Bagaimana seharusnya
Bagaimana seharusnya
Ritus musim berjalan
Saat musik parau
Di tangan orang-orang kota
Mereka tak pandai bernyanyi
Sebaiknya mereka adalah anak-anak
Tapi angin tak mengabaikan
Selembar daun, perlahan merebak di sendang
Ia sendirian
Ia sendirian saja
Pada anak tangga
Yang mengingatkannya
Tentang pagi yang seharusnya tak reda
Ia sendirian saja
Pada kesekian undakan
Di pelataran kuil
Sebelum berdoa, sebelum ia menyerahkannya kepada yang dikiranya tak ada
“Tuhan, bahkan di tanah paling megah
sekalipun, puisi mengingkari janji”
Padam lampu kota
Padam lampu kota
Kuharap cahaya pada tiang-tiang
Menemaniku
Menghitung air mata
Kusimpan nanti
Pada sebuah kotak
Kelak kuhanyutkan di sebuah kanal
Entah ia akan datang dari mana
Entah ia akan sampai pada cinta yang mana
Di dermaga
Tak kulihat seekor camar
Yang menitipkan lelah
Pada tiang-tiang, pada penambat layar
Kapal dan dermaga
Dan cinta
Sauh yang tenggelam
Jauh di dalam
Kuharap riak dan ombak
Mengaburkan awan cerah
Gerimis
Ketika gerimis reda
Ia lihat
Sederet puisi
Di seberang sana
Di bawah bangunan tua
Ia tahu
Ia baru saja sampai
Dan awan mendung, tiba-tiba
Berlabuhkah aku?
Aku akan bertanya
Pada bugenvil yang menunduk
Aku akan bertanya
Pada genangan air yang menahan rindu
Dan gerimis begitu indahnya
Pohon-pohon cemara
Derai yang menyerah
Berlabuhkah?
Atau aku adalah tetes
Yang tak menghendaki apa-apa
Sebenarnya ada gelisah
Sebenarnya ada gelisah
Ketika hujan turun dari kejauhan
Mereka tak suka menafsirkan
Prosesi hujan, membasahi sibuk Jakarta
Atau biarkan lumut menutupi nama
Pada batu nisan dan senyap kuburan
Seorang pasien di bilik bernomor
Pelataran itu
Ia tinggalkan saja
Menyisakan lima jalur pada kawat
Dua ekor tekukur, dan
Kemuning yang jauh dari percakapan
Ia enggan bermain dengan keindahan
Ketika seorang juru rawat
Melihatnya
Mendadak ia ingat
Seloka haram itu
Ia ingin kembali ke sana
Tetapi mustahil
Kolong jembatan, di mana sampah
Selalu terhimpit utopia
Ia kangen rivoltil saat habis
“Ini sulit,” katanya
Juru rawat itu membawanya
Di sebuah bilik
Kelak tak dijumpainya lagi
Anak sungai yang kadang meliuk
Ke atas, matahari yang berubah warna,
Bulan yang jadi dua; bulan yang
Memakan angkasa
“Sulit!”
Ia ingin teriak
Tapi perlahan disimpannya
Di kantong yang basah
Oleh apak tubuhnya
Nipam. Tiba-tiba ia ingat
“Ini adalah safari
Seorang perompak
Dari sukma yang diam”
Rumit rasanya
Berkisah
Di sebuah bilik bernomor
Mirip hari yang akan tiba
Apakah hati itu benar-benar tiba?
Balai dengan empa batang pohon
Yang melengahkan panas surya
Di sana ia seakan menyerah
“Di kotaku,
Takdir tak dibiarkan lepas.”
Sonet: kesenyapan
Kau tahu
Ke mana bentuk paling sempurna
Dari sebuah rembulan?
Bila hanya katak yang bersuara
Dan tak ada lagi
Kecuali bisik gerimis
Pada ranting retak
Cobalah menghardik gagak
Di satu sudut matamu
Saat kota mulai gelap
Pekak obo
Mereka menggenapkan
Langit menjauh
Padamukan, kata-kata mengeluh
Kuseduh malam
Kuseduh malam
Dengan Alaska
Yang tak menunggu pagi tiba
Dera memeintas
Seakan semuanya begitu jelas
Seakan Tuhan sangat ringkas
Sebuah fragmen di trotoar
Semua orang berkata sia-sia
Ketika ia berjalan sendirian
Sambil meludah luka
Sambil menoreh air mata
Ia, lembing patah
Memutuskan berhenti pada
Sebuah alir kanal
Dan kabut yang meyusup peperangan
Pohon-pohon seakan
Mendiamkannya
Dan lampu redup
Ia seperti tak ingin siapa pun hidup
Di kasur ini
Di kasur ini
Dengan rasa lapar ksatria kelana
Ia sebenarnya hanya memandang
Sesekali, buih mengunjunginya
Ia tak berkisah
Tentang penyelamatan sebatang oleander
Ia bayangkan pedangnya menoreh ke
Arah Desember
“Aku ingin sebutir
Kelereng jingga
Aku ingin pergi
Dengan senja yang tak memintas”
Di dusun ini,
Orang menyebutnya busur
Ia hanya di kasur
Sunyi menahan, menariknya dari pagi
April, Oneday
April, suatu hari
melihat ke langit
melihat ke punggung bukit
ada hijau yang menunggu kekasih
April, suatu hari
memberiku kabar
“tak kutemukan celah itu
yang sampai kepadamu”
Tentang Seorang Pasha
Ia ingat sebuah teka-teki
Yang menguncinya
Dari lintasan sejarah
Sejarah tahu, ia terkurung
Tapi tuhan adalah
Gejala yang tak pasti
Ia tak ingin lagi berdebat
Dengan mata takdir
Ia menyerah untuk berkarat
Pelarian
Kita berdua pergi
Dalam tiga malam, dengan kaki
Tetap di sanggurdi
Dengan kantuk yang abadi
Hingga sampai pada
Suatu hutan, yang lebat
Yang menyembunyikan
Dirimu, dan diriku, dari kesengsaraan
Kita tinggalkan kendaraan itu
Di tepi gigir, dan sampailah pada suatu
Sendang yang bermandikan
Cahaya bulan,
Maka kutetapkan malam itu
Untuk meraut seekor hiu di tepi air, sedangkan kau
Siapkan bivak
Untuk menikmati ketakutan yang tak segera kauseka di ujung matamu itu.