Hari itu, Mira dan teman-temannya sedang mengadakan diskusi filsafat cinta. Mereka membahas berbagai teori tentang cinta, mulai dari teori cinta Agape, Eros, dan Philia hingga teori cinta platonis.

"Menurutku, cinta itu harusnya Agape," ujar Mira, salah satu teman diskusi.

"Tapi, bukankah cinta Eros juga penting?" tanya tamin, teman Mira.

"Mungkin saja, tapi menurutku cinta Agape lebih utama karena mencintai tanpa syarat," jawab Mira.

Namun, Rina, salah satu peserta diskusi, membawa sebuah buku yang bertajuk "Seni Mencintai" karya Erich Fromm. Ia lalu dengan lantang membacakan kutipan dari buku tersebut.

"Ada perbedaan antara jatuh cinta dan mencintai. Jatuh cinta hanya memerlukan pasangan yang menarik, sedangkan mencintai membutuhkan pengorbanan, pengertian, dan kesetiaan."

"Menurutku, teori cinta platonis juga tidak kalah penting," tambah Rina. "Cinta platonis mengutamakan keindahan jiwa daripada keindahan fisik."

Diskusi semakin sengit ketika beberapa temannya mempertanyakan apakah cinta platonis bisa dijalani dalam kehidupan nyata.

Mira kembali memperjuangkan teori cinta Agape dengan mengatakan bahwa cinta seharusnya tidak memandang fisik atau status sosial, melainkan mencintai seseorang karena kebaikan hati dan keberadaannya itu sendiri.

Namun, Rina kembali membantah dengan membacakan kutipan dari buku "Seni Mencintai".

"Dalam mencintai, kita harus memahami dan menghargai kebebasan pasangan kita. Kita tidak bisa memaksa orang lain untuk mencintai kita atau memaksakan cinta yang tidak ada."

Diskusipun terus berlanjut hingga malam hari. Mereka tidak hanya membahas teori-teori tentang cinta, tetapi juga mengupas aspek praktis dari cinta dalam kehidupan sehari-hari.

Seiring dengan berjalannya diskusi, Mira merasa semakin tidak puas dengan teori-teori yang dibahas. Menurutnya, semua teori tentang cinta tersebut terlalu abstrak dan kurang bisa diaplikasikan dalam kehidupan nyata.

"Saya rasa kita terlalu terjebak dengan teori-teori tentang cinta yang hanya menggambarkan idealisme. Seharusnya kita lebih fokus pada kenyataan di lapangan," ujar Mira dengan nada kritis.

"Bagaimana kita bisa mencintai tanpa syarat jika kenyataannya kita juga butuh cinta balik darinya? Bagaimana kita bisa mencintai seseorang hanya karena keindahan jiwanya, jika faktor fisik juga turut mempengaruhi ketertarikan kita?" tambah Mira.

Beberapa teman diskusinya mulai tidak nyaman dengan pendapat Mira dengan nada yang sedikit keras. Mereka merasa bahwa diskusi tersebut hanya sebatas berbagi ide dan gagasan tentang cinta, bukan suatu bentuk kritik atau pemaksaan pendapat.

Namun, Mira tetap mempertahankan pendapatnya. Ia merasa bahwa diskusi tersebut harus membuka ruang bagi kritik dan pemikiran kritis, bukan hanya sebatas mengulang-ulang teori yang sudah ada.

"Kita harus berani mengkritik teori-teori tentang cinta yang sudah ada dan mencari cara untuk mengembangkan teori-teori baru yang lebih bisa diaplikasikan dalam kehidupan nyata. Kita tidak bisa hanya terjebak dalam teori-teori yang abstrak dan tidak ada hubungannya dengan kenyataan," tegas Mira.

Diskusi tersebut kemudian berjalan dengan sedikit canggung. Beberapa teman diskusinya merasa bahwa Mira sudah terlalu jauh dengan pendapatnya yang kritis. Namun, Mira merasa bahwa inilah tujuan dari sebuah diskusi filsafat cinta, yaitu membuka ruang bagi pemikiran dan kritik untuk mengembangkan gagasan yang lebih baik dan bermanfaat dalam kehidupan nyata.

Selama diskusi berlangsung, Rina kemudian mulai merasa tertarik dengan pendapat kritis Mira. Ia menilai bahwa kritik dan pemikiran kritis sangat penting dalam mengembangkan teori-teori tentang cinta yang lebih bermanfaat.

