Sejak wabah virus korona (COVID-19) diumumkan sebagai pendemi dan melanda Indonesia, masyarakat mendesak pemerintah untuk melakukan lockdown. Pemerintah pusat masih mempertimbangkan untuk melakukannya.
Banyak hal yang membuatnya harus dipertimbangkan secara matang, seperti kemungkinan melonjaknya harga kebutuhan pokok, kepanikan di masyarakat, dan juga ketidakcukupan cadangan devisa negara untuk menghidupi kebutuhan masyarakat selama lockdown itu terjadi.
Beberapa lembaga pemerintahan sudah membuat edaran terkait tidak melakukan kegiatan untuk mengumpulkan orang dalam jumlah banyak. Beberapa pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota pun sudah melakukannya.
Begitu juga dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Mendikbud juga meminta perguruan tinggi untuk hentikan kuliah tatap muka menjadi perkuliahan jarak jauh.
Perkuliahan jarak jauh bisa dilakukan melalui model perkuliahan online (e-learning). Beberapa perguruan tinggi sudah menerapkan model perkuliahan tersebut sejak beberapa tahun yang lalu. Hanya saja ada yang sudah menerapkan secara penuh, ada juga yang hanya beberapa persen saja.
Perguruan tinggi perlu mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk melakukan perkuliahan online. Biaya pembelian server yang tidak murah menjadi kendala terutama bagi perguruan tinggi swasta yang tidak memiliki modal cukup banyak. Perguruan tingi negeri pun mengalami masalah serupa.
Jauh sebelum wabah korona merebak, beberapa perguruan tinggi sudah menyiapkan skema perkuliahan online. Perkuliahan online awalnya digunakan untuk memperkaya pengetahuan mahasiswa melalui model belajar agar tidak monoton.
Dosen bisa melakukan perkuliahan di mana saja tanpa harus hadir di kelas. Bagi lembaga pendidikan, model pembelajaran seperti ini sangat menguntungkan karena menghemat biaya operasional yang harus dikeluarkan. Berbeda dengan perkuliahan tatap muka yang membutuhkan listrik dengan daya besar, alat tulis kantor, dan honor dosen.
Perkuliahan online juga mampu menyelamatkan jumlah rasio dosen dengan mahasiswa. Jika perkuliahan tatap muka rasio maksimum adalah 1:35 maka untuk perkuliahan online rasio maksimumnya 1:200. Perguruan tinggi bisa menghemat honor dosen sekitar 80%.
Karena yang seharusnya diampu oleh 6 dosen dapat diampu oleh 1 dosen saja. Itu sebabnya banyak perguruan tinggi yang berlomba-lomba membuat sistem perkuliahan jarak jauh.
Namun, perkuliahan model ini mengalami banyak kendala salah satunya biaya server yang mahal tadi. Itu sebabnya, hanya beberapa perguruan tinggi yang punya uang banyak saja yang mampu menjalankannya.
Beredarnya edaran dari Kementerian Pendidikan dan Pemerintah Daerah terkait pembelejaran jarak jauh membuat lembaga pendidikan mau tidak mau harus menggunakan model pembelajaran online tersebut. Siap tidak siap harus siap.
Perguruan tinggi yang sudah menerapkan semua mata kuliahnya untuk di-online-kan tentu hanya sedikit kewalahan; terutama masalah kapasitas akses. Maka dari itu perlu diatur jumlah pengaksesnya dalam sehari. Itu semua dilakukan agar server tidak jebol. Apabila jebol, maka bisa rugi milyaran karena harus membeli server baru lagi.
Perguruan tinggi yang belum menerapkan perkuliahan online akan lebih pusing. Membeli server dan membuat konten dalam waktu dekat sangat mustahil. Mereka bisa memanfaatkan media sosial untuk belajar. Belum lagi jumlah modul pembelajaran dan silabus untuk semua mata kuliah harus ada.
Itu baru masalah pembelajaran jarak jauh. Meliburkan peserta didik ke kampus selama 2 minggu bahkan ada yang 3 bulan pastinya akan membuat ujian pun harus di-online-kan. Ujian online pun akan melahirkan masalah. Kualitas instrumen soal ujian perlu diperhatikan.
Ujian takehome dengan ujian di kelas memiliki karakter yang berbeda. Tidak banyak pengajar yang memahami masalah ini. Ujian take home tidak lagi menanyakan pemahaman melainkan lebih kepada aplikasinya. Siapa yang akan mengoreksi soal-soal tersebut sebelum dibagikan kepada peserta didik?
Instrumen ujian harusnya mampu mengevaluasi hasil pembelajaran peserta didik. Untuk itu dosen perlu belajar bagaimana cara membuat soal ujian jarak jauh. Dosen tidak bisa memaksakan soalnya harus berupa analisis. Hal itu bisa membuat mahasiswa stress. Mahasiswa tidak hanya mengerjakan soal dari 1 dosen saja melainkan bisa 8 bahkan 9 dosen. Tergantung jumlah mata kuliah yang diambilnya.
Mahasiswa pun harus memahami makna pembelajaran jarak jauh. Belajar jarak jauh bukan berarti kampus libur. Hanya memindahkan aktivitas belajar-mengajar dari rumah masing-masing. Pengajar dan pserta didik memanfaatkan teknologi internet untuk media pembelajaran. Sesederhana itu. Namun, ini yang membuat masyarakat heboh. Hal itu karena tidak adanya study skill.
Kebiasaan sistem pendidikan di Indonesia yang satu arah membuatnya tidak siap jika dipaksakan online. Secara turun-temurun, peserta didik selalu diajarkan untuk mendengar, mencatat, dan menghafal. Bukan membaca, diskusi, dan memahami. Ini yang menjadi masalah bebearapa hari ini. Peserta didik stress karena server down dan belum lagi tugas yang banyak.
Dosen perlu menyiapkan silabus dan modul pembelajaran. Mahasiswa diminta membacanya. Dosen membuat forum diskusi online untuk membantu pemahaman peserta didik. Kemudian, untuk mengukur pemahaman peserta didik, pendidik perlu memberikan tugas di rumah.
Singkatnya sesederhana itu. Apakah semua sekolah dan perguruan tinggi sudah memiliki modul pemebelajaran yang mencakup semua mata kuliah? Dosen harus kerja lembur menyiapkannya. Dosen pun harus menyiapkan media lain untuk mengantisipasi apabila server yang disediakan perguruan tinggi tidak siap menghadapi e-learning massal.