Deforestasi atau lebih sederhana nya adalah penghilangan hutan dengan cara menebang pohon guna mengambil hasil dari penebangan tersebut dan mengubah fungsi hutan menjadi non hutan. Deforestasi dewasa ini cukup mengkhawatirkan, bagaimana tidak deforestasi terjadi dimana-dimana, Indonesia termasuk sebagai negara yang mengalami deforestasi yang cepat laju nya.

Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki hutan yang cukup luas, tak heran bahwa Indonesia  dikenal dan dijuluki oleh negara-negara lain sebagai paru-paru dunia. Tentunya itu bukan hanya julukan belaka, akan tetapi Indonesia menempati posisi kedua sebagai pemasok oksigen terbesar bagi bumi.

Di Indonesia sendiri Papua menjadi daerah dengan luas hutan terbesar, kemudian diikuti oleh Kalimantan dan daerah-daerah lainnya, akan tetapi seperti narasi awal yang tadi di sampaikan bahwa deforestasi semakin gencar dan masif di Indonesia, sehingga menyebabkan berbagai dampak negatif bagi lingkungan.

Dampak-dampak negatif yang disebabkan oleh deforestasi mulai dari perubahan iklim, kehilangan berbagai jenis spesies tumbuhan dan hewan, mengakibatkan banjir dan erosi tanah, mengakibatkan kekeringan, bahkan sampai pada kerugian ekonomi.

Lalu sebenarnya apa yang menjadi alasan yang paling fundamental sehingga deforestasi bisa terjadi jika dilihat menggunakan kacamata psikologi? Tentunya salah satu jawaban klasik yang sering terdengar dari mulut manusia yang melakukan pengalih fungsian lahan yaitu untuk mencukupi kebutuhan hidup nya.

Tuntutan untuk senantiasa menjaga keberlangsungan hidup ini menjadi poin paling vital kenapa deforestasi bisa terjadi, namun saya teramat yakin pada awalnya bahwa hanya beberapa manusia yang melakukan pengalih fungsian lahan, dan pada akhirnya lama kelamaan di ikuti oleh manusia-manusia lainnya yang menyebabkan deforestasi semakin meluas.

Dalam psikologi, perilaku mengikuti atau ingin menyeragamkan tindakan kita dengan lingkungan sekitar disebut sebagai konformitas. Konformitas inilah yang menjadi satu salah alasan kenapa deforestasi semakin menyebar dan meluas.

Pada awalnya manusia yang satu mulai mengobservasi dan mengamati apa yang dilakukan oleh manusia lainnya di hutan dekat pemukiman masing-masing, kemudian melihat bagaimana dia membuka lahan, bercocok tanam pada lahan tersebut, kemudian mendapatkan keuntungan akan hal tersebut. Dia sontak mulai mengikuti, dan begitu juga dengan manusia lain di sekitarnya, begitulah alur dari konformitas.

Tentunya ketika kita coba melihat sejarah sekitar 12.000 tahun lalu ketika revolusi pertanian mulai terjadi seperti yang dikisahkan di dalam buku sapiens, di sana lah titik awal manusia mulai mendomestikasi tumbuhan atau mulai bercocok tanam dengan tumbuhan-tumbuhan yang menjadi pilihannya, dan pandangan subjektif saya meyakini bahwa domestikasi tumbuhan itulah yang menjadi asbabul wurud deforestasi masa kini.

Selain dari konformitas juga dijelaskan oleh Dr. Alexander Sonny Keraf yang pernah menjabat sebagai Menteri Lingkungan Hidup pada kabinet persatuan Indonesia di dalam bukunya Etika Lingkungan Hidup, bahwa terjadi nya kerusakan ekologi, yang salah satunya diakibatkan oleh deforestasi adalah karena manusia meyakini pemahaman antroposentris.

Antroposentrisme adalah paham dimana manusia menganggap dirinya sebagai pusat dari alam semesta dan juga manusia merasa istimewa dan lebih eksklusif dari makhluk hidup lainnya. Atas dasar itulah manusia bebas melakukan sesuatu termasuk merusak alam lewat tindakan deforestasi tersebut.

Terlepas dari alasan klasik yang selalu menjadi jawaban manusia dewasa ini, bahwa yang menyebabkan mereka melakukan tindakan deforestasi adalah untuk mencukupi kebutuhan hidup, seorang tokoh sentral Buddha memiliki pandangan lain terhadap homo sapiens.

Siddhartha Gautama atau yang lebih dikenal Buddha adalah pewaris salah satu kerajaan di Himalaya sekitar 500 Sebelum masehi, ia memutuskan untuk meninggalkan istana nya pada umur dua puluh sembilan tahun, berkelana sampai India utara dan bermeditasi selama enam tahun untuk mencari alasan penderitaan manusia saat itu.

Siddhartha Gautama melihat bahwa manusia di sekitar nya mengalami penderitaan yang bukan hanya disebabkan oleh bencana seperti perang, wabah penyakit, tsunami dan lain sebagainya, akan tetapi penderitaan manusia kebanyakan disebabkan oleh kecemasan manusia itu sendiri, rasa frustasi, dan merasa tidak puas akan segala hal.

Manusia tidak pernah merasa puas, orang-orang yang hidup di bawah garis kemiskinan memimpinkan kekayaan, orang yang mempunyai uang satu juta menginginkan dua juta, yang mempunyai uang dua juta berharap bahwa esok hari akan memiliki sepuluh juta, bahkan orang kaya sekalipun tidak pernah merasa puas atas apa yang dia miliki.

