dapat berpartisipasi secara penuh. Padahal, agenda Open Parliament yang saat ini dijalankan oleh kelembagaan DPR tersebut bertujuan pada dua hal. Pertama, adanya sistem dan aplikasi untuk mempermudah akses informasi agar publik dapat mengetahui program, proses dan kinerja DPR, memberikan masukan dan sikap dalam proses legislasi, pengawasan maupun penganggaran. Kedua, terbangunnya forum akuntabilitas antara DPR dan masyarakat dalam rangka meningkatkan akses publik terhadap DPR (Smilov, 2017). Dua tujuan tersebut secara perlahan mulai dijalankan, namun belum menyentuh pada tataran substansial dari agenda keterbukaan parlemen.
Dari Destruksi ke Dekonstruksi
Apa yang ditampilkan di atas adalah sebuah rangkaian destruksi dari proses legislasi RUU Masyarakat Adat di parlemen. Baik dari aspek dinamika politik hingga aspek keterbukaan dan akuntabilitas parlemen. Ketika destruksi legislasi RUU Masyarakat Adat terjadi, harus muncul tindakan dekonstruksi sebagai upaya untuk memangkas jarak antara harapan dan realitas politik.
Konsep dekonstruksi Jacques Derrida memberikan gambaran bahwa dalam memahami makna teks yang tidak boleh terus mempertahankan makna yang lama (sudah ada) dan menentukan makna yang kemudian mengagungkannya. Tetapi harus diperoleh suatu kebenaran yang sungguh-sungguh baru dan menggambarkannya. Kebenaran ini diperoleh tanpa menyingkirkan kebenaran-kebenaran atau makna-makna yang lalu (yang telah mendahuluinya). Setelah kebenaran ini ditemukan, kita tidak boleh secara legitimasi menyatakan bahwa itulah kebenaran yang sesungguhnya atau absolut. Kebenaran atau makna yang diperoleh bukanlah satu-satunya kebenaran, tetapi ada kesempatan untuk ditemukan kebenaran baru, sampai seterusnya (Siswanto, 1994).
RUU Masyarakat Adat yang telah melalui proses politik lebih dari satu dekade di Parlemen tak dapat dipahami hanya sebagai rangkaian teks. Perspektif memandang RUU Masyarakat Adat harus diperluas maknanya sebagai sebuah upaya dekonstruksi terhadap kebenaran absolut yang memandang bahwa regulasi yang ada saat ini sudah cukup mengakomodir keberadaan Masyarakat Adat. RUU Masyarakat Adat adalah mandat UUD 1945 yang memerintahkan bahwa keberadaan Masyarakat Adat harus diatur melalui undang-undang khusus sebagai upaya pengakuan dan perlindungan negara serta sebagai instrument penyelesaian konflik. Hal ini dapat dijadikan dasar dalam upaya membangkitkan political will pemerintah dan DPR RI untuk mengesahkan RUU Masyarakat Adat.
Hal yang sama juga terjadi pada aspek keterbukaan parlemen. Aspek ini tentu memiliki hubungan kausalitas dengan proses legislasi RUU Masyarakat Adat. Pada tataran praksis, prinsip keterbukaan parlemen hanya dipahami sebagai teks yang kaku, sehingga ketika agenda ini di implementasikan, sulit untuk mencapai ‘makna’ dari sebuah gagasan besar tentang parlemen yang terbuka. DPR RI terjebak pada kebenaran absolut yang menyatakan bahwa ketika kelembagaan DPR telah menjalankan komponen-komponen yang ada dalam prinsip keterbukaan parlemen, maka dengan buru-buru DPR telah mendaku dirinya sebagai parlemen yang terbuka. Padahal, agenda keterbukaan parlemen yang saat ini dijalankan oleh DPR RI baru menyentuh pada aspek proseduralitas untuk disebut sebagai parlemen yang terbuka, masih jauh dari aspek substansialnya.
Inti dari agenda keterbukaan parlemen adalah mewujudkan parlemen yang lebih modern dan terbuka berdasarkan nilai-nilai transparansi, partisipasi, inovasi dan akuntabilitas (Smilov, 2017). Jika kita uji parlemen dewasa ini menggunakan variabel tersebut tentu kita akan menemukan kelemahan-kelemahan yang justru mengarah pada kesimpulan bahwa kelembagaan DPR RI belum mampu mewujudkan tujuan dari agenda keterbukaan parlemen. Kita masih menemukan fenomena sebuah rancangan undang-undang yang disahkan tanpa melalui prosedur formal, abuse of power yang dilakukan oleh anggota DPR hingga krisis inovasi. Hal tersebut memberikan kita gambaran bahwa kualitas dari agenda keterbukaan parlemen ditentukan oleh kualitas sumber daya dalam kelembagaan DPR, regulasi yang mengatur hingga seberapa besar political wil yang dimiliki oleh para anggota DPR. Sebab, agenda keterbukaan parlemen justru bukan dipahami sebagai instrumen untuk reformasi kelembagaan, melainkan sebagai ancaman terhadap keberlangsungan kekuasaan.