Tidak ada kehidupan yang tidak memerlukan "cinta". Karena cuma dengan "cinta", manusia bisa mengenal kedamaian dan kesetiaan. Namun dari sekian banyaknya orang yang sudah melanglang buana mengejar "cinta", tidak sedikit juga ada yang harus terluka dan tersiksa.

Jika cinta dipelajari dengan benar, maka "cinta" tidak akan pernah mendatangkan kekecewaaan. Karena sejatinya "cinta" hanya sebuah kata yang setiap orang bisa menjabarkan sedemikian rupa. Namun apalah daya, masih banyak orang yang bersembunyi di atas kata "cinta".

"Cinta" yang kaya akan bahasa itu bisa dengan cara saksama dengan tempo sesingkat-singkatnya menjadi tampak menjijikkan dan mengerikan disebabkan ulah si pencinta yang kurang bijaksana dalam bercinta.

Seperti memanipulasi perasaan orang atau melakukan "politisasi cinta" yang tentu merugikan objeknya. Sudah seperti menjadi amal saleh dalam dunia manipulasi perasaan untuk melakukan kebohongan atas nama "cinta". Saat ini sepertinya cukup dengan bermain kata dan retorika, maka dengan sekejap akan membikin baper (bawa perasaan) objeknya.

Sekejam itukah?

Jika menurut Mbah Tejo (Sujiwo Tejo), "cinta tak tentang kata". Namun tidak bisa dimungkiri, di era trendi seperti sekarang justru penuh dengan kata dan retorika, sehingga sepertinya "cinta" itu hanya menjadi pemilik orang yang mahir beretorika. Tidak heran ketika ada banyak orang yang harus merasakan luka dan tersiksa disebabkan retorika yang tidak bertepi itu.

Jika cinta hanya selesai di kata dan retorika, maka saya tidak bisa membayangkan suatu saat akan seperti apa jadinya. Kemungkinan "cinta" akan menjadi kata pasaran yang tidak akan laku lagi meski dipasarkan secara gratis karena mengingat saat ini saja "cinta" kerap kali disalah-gunakan sehingga terkesan "cinta" hanya mengundang kegalauan, kekecewaan, stres, dan sebagainya.

Sebagai makhluk tuhan yang tercipta atas dasar "cinta", maka sudah semestinya manusia bijaksana dalam menggunakan cinta kepada siapa pun, termasuk kepada tuhannya sendiri.

Lantas bagaimana cara bijaksana?

Sebenarnya segala sesuatu itu tergantung caranya. "Cinta" merupakan hal yang indah bila dipahami dengan cara yang indah juga. Jika kita caranya biijaksana dalam menggunakan "cinta", maka akan tercipta kedamaian, ketenteraman, kebahagiaan, dan tidak akan ada yang akan dan harus terluka dan tersiksa.

Seperti Erich Fromm, yang tidak mau memaksa objeknya mencintainya dengan apa yang diinginkan Erich Fromm, dia hanya ingin bahwa objeknya mencintai dia dengan caranya sendiri.

Hal itu memberikan bahwa antara yang mencintai dan yang dicintai tidak boleh ada sekat. Namun saat ini dari sekian banyaknya interpretasi tentang "cinta" dalam dunia realitas selalu beda.

Jikalau Erich Fromm dalam menuangkan pengetahuannya tentang "cinta" mengambil judul yang sangat mencuri perhatian pembaca, yakni "Seni Mencintai", tentu tertuang berbagai gagasan indah dan suci dalam bukunya.

Namun saya tidak ingin menuangkan semua gagasan beliau dalam tulisan saya kali ini. Saya hanya ingin menyampaikan kepada pembaca bahwa cinta tidak selalu tentang "Seni Mencintai".

Saya memang bukan orang besar seperti Erich Fromm, Rumi, Rabiah Al-adawiyah, dan sebagainya dalam menginterpretasikan "cinta". Namun jikalau boleh menyampaikan gagasan bahwa saat ini kita sudah berbeda budaya dan peradaban, yang tentu dari waktu ke waktu manusia selalu berubah, baik cara bepikir, bersikap, dalam menginterpretasikan cinta, dll.

Ok. Menurut saya, ”Cinta tidak selalu tentang seni mencintai", namun juga tentang "Seni Dicintai". Jujur, saya lebih suka "seni dicintai". Jikalau saya yang menjadi subjeknya, maka saya terlebih dahulu harus mencari tahu perasaan si objek.

Objek itu respect atau baper? Kenapa ketika Anda nembak (say love) si objek, Anda harus malu, lantaran Anda tidak diterima? Berarti dia cuma respect bukan baper, ini cuma contoh!

Dalam "seni dicintai" tidak terlalu mati-matian mengajak mengetahui sosok si objek, karena si objek hanyalah orang biasa bagi se subjek yang masih belum tentu bakal menjadi orang yang luar biasa nantinya. Dalam "seni dicintai", si subjek ditekankan pada kepribadian yang arif dan bijaksana.

Cara kerja "seni dicintai", subjek perlu membuat dirinya berkarakter, berintegritas, dan berpengetahuan luas dulu. Kemudian yang paling penting, subjek harus membangun "mindset dicintai" di otaknya, agar otaknya bekerja bagaimana selalu bisa dicintai, bukan mencintai.

"Mindset dicintai" tersebut bukan lantas tidak memiliki mindset mencintai. Hanya saja, dia berupaya menjadi sosok pencinta yang bijaksana, termasuk kepada tuhannya sendiri dengan caranya sendiri.

Seni mencintai itu berbeda dengan "seni dicintai". Jika seni mencintai hanyalah upaya untuk dapat dicintai, maka akan ada banyak manusia yang akan mudah kecewa dan meneteskan air mata ketika tidak dicintai balik.

Peduli dan berkorban itu bukan bentuk dari mencintai, tapi karena untuk bisa dicintai butuh kepedulian dan pengorbanan. Sama dengan cinta kepada tuhan, ketika beribadah itu bukan karena mencintai tuhan, tapi karena memang untuk dicintai tuhan kita perlu beribadah.