Atas dasar keinginan yang terlalu berlebihan dan tidak pernah merasa puas menjadikan manusia menderita. Dan pada akhirnya Siddhartha Gautama menemukan jawaban atas problem manusia. Nafsu manusia lah yang menjadikan manusia menderita, nafsu menginginkan untuk memperoleh lebih dan menginginkan itu selalu melibatkan ketidakpuasan, termasuk dalam faktor ekonomi atau untuk keberlangsungan hidup.

Nafsu memerintahkan untuk melakukan pengalih fungsian lahan untuk bercocok tanam atau membangun gedung pencakar langit, semua itu sudah dilakukan akan tetapi atas dasar nafsu yang tidak pernah merasa puas kita terpaksa menuruti kemauan atau keinginan nya yang lain.

Nafsu kembali memerintahkan kita untuk menambah lahan garapan yang lebih luas atau bahkan membangun gedung pencakar langit dengan kuantitas yang lebih banyak dari sebelumnya, sehingga pada akhirnya deforestasi tidak bisa dihindari.

Menjustifikasi pernyataan Siddhartha Gautama , di dalam psikologi Islam juga dibahas mengenai pemikiran Al Ghazali di dalam kitab Ihya Ulumuddin yang menjelaskan bahwa manusia memiliki nafsu yang dapat merusak. Selain daripada itu didalamnya juga memaparkan bahwa sifat manusia terdiri atas empat, mulai dari sifat kesetanan, kebuasan, kebinatangan, dan sifat ketuhanan.

Jika manusia tidak mampu untuk melakukan self control maka otomatis dia akan berada pada sifat kesetanan, kebuasan, kebinatangan yang nantinya akan membawa manusia itu sendiri melakukan penipuan, berkata kotor, ria, kikir, penjilat, rakus dan sampai pada merusak. Jika kita konteks kan pada pembahasan ini maka manusia akan merusak kelestarian hutan dengan melakukan deforestasi.

Tanpa ingin mengecualikan pendapat Adler, salah satu psikolog yang teorinya tetap menjadi topik hangat di kelas psikologi awal mengenai dinamika kepribadian manusia. Adler mempunyai sub teori turunan yang membahas tentang perjuangan ke arah superioritas.

Adler mempunyai satu keyakinan bahwa manusia pada awalnya memulai hidup dengan kelemahan fisik sehingga atas dasar inilah dia mengaktifkan perasaan inferior. Inferioritas tafsiran adler adalah keadaan dimana individu merasa pesimis dan lemah untuk menghadapi tugas yang diberikan.

Akan tetapi Inferioritas inilah juga yang nantinya menjadi lokomotif penggerak manusia untuk berjuang menuju superioritas. Penerjemahan adler mengenai superioritas adalah suatu gerak yang mengarahkan manusia ke tahap yang lebih sukses, terutama kesuksesan dalam konteks sosial kemasyarakatan.

Keinginan untuk menjadi superior di antara manusia lainnya yang telah menjadikan manusia menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya, termasuk dengan melakukan deforestasi yang dapat menunjang kebutuhan manusia dalam aspek perekonomian yang lebih unggul lagi.

Selain itu juga, sepertinya kita perlu membangun asumsi baru yang dapat menjustifikasi paham antroposentrisme sebelumnya. Bahwa yang menyebabkan tindakan deforestasi ini bisa terjadi karena gen-gen manusia, pola perilaku manusia atau pemahaman manusia akan suatu hal dipengaruhi oleh bawaan sejak lahir.

Di dalam psikologi perkembangan ada yang disebut dengan aliran nativisme yang dipelopori oleh Arthur Schopenhauer salah seorang filosof jerman, yang dimana aliran ini menjelaskan perilaku, mindset, cara berbicara bahkan sampai kecerdasan dipengaruhi oleh faktor keturunan atau dibawa sejak lahir.

Artinya pemahaman berkaitan dengan antroposentrisme ini memang sudah tertanam jelas di dalam diri manusia, dan pemahaman berkaitan dengan hal ini akan sangat sulit untuk diubah, jika kita coba mengkaji dari sudut pandang nativisme tersebut.  

Terlepas dari itu semua, bahwa karena banyak faktor penyebab dan dampak negatif yang bisa ditimbulkan oleh deforestasi, tentunya beberapa kelompok manusia telah berupaya untuk memberikan pemahaman satu sama lain berkaitan dengan dampak-dampak negatif akibat hal tersebut.

Namun memang sangat sulit untuk dapat mempengaruhi dan mengajak manusia meninggalkan hal-hal yang dapat merusak kelestarian alam tersebut. Berbagai lembaga dan organisasi yang memiliki peran dan tanggung jawab menjaga dan memelihara hutan tentunya sudah berusaha semaksimal mungkin untuk meminimalisir tindakan semacam deforestasi ini.

Misalnya di tataran negara Indonesia ada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, ada juga organisasi seperti PEKA (Peduli Konservasi Alam Indonesia) atau ada juga organisasi di lingkup global seperti World Wide Fund For Nature (WWF) dan organisasi atau lembaga lainnya.

Banyaknya organisasi atau lembaga yang bertanggung jawab dalam hal menjaga kelestarian alam tersebut bukan berarti mendegradasi tanggung jawab moral kita yang sudah memahami berkaitan dengan dampak-dampak negatif yang ditimbulkan oleh tindakan deforestasi ini, kita harus bisa melakukan tindakan yang memiliki output untuk menyadarkan orang-orang di sekitar kita berkaitan dengan hal tersebut.

Langkah-langkah yang bisa kita lakukan secara personal adalah dengan melakukan campaign baik secara langsung kepada masyarakat atau menggunakan media sosial, artinya ketika kita menggunakan media sosial kita telah memanfaatkan era digitalisasi sebagai media untuk dapat membuat perubahan untuk kehidupan kita dan orang-orang di sekitar kita.