Dalam pelataran malam, di tengah gemerlap bintang. Seorang perempuan tengah duduk termangu di bibir pantai. Dilihatnya telah ribuan kali ombak datang, kemudian pergi begitu saja. Kehidupan cinta perempuan itu sungguh tiada beda, telah berkali-kali ia hanyut terbawa oleh dera ombak pasang.

Hingga suatu waktu ia dilabuhkan lagi di bibir pantai yang sama, tanpa mengerti kenapa itu bisa terjadi. Perempuan itu kembali duduk, menunggu ombak pasang berikutnya datang menjemput. Ia menanti dirinya tertarik dan menari bersama sang ombak di laut lepas. Entah kapan itu akan terjadi, ia tidak pernah memusingkannya. Meski cahaya ditelan gelap, kemudian gelap memuntahkan kembali cahaya, dan begitu seterusnya. Perempuan itu masih menunggu.

Kini, masih di bibir pantai yang sama, dengan keberadaan diri yang hampir tiada. Perempuan itu menatap dengan mata yang agung ke arah laut. Masih dengan perasaan yang sama, menunggu ombak datang menjemput, sampai seorang pria datang menghampirinya.

Terang rembulan perlahan menangkap kehadiran pria itu. Ia mengenakan kaos hitam bertuliskan Partai Pria-Pria Kesepian—Sebab tiada yang lebih setia dari sepi. Penuh untai kata mesra, pria itu siap memulai tipu dayanya.

Pria: Lihatlah! Seperti bintang-bintang itu, tenggelam ditelan samudra yang kelam dan gelisah. Lalu malam akan temaram, mulai merindukan terangnya.

Perempuan: … (tak menjawab)

Pria: Namun, biarkan rindu itu berpulang dengan sendirinya. Menuju semesta yang dicinta. Percayalah gadis, kamu sudah bahagia.

Perempuan: Ah basi lu! Langsung aja! Lu suka gue kan?!

Pria: Eh, duh nganu, itu nganu...

***

Kepada calon-calon kekasih yang budiman, percayalah, bahwa cinta memang penuh dengan basa-basi. Tentu kita tidak bisa memungkiri hal ini. Dari kisah yang teramat singkat di atas saja kita bisa langsung menilai, bahwa kata-kata romantis tersebut tidak lebih dari bual belaka. Parahnya mungkin terkesan berlebihan.

Namun yakinlah, persoalan basa-basi itu sesuatu yang niscaya ada di dalam cinta. Sebab berbeda dengan senja yang selalu sempurna tanpa perlu digenapkan warnanya. Sementara kita manusia di dalam cinta, memerlukan kesepakatan untuk saling memberikan dan menghiasi ruang. Pun dalam melakukan hal itu, kita membutuhkan emosi-emosi yang dapat membangkitkan gairah untuk tetap bersama.

Keberadaan emosi ini tentu dapat meningkatkan ketertarikan secara personal. Kemudian hubungan yang dijalani pun semakin kaya dan bertambah kompleks. Lantas lambat laun ikatan dan ketergantungan di antara dua orang yang menjalin hubungan tersebut menjadi semakin dalam.

Akan tetapi bila perlu dikatakan, sebenarnya hubungan cinta ini adalah persoalan imajiner. Hanya persoalan perempuan dan laki-laki dalam membayangkan sesuatu yang sebenarnya tidak ada. Seperti halnya dengan keromantisan, tanpa kita sadari sisi ini hanya dibentuk oleh keinginan manusia semata, yang tidak lain agar dapat mencintai dan dicintai.

Tidak banyak juga dari kita yang justru terjatuh pada lembah ego narsistik, baik yang ada dalam diri maupun pasangan. Lalu percintaan mulai terasa asing dan beralih menjadi persoalan merasakan cinta yang narsistik itu sendiri, bukan bagaimana tentang hubungan itu terjalin. Seperti perasaan untuk tetap merindukan dan menginginkan segala yang dicitrakan oleh kekasih, utamanya melalui upaya gombal-menggombal. Bualan itu lah satu hal yang paling bisa untuk ditolerir bersama.

Pria: Sayang! Sungguh, aku tak butuh berjuta mimpi jika kau di sisi, dan menemani sampai batas usia nanti.

Perempuan: Ahh sayang, cooo switt aneeett deh.

Melalui pengandaian percakapan di atas, dengan disadari atau tidaknya, lembah ego narsistik ini terus bertahan dan kian menukik. Seolah membuktikan benar adanya dekadensi di dalam sebuah cinta. Lantas hubungan menjadi suatu yang komersial, dan teramplifikasi dengan baik melalui media sosial.

Tidak ayal kita sering melihat berbagai macam kemesraan diumbar di lini masa, atau anak sekarang mungkin memeliharanya dengan sebutan public display affection (PDA). Seolah kurang afdhol memang jika tidak melakukannya, dan jangan lupa untuk turut menghiasinya dengan kutipan-kutipan syahdu dari Tere Liye seorang penulis yang mahaproduktif, sebagai kepsyen di bawah foto tersebut.

Sering kali kita luput menyadari, bahwa dari fenomena tersebut memunculkan sebuah stigma tersendiri dan kita sendiri yang memeliharanya. Dengan kita tidak menampilkan kepada khalayak bahwa keintiman itu masih ada, seakan-akan yang terjadi kehidupan berpasangan yang dijalani sudah membosankan, dan mungkin cinta juga sudah tidak layak dipertahankan. Tapi apakah benar adanya? Bisa jadi iya, bisa juga tidak. Silakan tanyakan pada diri dan pasangan masing-masing.

Tapi satu hal yang jelas, basa-basi dalam cinta itu bisa menyelamatkan hidupmu. Khususnya jika kekasihmu sudah tidak mengunggah foto kalian ke dalam Instagram, atau dirinya mulai menuliskan patahan-patahan sajak tentang malam yang kalian sendiri tidak yakin pernah melalui saat itu bersamanya, sesungguhnya kalian patut curiga. Sebab kamu tidak pernah tahu, bahwa seseorang mungkin telah mencuri cinta kekasihmu, dan seseorang itu bukan kamu, melainkan yang lainnya.