Seseorang yang sejak kelahirannya sudah disuguhi segudang tekhnologi dan pada masa ia beranjak remaja tekhnologi tersebut menjadi bagian dari kehidupannya, di kenal dengan sebutan digital natives. Atau lebih sederhana lagi orang yang hidup diera tekhnologi dan digital. Atau, apabila dimajaskan secara hiperbola adalah orang yang tidak bisa hidup tanpa tekhnologi karna sejak ia lahir, tekhnologi sudah menyambutnya kemudian perlahan menjadi sebuah kebiasaan.
Salah satu jurnal yang penulis jadikan sebagai acuan dalam merangkai kalimat – kalimat ini berpendapat bahwa generasi digital natives sudah terkondisikan dengan lingkungan seperti itu dan mengganggap teknologi digital sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupannya.
Seorang penulis dan konsultan pendidikan bernama Marc Prensky, yang juga pencipta istilah digital natives yang kemudian mendunia ini berpendapat bahwa tekhnologi telah mengubah pola dan cara berpikir siswa dalam memproses informasi.
Sehingga karenanya, siswa menjadi kesulitan apabila menggunakan metode belajar yang terbilang lawas. Penyebabnya, karena sejak siswa – siswa ini terlahir, ia sudah menyandang status sebagai digital natives atau penduduk digital sehingga mereka sangat erat kaitannya dengan tekhnologi.
Tekhnologi bagi digital natives merupakan suatu alat/perangkat/keadaan yang mutlak harus ada di kehidupan mereka. Sedangkan orang-orang yang tidak lahir pada masa digital dan turut mengadopsi tekhnologi tersebut sebagai bagian dari kehidupan mereka di kenal dengan sebutan digital immigrant, istilah ini juga dikemukakan oleh Marc Prensky mengenai orang – orang yang hidup pada masa sebelum tahun 1990 namun turut campur dalam dunia digital.
Contoh yang paling sederhana adalah orangtua dari para digital natives yang diusia senjanya mulai menggunakan aplikasi facebook. Atau seorang ibu rumah tangga yang beralih dari mencuci pakaian secara manual kemudian menggunakan mesin cuci.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh pencipta salah satu jurnal yang penulis jadikan panutan dalam membuat review ini, orang – orang yang tidak lahir diera digital atau dengan kata lain bukan bagian dari digital natives baru mulai menggunakan computer diusia setelah 17 tahun. Artinya, keadaan ini sangat jauh berbeda apabila diselaraskan dengan para digital natives atau penduduk digital yang sudah mulai menggunakan tekhnologi diusia balita.
Salah satu dampak positive yang tercipta oleh keberadaan era digital natives menurut Gaith (2010) adalah gaya belajar mereka (siswa) yang terbiasa serba cepat, menciptakan koneksi secara acak, memproes informasi visual dan informasi yang didapatkan kemungkinan lebih akurat.
Artinya, kehadiran era digital, memudahkan siswa dalam mendapatkan informasi yang akurat dan cepat jika dibandingkan dengan zaman dahulu dimana siswa mengalami kesulitan dalam memproleh informasi.
Namun hari ini, kesulitan itu sudah sangat minim eksistensinya. Siswa tidak perlu mendatangi semua perpustakaan untuk mendapatkan informasi yang mereka butuhkan.
The OCLC Report College Student’s Perceptions of Libraries and Information Resources, mengemukakan bahwa ternyata 89 persen lebih menyukai akses format elektronik serta 53 persen lebih mempercayai informasi yang diperoleh melalui mesin pencari dibanding mencari informasi ke perpustakaan.
Padahal, seharusnya, masyarakat bersikap skeptic atas semua informasi yang didapatkan karna selain menawarkan informasi dengan cepat, dunia digital juga penuh dengan kepalsuan (hoax) masyarakat harus memiliki kemampuan untuk menyaring berita apa saja yang kemudian akan dijadikan acuan.
Ini adalah bukti nyata dunia kita sedang beralih ke era transformasi digital menyeluruh. Dimana masyarakat sudah menaruh kepercayaan pernuh kepada tekhnologi informasi bahkan bergantung padanya.
Namun, bukan berarti masyarakat tidak lagi mempercayai koran dan media cetak lainnya. Hanya saja mereka juga tidak meragukan kebenaran berita yang tersebar luas dijejaring media sosial.
Ini sekaligus merujuk kepada karakteristik digital natives yang ingin mengakses dan mendapatkan informasi secara cepat dan akurat dimana saja dan kapan saja atau dalam artian tidak terbatas ruang dan waktu.
dari mana saja sehingga kita tidak salah dalam mengambil langkah dan keputusan, namun tetap diiringi dengan penyaringan yang ketat, artinya, masyarakat tidak main ambil informasi tanpa memperdulikan keaslian dan keakuratannya.
Literasi informasi atau melek informasi menjadi salah satu kemampuan yang sangat bermanfaat apabila dipergunakan dengan sebenar – benarnya. Kemampuan literasi informasi juga memiliki peran yang sangat penting dalam era ekonomi pengetahuan.
Semakin kita terampil dalam mencari, menemukan, dan mengevaluasi dan menggunakan informasi, maka kesempatan untuk selalu melakukan pembelajaran semakin terbuka. Selain itu, literasi informasi juga mengantarkan kita kepada pengetahuan – pengetahuan baru seiring seringnya kita dalam mengakses informasi tersebut. Ketidaktahuan kita akan beralih kesebuah pengetahuan baru yang akan sangat berguna dimasa mendatang.
Sayangnya, tidak semua informasi yang kita dapatkan didunia digital kesahihannya (validity) dapat dipertanggungjawabkan. Sebagian data yang tersebar didunia ini cenderung palsu (hoax).
Berbeda dengan informasi yang kita dapatkan dari perpustakaan yang memiliki kredibilitas, keasliannya terjamin, dan kebenarannya tidak diragukan lagi, informasi yang kita dapatkan didunia digital sangat bertolak belakang, artinya sangat tidak terjamin.
Untuk mencegah kita dalam mengakses data yang salah, literasi informasi atau melek informasi sangat diperlukan. keberliterasian ini membantu kita untuk mengetahui, memprediksi, mengevaluasi data - data yang sekiranya tidak benar dan untuk mecegah kita dalam mengakses data yang salah.
Untuk menghindari terjadinya pengambilan informasi yang salah, masyarakat sebaiknya mengakses informasi hanya melalui saluran media yang memang sudah bisa dipastikan keasliannya. Misalnya, masyarakat mengakses berita melalui saluran seperti detik.com, tribun news, cnn Indonesia, dan lain – lain. Hindari pengaksesan berita melalui saluran abal – abal yang eksistensinya masih dipertanyakan.
Deleo et al. (2009) mengemukakan kendala literasi informasi yang biasa muncul dari mahasiswa karena pengetahuan literasi informasi dari pembelajar dewasa sangat bervariasi, keterbasan pengetahuan komputer pembelajar dewasa sering kali menimbulkan keraguan secara teknologi, saat ini kapabilitas teknologi mensyaratkan untuk melakukan riset kepustakaan, dan perbedaan dan inkonsisten kerap kali muncul.