Hari ini, 8 Oktober 2020, mahasiswa bergerak atas “Seruan Aksi Nasional” dengan tagar #CabutOmnibusLaw yang akan bertempat di Istana Negara (dikutip dari Instagram @bem_si). Demo ini berjalan dengan catatan tetap menjaga protokol kesehatan, “Gunakan Masker dan Terapkan Protokol Kesehatan”, dikutip dari poster yang beredar di media sosial.
Bagaimana dengan buruh? Dilansir dari bbc.com, kelompok buruh mengatakan akan mogok nasional dan berunjuk rasa selama tiga hari pada 6 – 8 Oktober 2020, walaupun DPR sudah mengesahkan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja pada Senin (05/10).
Saya pribadi mengapresiasi kepedulian mahasiswa terhadap para buruh. Saya mahasiswa, namun untuk demo pada hari ini saya tidak hadir. Ada beberapa alasan saya tidak hadir.
Pertama, fisik saya beberapa bulan terakhir sering lemah sering sakit saya tidak tahu mengapa ini dapat terjadi pada saya. Saya menulis ini dengan usaha lebih keras di kondisi yang tidak stabil ini.
Kedua, saya prihatin kepada mahasiswa yang terlalu ambisius dalam berdemo, merasa bahwa suara dia sangat berpengaruh dengan update status di media sosial, maaf saya harus katakan diksi-diksimu hanya untuk pamer dan untuk menunjukkan eksistensimu sebagai mahasiswa.
Ketiga, mahasiswa berunjuk rasa hanya untuk konten saja, untuk dibilang aktivis kampus, tanpa mengetahui substansi dari perkara yang terjadi, walaupun tidak semua seperti itu.
Keempat, saya tidak setuju dengan tag #GagalkanOmnibusLaw #TolakOmnibusLaw karena menurut saya itu percuma karena palu sidang sudah diketuk (atas perjalanan rapat panjang yaitu sebanyak 64 kali), kecuali jika diproses lewat jalur hukum.
Unjuk Rasa
Demo atau bahasa jadulnya yaitu “Unjuk rasa” adalah sebuah gerakan protes yang dilakukan sekelompok orang untuk menyatakan pendapat atau menentang kebijakan yang dilaksanakan suatu pihak. Dalam definisi ini, frasa “gerakan protes” seakan-akan lebih ditonjolkan dibanding substansi yang disampaikan dalam unjuk rasa.
Secara empiris, istilah “unjuk rasa” yang umum dilakukan masa kini berbeda misalnya yang dilakukan pada zaman dahulu. Unsur kearifan, moralitas, kesantunan, serta pentingnya ditegakkan asas keadilan yang dahulu sangat ditonjolkan, dalam unjuk rasa hari ini sangat jauh memudar. Unsur ini seharusnya menjadi faktor esensial, sehingga unjuk rasa tidak tergambar sosok yang menyeramkan atau berujung anarkis.
Unjuk rasa diperlukan untuk penyesuaian perbedaan pendapat dan pandangan di masyarakat agar dapat ditegakkannya asas keadilan. Secara teori, aksi unjuk rasa adalah bagian dari mekanisme interaksi antar anggota atau kelompok di ruang publik yang tidak seharusnya berakhir dengan suasana “tragis”. Jika saja unjuk rasa dapat direspon secara positif oleh pemerintah, mungkin dapat menemukan jalan tengah.
Unjuk rasa merupakan sebuah “jalan terakhir” untuk menyelesaikan masalah kebijakan publik. Disebut jalan terakhir ini secara umum karena beberapa kelompok yang melakukan unjuk rasa sudah melewati proses hukum namun tidak ditanggapi atau ditolak gugatannya. Penyampaian aspirasi secara baik dinilai kurang efektif karena kalangan elit masih “sangat bebal” atas jeritan masyarakat menengah kebawah. Antara elitenya bebal atau kitanya yang tidak terlalu kuat.
Kami sebagai mahasiswa pernah dikritik habis-habisan oleh pengamat politik UIN Jakarta, Bang Adi Prayitno. Ia mengatakan, “Mahasiswa di era sekarang terlalu lembek, demo kemarin yang tentang KPK juga hanya sebentar, kebanyakan dari mereka kurang cukup mental karena memang tidak sistematik, seharusnya bertahap, kritisi kebijakan kampus dulu tuh dimulai dari parkiran kok bayar, kemudian naik tingkat ke provinsi, baru nasional. Ini langsung nasional ya tidak kuat jadinya. Jangan-jangan kalau ditanya berapa wilayah yang mengadakan pilkada serentak kamu tidak tahu”.
