Ada gerakan baru dalam tradisi ilmu tafsir atau interpretasi (hermeneutika), namanya post-hermeneutika. Dalam post-hermeneutika, yang diusahakan dalam mengungkap makna-makna, atau hakikat yang terinderai oleh manusia dengan tidak hanya menitik beratkan pada interpretasi terhadap teks atau fenomena, akan tetapi lebih dari itu, paradigma ini berusaha mengupas secara mendalam usaha dan metode interpretasi yang selama ini telah dilakukan.

Jika dalam perkembangannya, tradisi  hermeneutika terbagi menjadi dua kutub dominan, yakni hermeneutika eksistensialis dan dekonstruksi, maka gerakan ini dapat di katakan sebagai post-eksistensialis sekaligus post-dekonstruksi.

Post Hermeneutika ini menitik beratkan pada usaha melakukan interpretasi terhadap interpretasi. Ada beberapa hal yang dijadikan sebagai basis metode dalam melakukan usaha interpretasi itu sendiri, seperti: pertama, interpretasi faktual terhadap interpretasi tekstual.

Kedua interpretassi tekstual terhadap interpretasi faktual (penyangkalan), ketiga, interpretasi tekstual terhadap interpretasi tekstual, dan terakhir interpretasi faktual terhadap interpretasi faktual. Semua metode ini dinamakan sebagai metode post-hermeneutika.

Metoda yang dijadikan basis landasannya berangkat dari basis epistemologi yang filosofis namun tidak meninggalkan aspek-aspek fenomena. Abstraksi yang dilakukan dalam post-heremeneutika pun tidak berangkat dari pemahaman umum yang berhenti pada pencarian makna-makna simbolik, tetapi juga makna hakiki.

Bahkan, melampaui itu semua, bahwa metode ini ingin mengungkapkan bahwa kenyataan yang tampak secara simbolik maupun yang terkesankan sebagai nomena adalah sejatinya sesuatu yang masih bersifat simbolik pula.

***

Fenomena simbolik yang selama ini dipahami mesti di maknai sebagai suata kenyataan yang substansial yang lahir dari nomena yang subtansial. Artinya, metode ini berusaha menegasikan pandangan lama, bahwa interpretasi yang di lakukan selama ini hanya berhenti pada ruang lingkup mens-rea kerja alam semesta, atau juga manusia yang di ekspresikan dengan beragam simbolik yang terpahami.

Martin Heidegger dalam “Being and Time” (German Sein und Zeit, 1927), ia mempertanyakan makna dari ada: apa maknanya bila sesuatu entitas dikatakan ada? Pertanyaan ini adalah satu pertanyaan mendasar dalam cakupan wilayah ontologi. Dalam pendekatannya, Heidegger terpisah dari tradisi Aristotelian dan Kantian yang mendekati pertanyaan itu dari sudut pandang logika. Secara implisit mereka mengatakan bahwa pengetahuan teoretis mewakili relasi mendasar antara individu dan ada di dunia sekitarnya (mencakup juga dirinya sendiri).

Heidegger menolak tesis ini dengan mengawali pendekatannya dari fenomena keterlibatan yang disebutnya sebagai sorge. Perilaku manusia adalah sebuah keterlibatan secara aktif dengan objek keseharian di sekelilingnya. Dia bukan seorang pengamat pasif yang mengambil jarak dari dunianya. Pendapatnya ini sekaligus sebuah kritik bagi pemikiran Cartesian yang mengagungkan “aku” sebagai objek berpikir murni yang terpisah dari dunianya.

Heidegger mengritik pernyataan terkenal Descartes “aku berpikir maka aku ada” yang menurutnya terlalu menekankan pada aku berpikir dan lupa bahwa seharusnya aku ada terlebih dahulu barulah kemudian aku bisa berpikir. Fakta mendasar dari eksistensi manusia adalah bahwa kita telah ‘ada di dalam dunia’. Dunia adalah karakter dari ada di dalam dunia, yang selanjutnya disebut dengan das sein.

Heidegger juga menolak secara tegas kategori subjek-ojek yang kerap dikenakan oleh filsuf pasca Descartes. Sesuatu bermakna bagi kita hanya dalam penggunaannya pada konteks tertentu yang telah ditetapkan oleh norma sosial.

Berbeda dari Heidegger yang menitik beratkan pada pertanyaan soal ada, Wilhem Dilthey menitik beratkan pada persoalan ‘Undestanding’ atau Verstehen. Proyek utamanya dalam hermeneutika adalah untuk memformulasikan suatu metodologi unik dalam Geisteswissenschaften (human science) mengingat ia mempercayai bahwa metode Naturwissenscaften (nature science) tidak tepat bagi human science.

Adakalanya Geistenwissenscaften juga menggunakan objek Naturwissenschaften, tetapi konteks hubungannya berlainan. Dilthey melihat bahwa verstehen (understanding) adalah metode bagi human science di mana eklären (explanation) merupakan metode bagi nature science.

