Apa itu demokrasi? Apakah itu hanya sebatas pemilu? Apakah itu terlaksana dalam voting? Apakah itu sebatas mengungkapkan pendapat? Apakah itu sebatas musyawarah mencapai mufakat? Apakah itu suatu unjuk rasa atau demonstrasi? Kiranya masih banyak pertanyaan-pertanyaan yang terusik di benak kita saat mendengar kata “demokrasi”. 

Secara etimologis, ia terambil dari kata bahasa Yunani demos (rakyat) dan kratos (kekuasaan). Secara harafiah bisa kita sebut sebagai suatu sistem pemerintahan yang kekuasaannya berada pada tangan rakyat. 

Konsep ini tentu sudah dikenal sejak masa lampau, namun menjadi semakin mendapat perhatian ketika mulai disinggung pada abad modern, sebagai suatu lompatan dari sistem pemerintahan keilahian menuju sistem pemerintahan kerakyatan.

Indonesia pun kiranya menganut sistem demokrasi ini dalam perjalanan hidupnya. Bahkan boleh dikata nilai-nilai demokrasi ini terkandung dalam dasar negara, yakni Pancasila, secara khusus dalam sila yang keempat. Lebih spesifik, dalam demokrasi terkandung gagasan-gagasan mengenai kebebasan berpikir dan berpendapat. 

Konon katanya di negara yang menerapkan sistem demokrasi ini, kebebasan berpikir dan berpendapat itu sangat dihargai serta dihormati.[1] Apakah benar demikian adanya? Sungguhkah negara ini telah menerapkan kebebasan berpikir dan berpendapat dengan baik?

Seturut hitam di atas putih, negara Indonesia memang menerapkan prinsip-prinsip demokrasi yang mengedepankan kebebasan berpikir dan berpendapat. Akan tetapi, dalam praktiknya prinsip tersebut sering menjumpai rintangan yang cukup berarti.

Nining Elitos, Ketua Umum Konfederasi KASBI sekaligus perwakilan Aliansi Gerakan Buruh Bersama Rakyat, menilai bahwa pembungkaman terhadap suara rakyat dan kelompok kritis serta berseberangan dengan oligarki ternyata semakin mengkhawatirkan di bawah pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Ia melanjutkan bahwa sikap antidemokrasi itu dibungkam dengan dalih demi penanganan pandemi dan upaya mempertahankan Pancasila.[2]

Salah satu contohnya ketika ada 9 aktivis buruh, mahasiswa, dan pelajar yang berdemo untuk menuntut keringanan biaya kuliah di masa pandemi di depan Kantor Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi pada 2 April lalu. Hal tersebut dianggap sebagai pelanggaran terhadap protokol kesehatan di masa pandemi.

Dari salah satu contoh persoalan tersebut, bisa kita lihat bahwa sebetulnya refleksi mengenai demokrasi itu tidak akan pernah berhenti. Persoalan terkait demokrasi tentu masih tetap ada dan perlu terus didalami serta diupayakan penyelesaiannya; meski belum tentu akan benar-benar selesai dan hilang. 

Namun demikian, sekurang-kurangnya demokrasi perlu terus dikritisi, supaya tidak mandek. Demokrasi macam mana yang kiranya sesuai dengan kebutuhan Indonesia, itulah yang mestinya menjadi sorotan dalam penerapan demokrasi. 

Maka tepatlah kalau kita sebut bahwa demokrasi kita ini adalah demokrasi yang masih terus menjadi, karena memang bentuk dan penerapannya masih belum sungguh maksimal serta masih perlu terus diperbaiki dari hari ke hari. Salah satu contohnya adalah dengan kebebasan berpikir dan berpendapat yang telah dicontohkan sebelumnya.

Demokrasi kini menjadi suatu sistem perpolitikan yang dianut oleh hampir semua negara. Ini mau menunjukkan penghargaan terhadap manusia, bahwa ia bukanlah benda mati yang bisanya hanya disuruh-suruh. Perlakuan terhadap masyarakat atau rakyat secara satu arah dan kaku itu kiranya lebih berciri totaliter. 

Sedangkan, demokrasi semestinya lebih terbuka terhadap adanya suatu diskursus publik, yang bertujuan untuk membangun penalaran kritis dalam diri masing-masing orang. Dengan demikian, pembungkaman terhadap suara-suara yang kritis dan konstruktif itu bukanlah demokrasi yang sebenarnya.

Jika demikian, apakah demokrasi di Indonesia sudah berjalan seturut dengan prinsipnya? Penulis kurang lebih akan berkata bahwa demokrasi itu masih terus berproses. Karena ia bukan barang sekali jadi, melainkan perlu pembentukan yang lama dan bahkan tidak akan pernah berhenti. 

Konsep dan penerapan demokrasi itu senantiasa perlu untuk terus didekonstruksi agar semakin kentaralah demokrasi macam apa yang cocok demi bangsa dan negara ini. Oleh sebab itu, penulis malah melihat bahwa persoalan-persoalan dalam masyarakat terkait dengan demokrasi merupakan salah satu bagian dari proses “menjadi”-nya demokrasi Indonesia.

Di tengah situasi diskursus publik yang terjadi melalui berbagai pertarungan wacana, kiranya paham dan sistem demokrasi itu semakin terus diuji, agar nyatalah bentuk konkretnya. 

Oleh sebab itu, kita sebagai bagian dari demokrasi ini kiranya perlu untuk juga terlibat dalam diskursus pembentukan demokrasi negara kita. Pemahaman kita akan demokrasi pun masih terus menjadi, seturut dengan penerapan demokrasi yang juga masih terus menjadi. 

Karena itu, penting untuk berproses di dalamnya sembari turut berdemokrasi, dalam keseharian serta bahkan dalam ide-ide brilian; agar penalaran kritis kita senantiasa terasah di tengah maraknya keengganan untuk berbicara dan bahaya ikut arus saja.


Referensi:

[1] Bdk. Latipah Nasution, “Hak Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi dalam Ruang Publik di Era Digital”, dalam Jurnal ‘Adalah: Buletin Hukum dan Keadilan, Vol. 4, No. 3 (2020), hlm. 40.

[2] Bdk. Haris Prabowo, “Buruh & Mahasiswa Khawatir Suara Kritis Makin Dibungkam Penguasa”, dalam laman Tirto.id, https://tirto.id/buruh-mahasiswa-khawatir-suara-kritis-makin-dibungkam-penguasa-ggzD (diakses pada 5 Juni 2021, pk. 11.41).