Tidak dapat dipungkiri, dakwah sudah merubah wajah Indonesia. Salah satu buktinya, banyak nama pada kelahiran tahun dua ribuan yang diambil dari sumber bahasa agama yang diyakini penganutnya, seperti bahasa Arab.

Contohnya nama Fathur, Nasrul, Hasna dan lainnya. Nama tersebut menunjukkan identitas Muslim. Namun bukan nama yang menjadi permasalahan yang akan saya bahas.

Pada era sekarang, dakwah muncul dengan fenomena-fenomena yang aneh. Yakni dakwah dengan mengusung format Islam yang berbeda. Dakwah digunakan sebagai instrumen untuk membenturkan Islam dan Negara.

Di era digital ini, dakwah agama menjadi amat populer. Dakwah menjadi topik yang sangat diminati masyarakat dengan mudahnya memencet tombol like, subscribe dan comment pada laman media sosial.

Dakwah menjadi sangat rawan ditumpangi demi popularitas hingga monetisasi dengan corak yang maskulin dan tidak toleran. Dakwah dalam rangka gagah-gagahan atau ekstrem sangat berpotensi untuk memecah belah umat dan menggiring kepada guncangnya stabilitas kedamaian umat. Hal ini tentu menjadi sebuah persoalan.

Lalu, adakah pandangan-pandangan dan rekomendasi terhadap persoalan ini?

Masyarakat termasuk pelaku dakwah harus disadarkan kepada pemahaman agama yang moderat dan santun. Menurut Prof. Didin Solahudin di dalam seminar virtual bertajuk "Dakwah Santun, Memperkuat Ketahanan dan Keamanan Bangsa", setidaknya ada tiga catatan mengapa dakwah harus moderat dan santun.

Pertama, dakwah yang ekstrem akan memicu stereotipe dan stigma buruk terhadap Islam dan umat Islam, bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan kekerasan dan pemaksaan sehingga umatnya adalah umat yang kaku dan tidak toleran.

Hal ini otomatis akan mencoreng dan menodai Islam. Keagungan Islam yang mengajarkan umatnya untuk menjadi agen penyebar kasih sayang (rahmatan lil alamin) akan tertutupi dengan cara dakwah tersebut.

Kedua, dakwah dengan santun bukan berarti dakwah yang lembek. Dakwah yang baik adalah dakwah yang fundamental, tanpa kekurangan ketegasan, tanpa kehilangan kedalaman, bukan basa-basi dan bukan lemah gemulai.

Dakwah yang santun memiliki ciri elegan berkeadaban, taat pada rambu moralitas, berbasis hikmah filosofis, adil berimbang dan disiplin pada koridor hospitalitas kemanusiaan.

Dakwah secara fundamental akan mengajarkan ajaran dasar Islam untuk menjauhkan diri dari segala bentuk tahayul, bid'ah dan khurafat. Dakwah juga tidak perlu banyak basa-basi karena ditakutkan inti yang akan disampaikan malah tidak sampai kepada pendengar.

Dalam konteks bernegara pun, dakwah sangat dibutuhkan. Para alim ulama termasuk para kiyai dan pakar, diwajibkan untuk mengkritisi kebijakan pemerintah yang dinilai tidak sesuai dengan rule agama dan kesepakatan bersama untuk keadilan rakyat.

Syeh Muhammad Al-Ghazali mengatakan bahwa banyak program dakwah yang ceritanya menyeru atas nama Islam, akan tetapi program-program itu sangat jauh dari spirit Islam dan sasaran obyektif Islam, sehingga dampaknya adalah penistaan terhadap Islam, ajaran dan langkah dakwahnya.

Selanjutnya, beliau mengatakan bahwa dakwah seharusnya bernafaskan spirit kemanusiaan universal, konsisten pada pancacita syari'at Islam, berparadigma konstruktif, mempromosikan wajah Islam yang agung dan menarik dan memuliakan citra dan reputasi Islam.

Ketiga, pelaku dakwah harus memiliki pemahaman agama yang baik, runtut dan keahlian dakwah yang memadai. Apabila tidak, sejumlah orang yang aktif berdakwah malah memperburuk citra agama Islam alih-alih berkontribusi positif.

Diantara mereka, ada da'i-da'i yang membungkus kekurangnnya dengan ketidaksantunan berupa kepongahan sambil merendahkan orang lain.

Adapun pendakwah yang santun akan memiliki integritas tinggi dalam menyampaikan dakwahnya.

 Salah satunya, pendakwah ini memiliki bashirah (mata hati) yang tajam dalam memahami dan memecahkan persoalan-persoalan yang ada dalam tubuh umat dengan hikmah dan ilmu.

Kemudian, dakwahnya akan sesuai dengan konteks sosial masyarakat saat ini, tidak kaku. Kita bisa melihat bagaimana Sunan Kalijaga berdakwah saat itu. Mungkin cara yang beliau gunakan sudah tidak relevan lagi untuk dipraktekkan di era millenial ini. Ya, bisa jadi, sehingga perlu adanya inovasi.

Selain itu, dakwah yang diusung akan normatif-tekstual. Artinya, inti dakwahnya adalah pencerahan kepada kebijaksanaan dan kebenaran sesuai tuntunan syari'at. Inilah integritas seorang da'i yang santun.

Said Bin Ali Al-Qahthany menyampaikan, ada tiga kapasitas menjadi da'i yang santun. Pertama yaitu, da'i harus memahami ilmu syar'i sebagai materi dakwah. Kedua, da'i peka dan mengerti akan kebutuhan dakwah saat ini. Ketiga, setelah mengerti akan kebutuhan dakwah, da'i harus mengerti strategi dakwah apa yang akan digunakan di masyarakat.

Apabila dilihat dari kacamata konstitusi, dakwah santun merupakan kewajiban yang harus dilakukan agar suasana bernegara tetap kondusif.

Hal ini karena keberadaan sebuah negara adalah sunnatulloh. Adanya Indonesia adalah berkat Rahmat Allah. Oleh sebab itu, negara ini harus dijaga ketahanan dan keamanannya sehingga mencapai tujuannya, mencapai maqosid syar'iyyah.

Selain itu, negara Indonesia adalah negara yang inklusif bangsanya, negara kesepakatan bersama dengan masyarakat nya yang plural dan majemuk. Maka, dakwah harus berada dalam koridor yang bersahabat sehingga yang dirasakan adalah Islam yang ramah.

Demikian tulisan singkat ini, masih banyak yang perlu dikoreksi. Wallahu a'lam bi showab.