Oh iya, pilkada apa kabar? Strategi politik pemerintah sekarang saya akui, sudah kuat. Mungkin karena faktor kemajuan teknologi yang membuat informasi menyebar lebih cepat. Sehingga isu-isu yang keluar sekaligus, tidak satu-satu, saya sendiri jadi bingung mau mengkritisi yang mana.
Pahami Substansi dan Sederhanakan Ambisi
Saya benar-benar tidak ingin bersuara pada situasi unjuk rasa hari ini, namun entah apa yang merasuki diri saya sehingga ada gairah untuk menulis tentang ini. Karena berawal dari status teman-teman saya yang terlalu banyak di beranda Instagram maupun di status WhatsApp.
Jujur saya agak risih dengan tulisan, komentar, dan poster provokasi di media sosial. Apalagi tulisan itu dari media sosial juga (hasil copy paste dan re-upload) tanpa dicari tahu kebenarannya terlebih dahulu, kalau orang biasa ya saya maklumi, lah ini mahasiswa.
Ya sudah, wajar seperti itu mungkin karena kalian terlalu bersemangat atau males baca? Saya juga males baca, ya gimana nggak males, jumlah drafnya 900+ halaman. Saya juga males bahas di sini, memicu debat kusir online dan sudah banyak juga yang bahas.
Saya waktu demo tahun lalu saya baca berkali-kali draf tentang revisi UU KPK, tetap saja saya tidak mengerti. Tapi saya nggak bilang-bilang mau demo, nggak update status juga, dan yang paling parah saya ikut demo hanya dua orang yang tahu, yaitu wartawan kampus yang kebetulan ngeliput di lapangan. Saya diminta untuk temani dia, ya sudah saya mau saja tanpa tahu substansinya, hehe.
Mungkin saya dan kamu pernah merasakan itu, ikut-ikutan. Tapi kalau ikut-ikutan ya dimaksimalkan, jangan ada rusuh dikit malah kabur duluan. Jangan demo belum selesai sudah pulang, lah situ demo apa rekreasi?
Saya di garda paling depan waktu unjuk rasa tahun lalu, namun di barisan wartawan dan bebas ke mana pun. Dari ribuan mahasiswa, paling hanya ratusan yang memang tidak ikut-ikutan dan mempunyai mental kuat ingin benar-benar melawan ketidakadilan.
Saya respect sama kalian yang bertahan sampai malam, boro-boro update status, megang handphone saja tidak. Walupun ujung-ujungnya yang duduk di kursi DPR nanti hanya kepala-kepalanya saja yang sudah mempunyai jabatan di kampus, bukan yang memang benar-benar aktivis.
Terus kalau saya ditanya, “kamu setuju dengan omnibus law?” Saya jawab “Setuju, dengan catatan ada beberapa poin yang harus direvisi, bukan di gagalkan ataupun ditolak. Jangan hanya melihat dari sudut pandang pekerja saja, tapi lihat juga dari sudut pandang pengusaha kemudian bandingkanlah”. Baca kisah-kisah di lapangan mengenai kinerja buruh, ini untuk memperluas wawasan kalian.
Terakhir, berdasarkan Pasal 72 ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (“UU 12/2011”), RUU yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi Undang-Undang. Jadi, yang mengesahkan suatu RUU menjadi undang-undang adalah presiden.
Lebih lanjut diatur bahwa penyampaian RUU dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama (Pasal 72 ayat (2) UU 12/2011).
Kemudian, menurut Pasal 73 ayat (1) UU 12/2011, RUU itu disahkan oleh Presiden dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak RUU tersebut disetujui bersama oleh DPR dan Presiden.
Dalam hal RUU tidak ditandatangani oleh Presiden dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak RUU tersebut disetujui bersama, RUU tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan [Pasal 73 ayat (2) UU 12/2011].
Jadi, masih ada harapan. Semangat untuk semuanya.
*Saya menulis ini berusaha senetral mungkin, karena saya tidak mempunyai kepentingan apa pun, saya cuma laki-laki biasa yang senang galau, karena asik aja gitu, ada seninya.