Menceritakan sebuah kertas merupakan hal yang sulit untuk ku-ungkapkan di sini. Karena ada banyak pengalaman berkaitan dengan kesedihan dan kebahagiaan yang pernah kulalui dengannya. Satu kali menulis surat cinta untuk perempuan dan gagal menjadi kekasih. Serta, satu kali menulis surat cinta kepada orang tua yang membuat hati pilu.

Akan kuceritakan dulu bagaimana pengalamanku menuliskan surat cinta untuk kedua orangtua di kampung halaman. Setiap sehari sekali, ayah dan ibu bergantian menelpon untuk mengetahui kabarku yang bekerja di Jogja. Meskipun ayah dan ibu punya banyak saudara di sini, ia tetap ingin mendapatkan kabar langsung dariku. Mulai dari pertanyaan ‘sudah makan apa belum?’ Sampai pada pertanyaan yang sulit kujawab ‘kapan kamu akan menikah?’

Pertanyaan demi pertayaan itu sulit kujawab dengan lidahku yang mulai tak bisa berkata jujur. Hingga suatu hari, aku memutuskan untuk menulis surat cinta kepada orang tua, agar mereka tahu jawaban dari dasar hatiku.

Aku mencoba berkali-kali menulis di lembar kertas HVS putih ukuran A4, namun selalu gagal. Kata-katanya sering tidak pas, seperti terlihat aku sedang berbohong. Kalau sudah begini aku hanya diam dan sejenak membayangkan bagaimana perasaan ayah dan ibu jika mereka membacanya. Lalu aku mulai menulis di kertas putih kosong ukuran A4 dari buku gambarku.

Kali ini aku menulis dengan penuh emosi, tanganku bergetar seakan tak mau berhenti menuliskan isi hati kepada orang tua yang jauh di sana. Saat menulis di kertas, aku mendapati diriku menjadi orang yang jujur dan ceplas-ceplos. Kata demi kata yang sulit diucapkan lewat telepon, bisa kutuliskan dengan mudah melalui kertas. Saat menulis, aku mendapati diriku menjadi laki-laki yang lembek, dan mudah sedih. Hal yang baru kusadari setelah aku membaca lagi tulisan yang akan kukirim lewat pos.

Entah apa jadinya jika orangtuaku membaca surat ini, aku hanya bisa membayangkan saja. Ada dua kemungkinan; pertama, mereka memahami kondisiku. Kedua, mereka mulai tidak mempercayaiku.

Surat itu sampai ditangan ayah dan ibu tiga hari setelahnya. Respon pertama datang dari adikku perempuan. Ia langsung menghubungiku via Whatsaap.

“Mas, ayah dan ibu menangis setelah membaca suratmu. Aku juga ikut menangis, kamu ini Mas selalu saja di istimewakan orang tua.” Ucap adikku.

“Hahaha. Itu aku menulis dengan jujur. Hal yang tak bisa kungkapkan dalam telepon.” Sambutku dengan tertawa.

“Kata Bapak, dia berhari-hari membaca suratmu sambil melihat foto album saat kau wisuda. Kalau ibu membaca suratmu, sambil memikirkan kapan kau akan menikah.” Sahut adikku.

Setelah peristiwa itu. Aku mengetahui kalau kedua orangtua sangat menyayangiku. Aku bersyukur ternyata melalui sebuah kertas, pesan yang sulit terucapkan bisa tersampaikan. Sesungguhnya itu merupakan pengalaman yang membahagiakan sekaligus membuatku memikirkan masa depan.

Aku ingin sekali pulang ke rumah, dan hidup bersama orang tua. Namun apa daya, aku hanya lulusan sarjana yang tak bisa apa-apa. Pekerjaanku di Jogja, tak akan mampu membuatku kaya raya di masa depan. Jika pulang kampung, aku hanya merepotkan orang tua. Karena pasti tetanggaku akan menggunjingku, karena ternyata aku hanyalah sarjana pengangguran yang merepotkan orang tua.

***

Baru tiga bulan yang lalu aku menuliskan surat cinta untuk perempuan yang kupuja dan kumimpikan dalam tidurku setiap malam. Ia hidup di dalam hati dan pikiranku. Semenjak pertemuanku yang tak terduga dengannya di sebuah cafe di Jogja, Ia selalu hadir disetiap malamku yang sendu.

Saat aku mencoba mengungkapkan cinta padanya, semua terasa berat. Mulutku tak bisa mengatakan hal itu, sepertinya aku tak punya nyali untuk mencintai seorang perempuan. Aku teringat saat ibuku berpesan padaku untuk segera mendapatkan calon istri agar ayah bisa tenang terhadap masa depanku. Karena pesan itu, aku bersemangat untuk mengungkapkan perasaanku pada perempuan yang kupuja. Aku menulis surat cinta untuknya tepat disaat ia wisuda.

Dua hari aku membuat surat itu, namun keberanianku untuk memberikan kertas itu padanya masih tak mungkin. Aku takut! Iya, aku takut bila ia tidak mencintaiku, terlebih aku takut bila ia pergi dariku. Namun setelah kupikir matang-matang, ternyata aku harus memberikan surat cinta padanya tepat saat ia wisuda.

Hari itu adalah hari paling buruk yang pernah kualami. Hari yang membuatku menjadi  lelaki paling menyedihkan di dunia. Setelah kuberikan surat cintaku padanya, ia tak pernah lagi membalas pesanku di telepon. Saat aku mencoba menghubunginya lewat telepon, ia tak pernah mengangakatnya.

Baru kusadari dua minggu sesudahnya, ia telah dilamar oleh kekasihnya. Kemudian ia berkata padaku lewat telepon ‘bahwa selama ini aku hanya menganggapmu sebagai seorang sahabat’ perkataannya itu terasa ganjil. Disaat ia mulai membuka hati dan seakan memberikan dunianya padaku, ia malah pergi. Ia pergi dengan sebuah luka yang dialamatkan padaku. Ia bahkan tak membalas surat cintaku.

Dalam hidup yang fana dan penuh kenaifan ini, aku mencoba sekeras hati untuk tidak mencintai siapapun selain kedua orangtuaku. Aku mulai jengkel dengan rasa cinta yang tiba-tiba tumbuh saat aku dekat dengan perempuan. Kadang aku merasa kecil, saat aku berhadapan dengan kedua kakakku yang telah menikah. Meskipun menikah itu bukan pilihan. 

Sebenarnya di dalam imajinasiku, aku ingin berkeluarga, membesarkan anak-anak dan memulai kehidupan baru. Namun pada titik selanjutnya, aku mulai ragu. Masih adakah hati yang terbuka jika perasaan luka yang mendalam itu belum juga sirna? Masih adakah rasa cinta untuk seorang lelaki yang keras kepala ini?

Jujur saja aku hanya bisa menuliskannya pada sebuah kertas. Kertas itu seakan menjadi hal buruk untukku. Namun disisi lain, kertas menjadi teman hidup disaat aku tak bisa berbicara lantang dan memilih diam. Berkata lewat tulisan menjadi sebuah pilihan, jika mulut sudah tak sanggup mengatakan kejujuran dan ketulusan.