Penyebaran virus Corona sudah makin meluas. Dan memang virus ini tidak pernah memandang siapa saja. Ia melampaui batas perbedaan, suku, agama, bahasa, budaya pun negara.
Ia tidak peduli kita ini orang miskin, pastor, pejabat ataupun siapa saja. Ia juga tidak peduli kita siap atau tidak dengan kedatangannya. Corona ya corona, ia seperti pencuri yang datang tengah malam, merenggut semua dari kita. Sadis dan ngeri.
Covid-19 seperti globalisasi yang sudah menembus batas geografis suatu negara, pun memengaruhi pola hidup kita dan gaya hidup kita. Covid-19 menghancurkan budaya dan kebiasaan kita.
Bahkan saat ini, di tengah kebijakan untuk menjaga jarak dan Isolasi, Covid-19 memaksa kita untuk membatalkan semua rencana yang sudah kita matangkan, ia menjarakkan kita bahkan mengasingkan diri kita dengan sahabat, pacar, keluarga serta kerabat kita.
Covid-19 membuat kita curiga dan takut untuk bersentuhan dengan orang lain.
tapi apakah dengan curiga dan takut, kita kemudian menjadi seorang paranoid. Paranoid (bahasa Yunani, paranoia, adalah gangguan mental yang diderita seseorang yang meyakini bahwa orang lain ingin membahayakan dirinya.
Paranoid lahir dari kecemasan atau ketakutan berlebihan secara tidak rasional dan timbul delusi, pengalaman jauh dari kenyataan yang sebenarnya, terhadap suatu di luar dirinya. bukan tidak mungkin, bahwa Covid-19 membidani lahirnya paranoid.
Alasannya, berita-berita di TV, media-media sosial setiap hari menampilkan bahaya Corona, kecemasan dan ketakutan diproduksi. Orang yang sudah takut menjadi takut berlebihan karena berita-berita yang muncul kurang menampilkan optimisme dan solusi terhadap publik.
Selain itu, berita kurangnya tenaga medis, kurangnya perlengkapan kesehatan, serta masih ada warga yang bandel berkeliaran di luar rumah tak pelak semakin memproduksi kepanikan massal yang kalau tidak di kontrol akan membantu kelahiran paranoid.
Ada banyak kisah pilu yang berseliweran di media sosial. Mulai dari semakin bertambahnya korban positif Corona di seluruh dunia, kematian dalam kesendirian tanpa keluarga pun tanpa acara penghormatan terakhir yang lazim kita lakukan, meninggalnya beberapa dokter dan perawat dalam usaha menangani pasien Covid-19, serta kisah para perawat dan para medis, yang menjadi garda terdepan menangani pasien Corona, di tengah kekurangan APD (Alat pelindung Diri) menjadi deretan berita yang tidak pernah absen hadir setiap hari dalam ruang media-media kita.
Membaca berita-berita seperti ini memunculkan respon variatif dalam diri kita, respons satunya adalah simpati dan iba, dan respon lainnya takut dan cemas.
Dari beberapa kisah dan berita ini, ada dua cerita yang kiranya menggugat nurani saya juga kita, yaitu berita tentang DPR kita yang minta diprioritaskan untuk melakukan cek Covid-19, dan berita lain tentang seorang pastor Italia yang merelakan Ventilator untuk pasien muda dalam penderitaan mereka menghadapi ancaman Covid-19 ini.
Dua kisah ini bertolak belakang, tapi mengamplifikasi pesan yang jelas kepada kita, bahwa ada manusia yang semakin serakah dan egois ketika bahaya muncul di depan mata, tapi ada manusia lain yang naluri kemanusiaan terang benderang ketika musibah mendekat.
Kita selalu punya kebebasan dan pilihan untuk menjadi manusia seperti apa? Menjadi semakin egois dan individual atau menjadi semakin berfungsi terhadap yang lain dengan berkorban merelakan kenyamanan diri demi sesama yang rentan dan lebih membutuhkan bantuan kita.
Kelakuan dan sikap anggota parlemen kita menguatkan preseden dan stigma buruk mereka di mata kita semua dan dunia. Mereka yang seharusnya menjadi wakil rakyat dan punya tanggung jawab moral menjaga, melindungi dan mengutamakan kepentingan rakyat, malahan melakukan tindakan yang melukai nurani publik.
Mereka memberikan pembelajaran berharga kepada kita, tentang sosok-sosok serakah yang selalu mau cari aman. Mereka merespons ketakutan yang diakibatkan Covid-19 dengan energi negatif yang menguatkan ketakutan dan mendorongnya melahirkan paranoid sosial ke dalam kehidupan kita. Asli miris dan sangat disesalkan.
Akan tetapi, saya toh terhibur dan ketakutan saya terhadap virus ini mereda, sebelumnya saya tergolong orang yang panik menghadapi virus ini, dengan cerita cinta dari Italia, dari seorang gembala yang baik yang mengorbankan nyawanya untuk orang lain.
Walau Covid-19 menebarkan teror yang begitu besar dan membidani lahirnya kepanikan dan ketakutan massal, akan tetapi, kita tokh dibantu untuk tetap berpikir positif dan melihat energi dari sikap positif itu dalam membidani lahirnya semangat cinta dan pengorbanan dalam diri Pastor Giuseppe Berardelli yang bertindak adil terhadap sesama memberikan ventilatornya kepada seorang anak muda yang lebih membutuhkan.
Pastor Berardelli menunjukkan kepada kita bahwa Covid-19 tidak harus membuat kita pesimis apalagi paranoid. Kita masih bisa berbuat baik dan mengarahkan diri untuk lebih berfungsi bagi sesama kita, meski Covid-19 memaksa kita untuk menjadi terasing dan menjauhkan diri kita dengan sesama.
Terima kasih P. G. Berardelli. RIP