Hatiku benar-benar terasa kosong, tenggelam jauh dalam bayang-bayang absurd tak bermakna.  Entah! Apakah ini hanya pikiran saja, atau ada yang salah dengan diriku sehingga hatiku bergejolak, bukan karena sebuah impuls-impuls positif, tapi suatu kondisi serba  “membingungkan”.

Apakah setiap insan, (pernah) merasakan hal sama dengan diriku? Ataukah aku sengaja diciptakan Tuhan sebagai makhluk penuh “angan”? Tanya saja pada-Nya karena suara-suara yang bersembunyi dalam bilik terdalam ini tak  luput dari perhatian maha kuasa, jawabku.

Sudah hampir pukul 1:30 pagi mataku belum juga  terpejam, gerak jarum jam dinding dan cahaya lampu luar kamar menembus celah-celah kaca  dan gorden jendela tepat di samping tempatku berbaring. Pikiranku semakin tak karuan dan tanpa arah,  riuh suara-suara bisikan dalam diri, membisikkan beribu pertanyaan yang tak sanggup rasanya untuk dijawab. Pertanyaan substansial hingga profan pun terlontar. Memang aku menyadari bisikan mengganggu ini adalah bagian dari entitas diriku yang bersatu dengan materi dan nilai spiritual yang kadang-kadang kontradiktif. Apa kebermaknaan hidup itu, imbauku dalam hati?

Aku mulai meraba-raba, membuka alam pikir yang telah tersimpan dalam kotak yang bercampur dengan memoar-memoar gelap-terang masa lalu, dari ego ini membisik, “harta, tahta dan wanita” itulah seharusnya hidup! sementara bisikan lain “cukup ibadah saja” hidupmu akan bermakna.  

Mana jalan yang akan aku patuhi, realitas memang berkata lain lirihku. Toh juga banyak orang mencapai derajat hartawan, terpandang terpenuhi kebutuhan fisiologis namun tetap saja banyak dari tipe orang seperti ini berakhir tragis. Hidupku tidak akan mungkin cukup hanya ditujukan kepada Tuhan karena kehidupan modern dan kapitalisme mendorong manusia itu bermetamorfosa sebagai robot yang digerakkan dan dikendalikan oleh hantu “materialisme” initinya tanpa materi kamu tidak bisa hidup, mikir-mikir Fachri dalam diri menyebut namaku.

****

Alih-alih ingin menenangkan “kegelisahan” dalam diri, akupun meranjak dari tempat pembaringan membuka pintu rumah bagian depan, bersandar di kursi kayu sembari ditemani suara-suara jangkrik dari kejauhan dan sesekali hembusan angin lembut menyapa dan kurasakan ketenangan sesaat. Aku alihkan pandangan ke arah langit, nampak deretan bintang-bintang yang diselimuti awan tipis.

Memperhatikan bentang cakrawala tanpa batas, hatiku yang riuh pelan mulai terdiam kembali pada titik normal. Tak terasa keluar dari mulut ini ucapan “masyaallah” begitu nan-indah dan maha luas ciptaan Tuhan itu, tercipta dengan peran dan tugas yang saling melengkapi, bulan dengan pancaran sinar, taburan bintang dan deretan awan membentuk harmonisasi tiada tanding.

Aku berpikir, umur memang terbatas, tapi nilai kehidupan sama luasnya dengan cakrawala, tidak bisa diukur seberapa luas dan seberapa jauh batasannya, yang ku ketahui bahwa  kehidupan telah memupuk dan mandewasakan sebuah entitas yang bernama manusia. Teringat pada dua tahun lalu, ketika perjalanan bisnis yang dirintis  sejak masa-masa kuliah berada pada puncaknya.

Segala keinginan bisa terpenuhi dengan mudah, dengan penghasilan itu aku bisa membeli mobil, rumah dan membahagiakan keluarga. Namun, kini semua kegemilangan dan kebahagiaan sirna begitu saja, hilang tanpa bekas, hingga hidup ini memaksaku untuk tinggal di rumah ibu dan bapak di desa. Sungguh sangat perih dan sakit rasanya ketika diriku terlempar dan tenggelam ke dalam lubang gelap tanpa secercah harapan dan cahaya ini.

Tuhan...Tuhan apa sebenarnya salah diriku ini? pintaku.

Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, dimulai dari mana lagi kaki akan berpijak. Aku sudah berada pada ujung perjalanan  dihalangi oleh dinding besar dan tak sanggup lagi untuk dilewati.

Aku menghela napas, memejamkan mata dan terus memanggil nama “Tuhan-Tuhan” yang masih bersembunyi dibalik cakrawala. Tuhan!!! bisakah kita bertatap, berbicara  denganmu, mendengarkan keluh kesah dari hambamu yang hina ini. tak terasa, air mata  menetes bersama dengan kesedihan yang terlarut amat dalam.

****

Tiba-tiba dari dalam ruangan terdengar langkah kaki menuju tempat dudukku, bergegas aku membantu bapak yang sudah tua renta untuk duduk disampingku.

Apa yang sedang kamu pikirkan nak? tanyanya.

Tidak ada pak, hanya mencari angin dan  suasana nyaman saja sahutku!

Wajah keriput, rambut dan janggut yang sudah memutih itu lalu kemudian memandangiku dengan tatapan tajam.

Melihat wajahnya mataku berkaca-kaca, “Pak rasanya aku belum mampu membahagiakanmu sepenuhnya, lihat keadaan anakmu sekarang sudah tidak punya apa-apa lagi”.

Ia pun, menghela napas, dan berkata “ayahmu yang tua renta ini tidak pernah mengharapkan belas kasih sedikitpun, yang diharapan dari orang tua renta sepertiku adalah doamu nak!

****

Ingatlah Nak,  hidup ini bagaikan sebuah roda, kadang-kadang kamu berada pada posisi paling tinggi, dan ada saat-saat Tuhan mengujimu bahkan menjatuhkanmu. Maka, kuatkanlah dirimu seperti batu karang, yang tak lekang dengan hempasan ombak. Hidup memang sudah dirancang sebagai ujian, kekayaan adalah ujian, kemelaratan adalah ujian.

Dengan kekayaan akan mengajarkanmu tentang makna “syukur dan berbagi” dan kemiskinan akan mengajarkanmu tentang kesabaran. Disaat kamu dipuncak kesuksesan maka bersyukurlah dan disaat kamu terjatuh bersabarlah begitulah cinta Tuhan kepada setiap makhluk.

Cinta-Nya tak dapat dipahami, perhatian dan peringatan-Nya tak dapat diukur, cara-Nya menempa dan mendidik adalah dari apa pelajaran penting yang kita petik dari setiap peristiwa dalam ruang kehidupan.

****

Penjelasanya, membuat hatiku bergetar, jantungku terpompa  dengan kencang, membangkitkan spirit dan menghilangkan sumbatan kebingungan dan awan gelap kesedihan dalam diriku.

Tak lama, dari kejauhah, suara azan mulai terdengar, menandai datangnya waktu subuh, kegaduhan alam pikiran terobati melalui perbincanganku dengan bapak pagi ini, Pak waktu subuh telah tiba, mari kita sholat.