Senja mulai tiba. Matahari perlahan menghilang dari cakrawala. Langit memancarkan jingga. Jingga adalah bentuk lain dari perpisahan. Langit mulai gelap. Segelap hatiku yang seharian gundah tak menentu.

Kaki terasa kaku. Tak mampu beranjak dari altar Pelabuhan Branta Pesisir yang terbentang di Pantai Tlanakan, Kabupaten Pamekasan, Madura. Ibu-ibu bersama anaknya duduk manis menunggu pujaan hatinya yang sedang menurunkan hasil tangkapan.

Pelabuhan ini terbesar di Pamekasan. Setiap hari tidak pernah sepi. Kapal besar sandar di bibir pelabuhan. Sesekali beradu dengan beton pembatas. "Krak" "Byur" dua irama yang saling berdahutan saat badan kapal menyentuh pelabuhan.

Angin bertiup kencang. Ombak menghantam dinding pelabuhan. Bunyinya memekakkan dada. Seakan ombak itu menerjang relung hatiku yang beku. Menghujam jiwaku. Memaksaku beranjak dari tempat duduk karena hari mulai petang.

Namun, bujuk rayu ombak itu gagal. Energiku terkuras habis karena memikirkan Zafiratul Hilwah. Perempuan yang teramat aku cintai itu akan pergi ke tanah suci. Dia akan menunaikan rukun Islam ke lima bersama Nur, suaminya.

Ya. Aku, Andra Anindita telah menjalin hubungan cinta dengan Rara, perempuan berparas cantik dengan nama lengkap Zafiratul Hilwah itu. Kami seperti sepasang burung camar yang dimabuk asmara. Tak mau berpisah walau sekejap mata.

Tapi kenyataanya, besok dia akan terbang ke Madinah. Menempuh perjalanan udara selama 16 jam. Kami akan terpisah ruang dan waktu. Berada di belahan bumi yang teramat jauh. Selama tiga purnama tidak akan bertemu. Sungguh hanya akan menggali kubangan pilu.

Hati kalut, khawatir menggerogoti pikir. Resah, gelisah, galau, berkecamuk menjadi satu. Aku takut Rara tak lagi cinta. Aku khawatir rasa yang tumbuh begitu dahsyatnya akan dikubur di hamparan padang pasir.

Rara memang sangat mencintaiku. Bahkan dia pernah bilang bahwa cintanya mencapai angka 95 persen. Tapi aku sadar, ucapan itu tidak lain hanyalah produk lidah. Kapanpun bisa berubah. Kapanpun bisa dilupakan layaknya sampah.

"Ndra... Selama tiga purnama kita akan berpisah. Kita akan hidup dalam dimensi waktu berbeda. Tempat kita berpijak terpaut empat jam. Mungkin aku akan sulit menghubungimu. Aku akan ibadah dan dalam pengawasan ketat suamiku,"

Pesan singkat Rara selalu terngiang di telingaku. Seperti bunyi lonceng sebagai petanda bahwa bukan hanya tiga purnama kami akan berpisah. Tapi, selamanya. Tanpa disadari, air mata meleleh. Entah sudah berapa bulir yang menitis, yang jelas pipi mulai basah. Tapi tak mampu membahasahi kegersangan hatiku.

Malam semakin larut. Hati ingin melawan waktu agar tidak beranjak. Aku takut esok pagi. Aku takut perpisahan.

*************

Pagi pun tiba. Seolah tanpa bersalah, dia membawa segerombolan burung berkicau di sekitar jendela. Mata terasa panas. Ingin terpejam tapi hati menolak. Seolah seluruh indra harus bersatu menahan waktu. Tapi kehiupan tetap berjalan tak peduli ada hati yang lagi galau.

Telpon berdering. Pesan dari Rara. Aku bisa menerka isi pesan itu. Hati yakin bahwa melalui pesan itu Rara mengucapkan selamat tinggal.  Pesan itu dibiarkan karena tangan terasa berat. Susah menjangkau telepon yang tergeletak di atas meja.

