Berbicara soal perempuan artinya, bicara tentang diri saya sendiri. Lahir sebagai perempuan di area urban kelas menengah, di era modernisasi, sepertinya saya perlu memberi komentar singkat kepada diri, “nikmat mana lagi yang harus saya dustakan.” Saya berkata demikian karena mungkin sebagian perempuan lain ingin ada di posisi saya, meskipun pada nyatanya di manapun perempuan berada masing-masing memiliki tantangnya tersendiri, tak terkecuali saya.

Tidak semuanya privilese menjadi kunci dalam menyelesaikan masalah, khususnya di sini adalah masalah kesetaraan. Menurut UN Women definisi kesetaraan adalah baik perempuan dan laki-laki memiliki hak-hak atas dirinya sendiri, artinya mereka bebas menentukan pekerjaan, pendidikan, perkawinan dari diri mereka sendiri tanpa dipaksa oleh pihak lain. 

Adanya hari khusus perempuan pun didasari semarak untuk memperjuangkan kesetaraan dalam perempuan di masa silam dengan latarbelakang sejarah yang cukup rumit hak-hak perempuan masih tersekat oleh nilai -nilai yang jauh dari makna humanis. Perempuan seringkali dianggap sebagai manusia kelas dua, inferior, objek pemuas nafsu dan lain-lain.

Privilese dalam arti harfiahnya adalah hak istimewa, namun apakah dengan memiliki hak istimewa semua masalah akan selesai? Tentu tidak. Isu kesetaraan bagi saya adalah sesuatu yang harus terus menerus digalakkan, sebab modernisasi yang menyeluruh nyatanya hanya diimplementasikan oleh sebagian pihak sebagian lain hanya secara fisik dan lahir yang terlihat modern pola pikirnya masih dibuai kenyamanan atas ketidaktahuan.

Saya hidup di keluarga yang dominasinya cukup dipegang oleh laki-laki, yaitu bapak saya. Meski demikian, kesetaraan juga dianut oleh kami walaupun tidak semuanya hanya beberapa aspek. 

Ibu yang sering ditinggal dinas banyak melakukan hal-hal di luar tugas ibu rumah tangga pada umumnya. Merenovasi sebagian ruangan, nyupir ke sana kemari, rutin ganti oli dan lainnya.

Namun dalam menyepakati suatu hal seringkali hanya bapak yang ambil peran, mungkin Blio pikir bijaknya,  kepala rumah tangga yang memutuskan baik burunya perkara. Padahal seorang istri juga berhak ikut andil dalam menyelesaikan beragam masalah apalagi bila cakupannya ruang lingkup rumah tangga, saya tidak jarang menyuarakan hal ini kepada bapak, menyuruhnya mendengarkan pikiran dan pendapat ibu dan ya… pada nyatanya masih belum diterapkan secara paripurna.

Dari sini saya berpikir, kesetaraan ternyata belum sepenuhnya dirasakan oleh perempuan bahkan dalam lingkaran kecil saya sendiri. Kesetaran memang hal yang harus dipahami dan dibuka ruang diskusi dengan seluas-luasnya agar memantik jiwa-jiwa empatik baik laki-laki maupun perempuan.

Belum lagi, jika kita berbicara perihal yang lebih luas, seperti pelecehan seksual pada perempuan. Saya setuju, pelecahan seksual bisa mengenai laki-laki maupun perempuan, namun di realitasnya kebanyakan masalah ini menimpa perempuan dan pelakunya laki-laki. 

.Saya sering sekali mendengar isu-isu in dan sepertinya masalah pelecehan seksual adalah fenomena gunung es, yang terlihat hanya di permukaannya saja padahal di bawahnya masih banyak yang belum terkuak.

Ibu saya memiliki kerabat yang menjadi korban KS, saat itu kebetulan saya sedang ada di rumah. Dan kami menyambut kedatangannya dengan sukacita, sambil ngemil makanan kami bercengkrama satu sama lain. 

Saya hanya tersenyum dan menyimak sambil memendam perasaan geram, sebab yang bisa saya lakukan hanya diam memerhatikan dia berbicara. Seperti yang kita ketahui juga bahwa korban KS tidak bisa dilindungi secara benar, bahkan malah balik disalahkan.

Mirisnya di realitas ternyata memang seperti itu. Korban malah disalahkan sebab pakaiannya yang mini, dikucilkan sebab mengundang nafsu birahi ini adalah bentuklogika berpikir  yang teramat kacau.  Korban dalam suatu kasus apapun seharusnya diberli hak perlindungan bukan malah dirundung dan disalahkan. Bukan hanya pola pikirnya yang hangus ditelan kebodohan namun juga empatinya yang teramat miskin.

Menjadi perempuan mungkin memang sulit atau bukan mungkin lagi tapi memang benar-benar sulit. Stigma-stigma yang mendominasi sana sini membuat perempuan terkungkung untuk terus mengamini kontruksi sosial yang dianut oleh mayoritas. Saya sendiri merasakan hal tersebut. 

Sebagai perempuan, saya bukanlah tipikal yang ramah, mudah tersenyum dan anggun, seperti kebanyakan masyarakat berpandangan demikian. Wajah saya yang datar, perkataan saya yang terdengar ketus dan minim basa-basi membuat sebagian orang memandang saya tidak seharusnya berprilaku seperti itu.

Tidak jarang saya mendapati cemooh-cemooh yang untungnya hanya saya terima dalam telinga tidak dalam hati, misalnya, “Jangan judes, perempuan judes nanti jodohnya lama.”, “Senyum dong, neng masa perempuan cemberut terus.” Dan lain-lain. 

Saya heran, mengapa bila perempuan cuek, tidak banyak bicara, judes terlihat sangat memprihatinkan seolah-olah tidak sesuai tata krama yang baik dan benar sedangkan laki-laki justru sebaliknya. 

Mereka akan terlihat keren karena cuek, tidak banyak bicara dan minim basa –basi. Mengapa tanggapan masyarakat begitu berbeda? Apakah kita, perempuan tidak berhak menjadi diri sendiri tanpa harus dihakimi oleh steriotip yang menjemukkan? Coba jawab dalam hati dan pikiran masing-masing.

Ada banyak isu dan perihal jika membahas soal perempuan, bagi saya hidup menjadi perempuan memang tidak mudah. Ada banyak steriotip yang yang menggambarkan sebaiknya perempuan begini dan begitu, bahkan menjadi diri sendiripun kita masih kesulitan. 

Padahal, kita memiliki keistimewaannya masing-masing ada yang terlahir atau memiliki perawakan, rambut pendek, rambut panjang, rambut lurus, rambut keriting, kulit hitam, kulit putih, kulit dengan penyakit tertentu, jerawatan, mulus, semok, enggak semok, gingsul, gemuk, kurus, tinggi, pendek, introvert, ekstrovert dan keberagaman lainnya. Mau seperti apapun, kita indah dengan cara kita masing-masing.

Momentum hari perempuan internasional semoga bukan sekadar produk selebrasi semata tanpa esensi perjuangan yang konkret, kalau belum bisa secara keseluruhan menerapkan nilai-nilai kesetaraan setidaknya bisa dimulai dari lingkup kecil kita, istri, pacar, ibu, nenek, saudara perempuan, asisten rumah tangga, ibu-ibu pasar, buruh perempuan … lihatlah mereka bukan sebagai objek melainkan sebagai manusia utuh yang sama-sama memiliki hak-hak kehidupan dan kelayakan yang setara.


Turki, 2022