Ternyata sakit tak selalu lahir dari asmara. Beberapa kesakitan selalu lahir dari hal tak terduga. Semisal orang tua yang ditentang anaknya, seperti guru yang dibunuh muridnya lantaran sudah merasa hebat dan mau menguasai dunia.

Aku mengingat saat kecil diajari merangkak, menyebut angka-angka, belajar mengenali nama-nama pohon, hingga dibantu berjalan, sampai akhirnya bisa berlari dan melompat.

Tumbuh meremaja, mengenal satu sama lain. Mulai memiliki kesadaran bahwa manusia adalah makhluk yang cenderung berempati, peduli sesama, dan saling membantu dalam bentuk sosial.

Aku tidak banyak mengerti soal agama, aku bukan agamis. Tetapi, aku memahami bagaimana menghargai orang tua, bagaimana murid selalu menghormati gurunya menjadi elemen yang koheren dengan ajaran agama mana pun.

Salah satu pengalaman yang menjadi virus dalam ingatan, dan tentu harus aku tuliskan agar tidak semakin menyebar merusak tubuh yang lepuh ini.

Beberapa tahun lalu, pada musim hujan kala itu. Aku menyaksikan langsung pergulatan seorang remaja yang membentak-bentak orang tua dengan nada yang menyesakkan tentunya.

Belakangan aku tahu, ternyata yang dia debati tak lain adalah gurunya sendiri, ia semprot dengan kata-kata kotor di tempat keramaian.

Sang guru bungkam menunduk membiarkan air matanya berceceran ke tanah, bukti bahwa dirinya tabah, dirinya kuat. Aku yakin air yang meleleh di matanya hanya sebab perih di dadanya.

Mengingat masa lalu saat ia begitu gembira dan bangga mendidik muridnya, yang tak pernah bisa ia terka, bahwa pada akhirnya dirinya pun akan dipatahkan di muka umum.

Rasa penasaran semakin memergoki untuk lebih tahu banyak tentang kesaksianku di waktu itu. Sedikit demi-sedikit pengetahuanku bertambah, rasa penasaran ini justru terbalik menjadi haru dan seolah ingin meledak menjadi sebuah kejengkelan.

Membayangkan setiap murid adalah penerus dari kebaikan guru, pelanjut cita-cita mulia para pendahulu yang belum kesampaian.

Tetapi menjadi kesialan paling menyakitkan bila semua harapan dari kebaikan-kebaikan yang menuntun guru untuk mendidik murid menjadi bijaksana, yang terjadi justru sebaliknya.

Di mana murid menjadi kurang ajar, membangkang dan berambisi malah melawan gurunya dengan cara-cara yang kejam.

Sebagai pemuda yang juga sedikit kurang menghormati guru di masa kecil, agar tidak cenderung berpihak maka aku memulai menggali informasi dari pihak Si murid. Aku membawa diri dengan penuh rasa sesal menanyakan, bagaimana ia begitu tega melawan gurunya.

Hal tak terduga kutemukan sebagai jawaban, bahwa ia sebagai anak muda hebat, menolak disebut murid.

Ia bahkan menganggap tak melakukan apa-apa pada orang tua atau yang aku maksud guru di awal. Baginya manusia hanya dinilai dari materi, bila ia miskin artinya kemanusiaannya hilang dan tinggal binatang jalang.

Di mana dengan guru tersebut yang memang tidak pernah mengajarkan kemewahan, ia selalu tampil sederhana.

Tak pernah sedikit pun ia menampilkan hal-hal berlebihan dalam tubuhnya, itulah sehingga ia dimuliakan oleh lingkungannya, ia dihormati nyaris oleh semua orang yang menemuinya, kecuali anak muda satu itu.

Sehingga aku percaya keluhuran batin guru tersebut. Walau ia tak digaji oleh siapapun, juga tak punya predikat apa-apa. Tetapi semangatnya berbagi pengetahuan ke semua orang membuat dirinya dinobatkan sebagai guru kemanusiaan.

Satu-satunya prinsip yang melekat dalam dirinya yang mungkin akan dipegang teguh sampai mati adalah bagaimana menjadi manusia dengan memuliakan kesederhanaan demi menghindari ketimpangan.

Aku tidak habis pikir, tentang sosok pemuda yang mendewakan uang dan mematikan kemanusiaan dalam dirinya. Yang aku tahu selama ini hal demikian hanya dilakukan oleh konglomerat atau politisi yang kehilangan kepercayaan.

Tetapi kejadian tersebut membuat aku yakin bahwa apa yang sering aku baca tentang orang-orang yang menghalalkan segala cara demi kemapanan bukanlah dongeng semata, melainkan benar-benar nyata dan berlaku hingga saat ini.

Parahnya lagi, belakangan aku baru tahu kalau guru tersebut bukan hanya ditentang dan dicaci-maki, melainkan dirinya juga sering disakiti secara fisik dan tentunya lebih sakit secara psikis.

Bahkan yang lebih menyayat hati ternyata guru yang sudah tua renta tersebut kini tinggal nama, ia sudah meninggal. Lebih gilanya lagi, ia dibunuh oleh pemuda kurang ajar itu lewat jebakan hutang melalui konglomerat setempat.

Bahkan rumor sempat beredar kalau pelakunya masih bebas berkeliaran dengan bangga atas kekuasaan modalnya karena merasa paling kaya dan menganggap tindakannya sebagai perlakuan sewajarnya bagi orang tua miskin.

Walau jelang kematiannya, guru tersebut diakui tak pernah takut apalagi pasrah, justru ia merasa damai. Kalau pun ia meninggal, ia bahkan selalu menyampaikan bahwa dirinya sangat bangga sebab bisa hidup dan berbagi pengetahuan pada sesama.

Ia hanya berharap dari apa yang dia alami bisa menjadi cerminan untuk generasinya, agar tidak banyak yang mengikuti jejak pemuda yang menentangnya, ia juga selalu meminta agar tidak menjadikan uang sebagai tumpuan segalanya layaknya Tuhan.

Dari kisah ini, aku banyak belajar tentang bagaimana kehidupan memberi makna, seperti pelangi yang memberi warna dan nyenyak di mata.

Walau ada yang demikian, bukan berarti semua sama. Hanya saja sakit yang lebih menyayat ternyata bukan oleh pedang, bukan akibat patah hati oleh pasangan, melainkan terhinanya diri ini oleh murid sendiri.