Cinta—sebuah topik eksistensial dalam kehidupan manusia. Berawal dari pertanyaan Heideggerian tentang makna “Ada”, cinta adalah jawaban tentang makna “Ada” dan “meng-Ada” sebagai manusia. Cinta menjanjikan kedamaian yang mengakhiri kekerasan dalam relasi antar-entitas dalam semesta—baik antar-sesama manusia maupun antara manusia dan entitas-entitas lain.
Kekerasan adalah konsekuensi dari mekanisme nalar manusia yang dikungkung oleh metafisika. Dalam batas-batas metafisika, nalar bekerja dalam tiga hukum logika identitas yang diwariskan Aristoteles: (a) kepastian (A adalah A, B adalah B); (b) kontradiksi (A adalah tidak sama dengan B); dan (c) penyisihan jalan tengah (A adalah mustahil sekaligus B). Logika identitas memetakan realitas, entitas-entitas, ke dalam kategori-kategori yang jelas dan terpilah.
Dalam logika identitas, “Aku adalah Diri-ku” (sebagaimana “Kamu adalah Dirimu”). Dari sini kemudian berkembang klaim kepemilikan bahwa “Aku memiliki Diri-ku” (sebagaimana “Kamu memiliki Diri-mu”) dan “Aku memiliki apapun hasil dari upaya Diri-ku” (sebagaimana “Kamu memiliki apapun hasil dari upaya Dirimu”).
Dalam bayang-bayang metafisika, nalar selalu berasumsi bahwa identitas-identitas yang secara kategoris berbeda tersebut berelasi dalam hierarki. Beberapa kategori identitas dianggap bersifat primer, sumber, murni, dan asli, sedangkan beberapa kategori identitas lain dianggap bersifat sekunder, derivatif, campuran, dan imitasi/tiruan.
Kekerasan tak lain adalah dominasi identitas-identitas yang (dianggap) bersifat superior terhadap identitas-identitas yang (dianggap) bersifat inferior. Manusia, misalnya, tidak sekadar dibedakan dalam kategori-kategori seks, ras, status sosial-ekonomi, dan seterusnya.
Metafisika tentang identitas juga mengandaikan hierarki identitas di mana lelaki dianggap bersifat primer dan perempuan bersifat sekunder, kulit putih lebih mulia dari kulit berwarna, orang kaya lebih terhormat dari orang miskin, dan seterusnya.
Berhadapan dengan nalar metafisika tersebut, cinta adalah gambaran mitis dari suatu bentuk relasi yang sepenuhnya hampa-kekerasan. Disebut gambaran mitis, karena cinta adalah bentuk relasi yang lahir dari proses pemitosan, mitifikasi (mythification), yang membongkar tatanan hierarki dalam relasi yang dibangun dalam kerangka logika identitas.
Cinta adalah mitos (μῦθος) yang bangkit melawan dominasi logos (λόγος), irasionalitas yang menolak tunduk pada rasionalitas. Seperti tercermin dalam pameo “cinta itu buta”, sifat cinta yang irasional-mitis memampukan cinta mencairkan kebekuan berbagai kategorisasi identitas yang telah mengkotak-kotakkan manusia ke dalam perbedaan seks, ras, status sosial ekonomi, gender, etnis, agama, kewarganegaraan, dan sebagainya.
Sebagai mitos, cinta memungkinkan “Aku” dan “Kamu” berimajinasi tentang “Kita”, sebuah perlawanan terhadap tiga hukum logika identitas. Cinta tidak mengenal kepastian identitas, karena “Aku” bukanlah “Diri-ku” dan “Kamu bukanlah “Diri-mu”.
Dalam Cinta, “Aku” dan “Kamu” tidak pernah sungguh-sungguh berbeda, karena “Aku” adalah “Kamu” dan “Kamu” adalah “Aku”. Dalam cinta, tidak ada jalan tengah yang mustahil, karena “Aku” dan “Kamu” telah melebur dalam “Kita”.
Cinta menyelesaikan kekerasan karena melumerkan batas identitas dan relasi antar-identitas yang tersusun secara hierarkis. Dalam cinta, kemanusiaan lelaki tidak lebih tinggi dari perempuan, kulit putih tidak lebih murni dari kulit berwarna, orang kaya tidak lebih terhormat dari orang miskin, orang beriman tidak lebih baik dari orang kafir, warga negara maju tidak lebih mulia dari warga negara berkembang, dan seterusnya.
Demikian karena atas nama cinta, tidak ada lagi perbedaan identitas. Dalam cinta, yang ada hanyalah tindakan mencintai itu sendiri, tanpa hasrat untuk memiliki, tanpa kepentingan untuk menguasai—tanpa syarat apapun.
Namun, betapapun indah gambarannya, cinta tidak pernah tumbuh dalam “ruang murni” yang demikian “sunyi” seperti dibayangkan Rumi atau para mistikus. Cinta tumbuh dalam pikiran manusia yang entah bagaimana terlempar dalam faktisitas “ruang imitasi” yang ramai dengan segala “hiruk-pikuk” kerumunan yang saling berkompetisi mengklaim ini dan itu.
Tidak seperti dibayangkan para mistikus, cinta tidak pernah bisu, ia tampil dalam ungkapan kata-kata dalam sebuah sistem metafisika linguistik, di mana petanda, makna, adalah asal-usul bagi segala penanda. Karena tidak pernah dapat melampaui metafisika, cinta, seperti digambarkan Sartre, menjadi instrumen manipulasi yang sangat efektif bagi subyek terhadap obyek.
Di balik nama cinta, seorang subyek menyembunyikan kepentingan penguasaannya atas obyek dengan berpura-pura ingin dikuasai oleh orang yang menjadi obyek cintanya.
Karena melawan logos, cinta selamanya adalah mitos—selalu fiksi, tidak pernah fakta. Dan mungkin karena sifat cinta yang irasional dan mitis itulah cinta terlalu indah untuk menjadi nyata. Mungkin itu juga sebabnya kenapa “Aku” dan “Kamu” tidak pernah menjadi “Kita”. Karena “Aku” dan “Kamu” tidak pernah sungguh-sungguh “Mencinta”.