Sebenarnya, aku bukan tak mau mengantarkan ke Masjid As-Syuhada tempat berkumpul calon jamaah haji. Aku bukan tak mau melihat kebahagiaannya karena akan bertamu ke rumah Allah. Aku bukan tak mau melihat senyumnya untuk kali terakhir sebelum berpisah.

Aku hanya tak ingin terlihat lemah karena harus menangisi perpisahan. Kalaupun perpisahan itu sementara, tapi segala kemungkinan bisa saja terjadi. Rara bisa saja ingin menyudahi hubungan terlarang ini. Rara bisa saja membuang rasa yang bergejolak di hatinya.

Pikiran terus berontak agar pesan itu tidak dibaca. Tapi nun jauh di lubuk hati yang paling dalam, ada dorongan agar pesan itu segera dibaca dan dijawab. Rara pasti kepikiran jika pesannya dibiarkan tak dibalas.

"Assalamualaikum Ndra. Aku berangkat. Pagi ini terasa begitu berat. Ingin rasanya melihat senyum dari bibir manismu sebelum aku menempuh perjalanan jauh. Ingin sekali melihat lentik jemarimu melambai melepas kepergianku yang hanya semabmntara ini. Tapi, kamu tidak ada. Kamu pasti punya pertimbangan tidak hadir pagi ini. Aku hargai itu. Baik-baik ya di Indonesia, doa dan cintaku selalu menemanimu,"

Pesan itu membuat aku semakin terhentak. Dinding jiwa seakan runtuh. Rindu mulai bergelanumyut diantara sungai-sungai yang mengalir di jiwa. Ingin kujawab pesan itu bahwa aku memiliki keinginan yang sama. Tapi aku begitu lemah. Terlalu takut pada perpisahan. Terlalu kerdil melawan waktu. Tiga purnama bukan waktu sebentar.

Sangat lama rasanya. Waktu akan terasa begitu lambat. Seperti kura-kura yang berjalan kepanasan. Sementara hati tak bisa kompromi. Ingin selalu bersama. Memadu kasih layaknya bintang dan bulan.

Dengan gemetar. Jemariku menari diatas keyboard telepon genggam. Membalas pesan singat itu dengan kata singat. "Hati-hati disana. Jaga hati. Jaga cinta kita," kataku membalas pesan Rara.

Derai air mata mengantarkan pesan singkat itu. Tiba-tiba rindu mengedor pintu di dada. Seakan memaksaku beranjak dari tempat tidur untu menemui Rara. Menemui perempuan yang kucinta untuk kali terkahir sebelum bertemu setelah melewati tiga purnama.

Sementara ego tetap teguh pendirian. Melarang kaki beranjak. Meminta agar membiarkan Rara pergi begitu saja. Antara hati dan pikiran bertolak belakang membuat mulut menganga dan berteriak kencang. "Akkkkkkhhhhhh,".....

Tanpa berpikir panjang aku beranjak. Mengambil motor butut yang diparkir di samping rumah. Tancap gas berharap bus yang membawa Rara belum berangkat. Berharap masih bisa berjumpa walau sekejap.

Di sepanjang perjalanan mata tak henti mengalir. Menyesali kekalutan yang berujung malas untuk beranjak dari tempat tidur. Padahal, sedari awal hati telah membujuk agar luluh dan menemui Rara di altar masjid.

Motor bebek yang aku kendarai meraung tak karuan. Bergerak cepat melawan debar jantung yang juga semakin cepat. Namun jarak begitu jauh. Butuh waktu 30 menit untuk sampai di masjid yang berada di pusat kota itu.

Tepat pukul 09.30 baru tiba di masjid warna hijau itu. Tapi tidak ada satu orangpun disana. Bus pengantar calon jamaah haji telah berangkat satu jam yang lalu.

Rara telah pergi. Meninggalkan senyum yang membekas di relung hati.