Namun, Tamin merasa bahwa teori-teori tentang cinta yang sudah ada sudah cukup memadai. Menurutnya, teori-teori tersebut sudah dipelajari dan diuji coba selama bertahun-tahun dan masih berlaku hingga saat ini.

Mira mengangguk dan setuju dengan pendapat Tamin, namun ia merasa bahwa teori-teori tentang cinta tersebut belum mencakup seluruh aspek dan permasalahan yang ada di kehidupan nyata.

"Apa yang sudah ada itu memang sudah bagus, namun kita tidak bisa mengabaikan aspek praktis dari cinta dalam kehidupan nyata. Teori-teori tentang cinta harus bisa diaplikasikan dalam kehidupan nyata dan mampu menyelesaikan berbagai permasalahan yang ada di kehidupan nyata," jelas Mira.

Rina setuju dengan pendapat Mira dan menambahkan bahwa teori-teori tentang cinta juga harus bisa mengakomodasi berbagai perbedaan individu dan budaya yang ada di masyarakat.

"Apa yang menjadi standar cinta bagi satu individu atau budaya mungkin tidak sama dengan yang lain. Teori-teori tentang cinta harus bisa mengakomodasi perbedaan tersebut dan memberikan solusi yang tepat untuk setiap individu atau budaya," tambah Rina.

Diskusi semakin sengit ketika beberapa peserta diskusi mulai berdebat tentang apakah cinta memang bisa dipahami dan selalu memberikan dampak positif pada seseorang?

Tib-tiba munculah seorang lelaki dari belakang mereka. Lelaki itu bernama Iman, teman mereka juga! lalu kemudian iman memilih duduk di samping Rina, dan ia mulai berkata “apa yang kalian diskusikan dari cinta? Apakah kalian memang sudah benar-benar paham tentang cinta?” tegas iman. “cinta itu hanya bisa dipahami bagi orang-orang sudah pernah tersakiti.”lanjut iman.

Sontak seketika semua langsung tertawa terbahak-bahak mendengar ucapannya, karena mereka tahu bahwa iman baru saja dikhianati oleh kekasihnya.

“apa yang membuat kalian tertawa? Sudahkah kalian berpikir apakah cinta itu harus berakhir tragis seperti cintanya majnun terhadap Layla, cintanya Romeo terhadap Juliet, begitu pula cintanya Jainuddin terhadap Hayati, dan juga cintaku terhadap kekasihku yang dibangun di atas penderitaan dan pengkhianatan semata.” Kata iman dengan nada sendu.

Semua yang ada di tempat itu juga ikut bersedih ketika mendengar ucapan dari iman. Lalu Tamin menghampirinya dan berkata “sudahlah! Jadikan itu semua sebagai pembelajaran, dan tidak perlu bersedih masih banyak perempuan di luar sana yang masih pantas untuk dicintai.” Ujar Tamini.

Lalu iman kemudian dengan spontan dan menjawab “aku saat ini tidak percaya dengan semua hal, kecuali engkau mengatakan kepadaku bahwa jatuh cinta itu adalah cara yang tepat untuk bunuh diri.” Tegas iman, sekaligus mengakhiri diskus mereka tentang cinta.

Dari diskusi itu, mereka menyimpulkan bahwa cinta tidak hanya tentang memilih satu teori tertentu, melainkan tentang memahami berbagai teori dan memilih yang sesuai dengan nilai-nilai pribadi masing-masing. Seperti yang dijelaskan dalam buku "Seni Mencintai", cinta bukanlah suatu objek yang dapat dimiliki, melainkan suatu proses yang memerlukan usaha dan dedikasi untuk terus tumbuh dan berkembang.

Cinta juga bukan persoalan apa yang kita cintai, tapi bagaimana cara mencintai. Jika seseorang lebih mengutamakan apa yang dia cintai daripada bagaimana cara mencintai maka sudah pasti ujung-ujungnya adalah sakit hati seperti yang dirasakan oleh iman.

Semoga cerita ini memberikan manfaat bagi kita, sehingga kita bisa menempatkan cinta pada tempatnya, bukan kepada siapa atau objek tertentu. Masih banyak orang di sekeliling kita yang membutuhkan cinta dari kita, maka jangan maknai cinta dalam bentuk yang sempit yaitu hanya diberikan pada seseorang.