Dengan eklaren, manusia mampu menggunakan proses murni intelektual. Sedangkan dengan verstehen, manusia menggunakan kerja sama seluruh kemampuan mind dalam kegiatan mengerti. Dilthey merupakan filsuf yang penting dalam pembahasan hermeneutika mengingat analisisnya tentang pemahaman menggabungkan beberapa elemen dari hermeneutika Schleirmacher dan teorinya mengenai pengaruh verstehen berkembang lebih lanjut pada hermeneutika Heidegger.

Teori Dilthey mengenai understanding bahkan telah mempengaruhi teori hermeneutika milik Heidegger dan Gadamer. Walaupun demikian, Dilthey jarang menggunakan kata hermeneutika pada tulisannya yang membahas human science. Dilthey mengartikan hermeneutika sebagai teori aturan dalam menginterpretasikan karya tulis.

Tujuan utama dari hermeneutika telah menetapkan kesadaran Dithey atas hermeneutika dalam pengertian teori filsafat yang luas yang menjustifikasi validitas universal dalam interpretasi historis. Dalam hal ini, hermeneutika dapat berhubungan dengan teori Dilthey mengenai verstehen.

Bagi Dilthey, manusia tidak sama dengan objek fisik karena mereka memiliki inner mental, atau dengan kata lain sisi yang bersifat mental. Manusia tidak dapat meneliti kehidupan batin orang lain secara langsung, melainkan mereka harus membangun akses dengan manifestation of life. Pemahaman metodologis adalah proses dari akses yang dibangun dan usaha untuk memahami manifestation of life orang lain. Mengingat bahasa adalah ekspresi paling lengkap dari kehidupan batin seseorang, maka hermeneutika dinilai sebagai suatu pemahaman interpretatif dari model ekspresi linguistik atas proses utama dalam memahami human science.

Dilthey memformulasikan metodologi dasar untuk human science yang mengakui kekhasan sifat dari verstehen. Ia tidak berpendapat bahwa eklaren yang digunakan pada nature science dapat digunakan juga untuk human science. Hal ini dikarenakan objek dari human science secara esensial merupakan kesadaran manusia. Walaupun demikian, human science membutuhkan dasar empiris seperti nature science untuk mendapatkan hasil yang diperlukan.

Wissenschaft (science) merupakan bahasa Jerman yang berarti badan pengetahuan yang dibenarkan dan dibangun secara sistematis. Di mana hermeneutika sebagai sebuah science memiliki arti badan pengetahuan yang dibenarkan dan dibangun secara sistematis berhubungan dengan seni menginterpretasi karya tulis mengenai eksistensi manusia, di mana mind dan spirit melengkapi interpretasi mengenainya.

Hermeneutika menjustifikasi validitas universal pada interpretasi historis. Karenanya, merupakan tugas hermeneutika juga untuk menjelaskan hubungan tugasnya dengan tugas epistemologi dalam menunjukan bahwa mengetahui perhubungan dunia sejarah dan menemukan sarana untuk mewujudkannya adalah hal yang dapat dilakukan. Walaupun Dilthey kebanyakan masih menghubungkan hermeneutika dengan fungsinya pada karya tulis, hermeneutika masih bisa dihubungkan sebagai model dari semua bentuk pemahaman pada mind dan spirit.

Sementara berbeda dari kedua pendahulunya, Paul Ricoeur berusaha menafsirkan yang dilakukan manusia dengan kemampuannya untuk menerobos jarak budaya di mana seseorang akan sampai pada konteks historis sesuatu yang ditafsirnya. Proses menerobos itu memakai pendekatan bahasa dengan metode fenomenologi. Hermeneutika Ricoeur menyangkut teori-teori tentang manusia dan Tuhan dalam pendekatan strukturalisme, Psikoanalis, fenomenologi, Simbol, agama dan iman.

Baca Juga: Apa Makna Hidup

Hermeneutika menurut Ricoeur berfungsi untuk mengadakan pemahaman tentang “yang lain” – dan dari tanda-tanda yang diperoleh dari berbagai budaya – bertepatan dengan pengertian dari dirinya dan keberadaannya. Di sini hermeneutika harus menyadari keterbatasan manusia dalam menafsirkan sesuatu sehingga dia akan menghormati hasil tafsirnya.

Hasil tafsir itu disebut “tanda-tanda” dan diikutinya untuk memperoleh arah kehidupannya. Salah satu hasil tanda itu adalah simbol yang di dalamnya terdapat karya seni, sastra yang merupakan hasil usaha manusia untuk mencari kemungkinan-kemungkinannya, memanifestasikan “universalitas abstrak gagasan kemanusiaan melalui universalitas konkretnya”.

Hermeneutika selalu mengimplikasikan suatu momen reflektif atau momen eksistensial, yaitu pemahaman diri secara implisit dan eksplisit. Hermenetutika adalah tafsir tentang “aku”, “aku” yang dibentuk oleh hubungan dengan Ada (bisa dikatakan Tuhan bagi orang beragama).

Artinya, aku atau eksistensi yang lain yang terpahami oleh kita sejatinya hanyalan fenomena simbolik yang masig perlu usaha mengungkapkannya. Oleh karena itu kita sering juga mendengar bahwa Ricoeur menitik beratkan pada penafsiran simbolik.

