Karier puncak seorang dosen adalah menjadi Professor atau Guru Besar pada bidang ilmu yang ditekuni. Pada saat dikukuhkan sebagai Professor atau Guru Besar maka seorang dosen dianggap sebagai ahli di bidang tertentu. Menjadi Profesor atau Guru Besar adalah harapan bagi seorang dosen atau pengajar di perguruan tinggi sehingga mereka berusaha untuk mencapai jabatan akademik tersebut.

 Jabatan akademik guru besar bagi seorang dosen adalah untuk menghargai hasil karya ilmiah mereka yang memberikan kontribusi langsung kepada masalah-masalah masyarakat. Kemampuan seorang guru besar dalam menghasilkan karya ilmiah adalah merupakan kewajiban yang melekat dalam jabatan akademiknya. Seorang guru besar tidak hanya hebat dari sisi akademik saja, melainkan juga mempunyai moralitas yang lurus.

Sistem pendidikan nasional Indonesia mengacu kepada Inggris dan Belanda terkait dengan kepangkatan akademik bagi pengajar perguruan tinggi. Ada empat tingkatan jabatan akademik yang dikenal dengan jabatan fungsional dalam jenjang pangkat seorang dosen, yaitu asisten ahli (golongan IIIA dan IIIB), lector (golongan IIIC dan IIID), lector kepala (IVA ) dan guru besar (diatas IVA). Jabatan Guru Besar inilah yang sering disebut dengan Profesor. Analoginya dalam kepangkatan militer, profesor adalah jenderal, sehingga untuk mendapatkannya harus melalui jenjang kepangkatan lebih rendah mulai dari Letnan, Kapten, Mayor, Letkol,  Kolonel dan seterusnya. Lain halnya dengan system Amerika Serikat di negara tersebut professor bukanlah jabatan akademik melainkan nama profesi. Artinya pengajar perguruan tinggi (dosen) apapun kepangkatan akademiknya disebut dengan professor. Untuk meraih jabatan Guru Besar seorang dosen harus mengumpulkan angka kredit dengan jumlah antara 850 sampai dengan 1000 poin yang ia kumpulkan sejak menjadi asisten ahli. Dalam proses ini, yang menjadi sumber angka kredit adalah karya ilmiah yang dihasilkan termasuk di dalamnya menyusun karya ilmiah. Idealnya seorang dosen dan akademisi melakukan proses ini secara jujur, namun kasus plagiasi yang dilakukan guru besar dan calon guru besar ini adalah puncak gunung es dari fenomena plagiarisme dalam pendidikan tinggi kita.  

Esensi Menjadi Intelektual

Penulis terkemuka Lebanon, Almarhum Edward W Said dalam bukunya Representations of Intellectual (1993) menyatakan tugas utama seorang intelektual adalah mengatakan hal yang benar. Intelektual adalah pencipta sebuah bahasa yang benar kepada yang berkuasa. Seorang Guru Besar adalah intelektual, artinya ia juga mempunyai tugas menyampaikan kebenaran. Pertanyaannya bagaimana seorang intelektual menyatakan kebenaran. Seorang intelektual menyatakan kebenaran dengan menggunakan metode ilmiah. Tahapan dalam metode ilmiah, yaitu pemahaman terhadap masalah, menyelidiki masalah, mengusulkan sebuah solusi, menguji usulan tersebut dan menyelesaikan masalah.

Masyarakat mengharapkan intelektual atau ilmuwan (termasuk Profesor) membantu memecahkan masalah sehari-hari yang dialami. Pemecahan masalah yang dilakukan intelektual adalah dengan penelitian. Hasil akhir sebuah penelitian adalah kejelasan dan solusi sebuah masalah. Solusi itu bisa berupa langkah-langkah praktis mengatasi masalah, alat atau benda untuk mengatasi masalah dan bahkan teori untuk menjelaskan masalah yang dihadapi masyarakat. Dosen mempunyai kewajiban untuk meneliti dan menulis karya ilmiah karena hal ini merupakan salah satu bagian dari Tri Dharma Perguruan Tinggi. Penghargaan (non-finansial) bagi dosen dalam melakukan penelitian sudah jelas aturannya, yaitu dengan tambahan angka kredit untuk kenaikan pengkat sampai dengan Guru Besar

Pertanyaanya kemudian, adalah bagaimana proses penelitian dan penulisan ilmiah itu dilakukan? Dan bagaimana sumbangan mereka terhadap kehidupan masyarakat? Sebagian besar dosen yang mendapat penghargaan sebagai Profesor itu memang peneliti yang mempunyai dedikasi tinggi terhadap pekerjaannya dan sumbangan hasil penelitian mereka terhadap masyarakat juga dirasakan langsung oleh masyarakat. Namun ada juga yang menempuh jalan pintas yaitu menggunakan karya ilmiah anak didiknya sebagai karyanya sendiri tanpa menuliskan nama anak didiknya sebagai penulis karya ilmiah tersebut atau bahkan meminta orang lain atau rekan dosen untuk menyusun karya ilmiah bagi mereka dengan imbalan tertentu. Praktek-praktek seperti ini menjadi sisi gelap dari dunia akademik di Indonesia dan bahkan dalam beberapa kasus sempat mengemuka dan menjadi polemik di tengah masyarakat. Tentu saja, bila kemudian hal ini terbukti ada konsekuensi hukum bagi pelakunya.

Intelektual Palsu

Penulis ingat beberapa tahun lalu pernah mendapatkan surat elektronik dari sebuah surat kabar terkemuka yang mengkonfirmasi tuduhan plagiasi yang disampaikan oleh seorang pembaca surat kabar tersebut. Ironisnya dalam surat pembaca itu si pengirim menyatakan dirinya sebagai bekas mahasiswa penulis. Dalam proses kelanjutanya penulis menyampaikan kepada redaksi tentang bukti-bukti otentisitas tulisan penulis. Tuduhan sebagai plagiator bagi para akademisi yang mempunyai kepedulian tentang dampak karya ilmiah sungguh menyakitkan, namun penulis sekarang menyadari bahwa fenomena itu ada dan bisa jadi marak dilakukan para akademisi lain.

Negara ini sedang menghadapi ribuan masalah dan para intelektual diharapkan menjadi pihak yang memberikan sumbangan dalam mengatasi ribuan masalah tersebut. Pada saat intelektual di negeri ini tidak merasa bersalah atau bahkan sampai sekarang masih melakukan tindakan plagiarisme, maka bisa jadi rakyat Indonesia sedang berharap pada sekelompok intelektual palsu yang hanya mementingkan dirinya sendiri.