Simbolisme menurut Paul Ricouer dapat dilihat dari kutipan:

Semua simbol... berbicara dari situasi dari keberadaan manusia di dalam keberadaannya di dunia. Tugasnya, kemudian adalah memulai dari simbol itu dan mengelaborasi eksistensialis konsepnya”.

Sombolisme adalah hasil pemikiran Rocoeur dalam hal fenomenologi. Hal ini berbicara problem kejahatan yang dicari dari kegiatan hermeneutika. Dalam esai tiga volume yang berjudul “Filsafat dan Kehendak”, Tahun 1980. Dan juga dalam bukunya tentang “Esai Alkitab dan Tafsir”, dia berbicara tentang perbedaan cara dalam teks-teks religius menunjuk pada Allah yang tersembunyi. Dia ingin mendemonstrasikan seberapa berbeda posisi tetang keduanya, “lebih dari” atau “kurang dari” pada simbol dan yang disimbolkannya.

Dalam pemikiran Ricouer tentang hubungan manusia dan Tuhan, dia mengajak manusia untuk membangun suatu antropologi filosofis melalui penggalian makna bahasa sebagai manusia Ia berpendapat, “Saya bertaruh bahwa saya akan mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai manusia dan ikatan antara ada manusia dan ada dari segala pengada, bila aku mengikuti petunjuk pemikiran simbolik.” Dengan ini, Ricoeur bertolak dari pemikiran tentang manusia seperti pemikir-pemikir lainnya.

Dalam masyarakat kontemporer, dia mencari sumber makna selain yang dikonstruksi oleh manusia sendiri, atau sumber yang terberikan oleh manusia sendiri yaitu bahasa mistik-simbolik. Dia menolak pemutlakan bahasa dalam kategori-kategori dan ucapan tunggalnya, sebab jika hal ini dilakukan, maka itu hanya akan mereduksi kekayaan bahasa itu menjadi kosong secara mutlak.

Simbolisme yang baik akan bisa dimaknai dengan pemikiran yang bukan hanya rasional, melainkan juga meditatif atau perenungan, jika perenungan itu hilang maka dia bukan simbol lagi. Simbol memberikan makna kepada kita jika kita memikirkannya dan menafsirkannya.

Simbol memiliki intensionalitas ganda:

1.Simbol yang dibangun dengan intensinalitas harafiah dengan makna yang disepakati.

2.Simbol yang dibangun di atas intensionalitas harafiah tadi.

Ada juga Hans Georg Gadamer. Usaha seriusnya dalam hermeneutika seperti dijelaskan dalam bukunya “Truth and Method”, adalah menguraikan konsep “hermeneutika filosofis”, yang dimulai oleh Heidegger namun tak pernah dibahasnya secara panjang lebar. Tujuan Gadamer adalah mengungkapkan hakikat pemahaman manusia.

Dalam bukunya, Gadamer berargumen bahwa “kebenaran” dan “metode” saling bertentangan. Ia bersikap kritis terhadap kedua pendekatan terhadap humaniora (Geisteswissenschaften). Di satu pihak, ia kritis terhadap pendekatan-pendekatan modern terhadap humaniora yang mengikuti model ilmu-ilmu alam (dan dengan demikian menggunakan metode-metode ilmiah yang ketat).

Di pihak lain, ia mempersoalkan pendekatan tradisional dalam humaniora, yang muncul dari Wilhelm Dilthey, yang percaya bahwa penafsiran yang tepat tentang teks berarti mengungkapkan niat asli si pengarang yang menuliskannya. Lalu muncul pertanyaan, bagaimana kita dapat memahami niat asli pengarang jika tidak melalui apa yang ia sendiri kemukakan.

Sementara niat yang terkemukakan sangat terbuka ruang untuk di tafsirkan. Apalagi, bisa jadi setiap bahasa yang terungkapkan tidak secara menyeluruh mewakili niat sang pengarang. Artinya, berusaha memahami dan apalagi mengklaim niat dari sang pengarang secara utuh dan mutlak adalah satu kesia-siaan.

Nah, Post-Hermenetuika, atau juga Post-Dekonstruksi sedang melampaui atau bahkan meninggalkan metodologi-metodoli pemikir sebelumnya yang di anggap tidak dapat memuaskan pencarian nomena di balik nomena. Karena jika fenomena adalah yang tampak, dan yang tampak dapat terpahami, maka setiap nomena itu sendiri adalah fenomena itu sendiri, karena dapat di ketahui dan di pahami. Postulat ini dapat kita pahami terhadap semua eksistensi termasuk Tuhan, Alam, dan Manusia.

Untuk penjelasan lebih jauh, saya akan membahasnya secara mendalam pada tulisan berikutnya dengan mengupas mengenai pandangan Jaques Derrida terlebih dahulu, yang dianggap sebagai pemikir terakhir dalam tradisi Hermeneutika eropa yang mengajukan dekonstruksi sebagai basis dalam memahami realitas.

Bersambung...