"Maaf, saudara, itu uang rakyat. Saya tidak mau terima. Kembalikan!" tegas seorang pria  suatu ketika saat disodori amplop tebal berisi uang saku.

Dialah Mohammad Hatta, atau yang lebih akrab disapa Bung Hatta, tokoh penting sebelum dan sesudah kemerdekaan Indonesia.

Bung Hatta adalah satu dari sedikit pejabat yang semasa hidupnya patut menjadi teladan bagi generasi penerusnya. Mengenang sosok Bung Hatta tidak pernah terlepas dari pribadinya yang jujur, lugu, sederhana, dan bijaksana.

Bung Hatta dengan tegas menolak sodoran amplop berisi uang yang diberikan oleh seseorang pada saat kunjungannya ke Bumi Cenderawasih. Tepatnya di Tanah Merah, Irian Jaya, tempat dia pernah dibuang oleh Belanda. 

Rupanya, meski sudah menjadi mantan pejabat pemerintah, yang mensponsori perjalanan itu masih memperlakukan Hatta bak pejabat tinggi negara. Namun Hatta tidak mau diperlakukan demikian. Baginya, diberi fasilitas untuk bisa berkunjung ke sana saja sudah lebih dari cukup.

Dalam buku Hatta di Mata Tiga Putrinya, anak kedua Bung Hatta, Gemala Hatta, menceritakan tentang kejujuran ayahnya saat menggunakan fasilitas negara yang memang menjadi haknya.

Pada 1971, Bung Hatta baru tiba di Indonesia usai berobat dari Negeri Kincir Angin. Bukannya beristirahat, hal yang pertama kali diminta Bung Hatta pada sekretaris pribadinya adalah laporan penerimaan dan pengeluaran uang selama ia berada di Belanda tersebut.

Gemala mengatakan, sudah menjadi kebiasaan ayahnya setiap pulang dari luar negeri selalu meminta sekretaris pribadinya, I Wangsa Widjaja, menulis laporan keuangan. Sepeser rupiah pun yang tersisa dari perjalanan dinasnya tidak mau ia ambil dan selalu harus dikembalikan ke kas negara.

Kejujuran Bung Hatta ini kerap menambah repot tugas sekretarisnya. Sebab setiap hendak mengembalikan sisa uang perjalanan dinas, bendahara negara selalu menolaknya. Menurut mereka, sisa perjalanan dinas tidak perlu dikembalikan karena itu dianggap sebagai uang saku tambahan.

Namun Bung Hatta, bukannya senang mendapat uang saku tambahan, malah menegur Wangsa dengan keras. Ia dengan tegas mengatakan bahwa sisa uang itu harus dikembalikan ke kas negara. Sebab seluruh kebutuhan ia dan rombongannya sudah terpenuhi semua. 

Alhasil, Wangsa kembali ke Sekretariat Negara dan memaksa uang itu harus dimasukkan kembali ke kas negara. Tak lupa ia meminta bukti tertulis untuk diserahkan ke Bung Hatta.

Dalam buku Mengenang Bung Hatta, Wangsa yang selama puluhan tahun menjadi sekretaris pribadi Bung Hatta menulis bahwa dirinya pernah kena tegur Bung Hatta karena menggunakan tiga helai kertas dari kantor Sekretariat Wakil Presiden. Hal itu tidak dibenarkan Hatta karena Wangsa menggunakan aset negara untuk membalas surat yang bersifat pribadi. Hatta kemudian mengganti kertas tersebut dengan uang pribadinya.

Masih terkait soal kertas, Gemala Hatta pun mengaku pernah kena tegur sang ayah. Alkisah, Gemala yang menjadi pekerja paruh waktu di Konsulat RI di Sydney pada 1975 pernah mengirim surat menggunakan amplop berkop Konsulat Jenderal.

Teguran itu tertuang dalam surat balasan yang diterima Gemala dari sang ayah beberapa waktu kemudian. 

"Ada satu yang Ayah mau peringatkan kepada Gemala: kalau menulis surat kepada Ayah dan lain-lainnya, janganlah dipakai kertas Konsulat Jenderal RI. Surat-surat Gemala, kan, surat privat, bukan surat dinas. Jadinya tidak baik dipakai kertas Konsulat." 

Dari situ Gemala mafhum betapa rigidnya ayahnya dalam memisahkan mana milik negara dan mana milik pribadi. Walaupun sepertinya sepele, hanya selembar amplop.

Mohammad Hatta tidak pernah tergoda dengan kekuasaan dan uang. Setelah menjadi warga negara biasa, tidak sedikit tawaran dari berbagai pihak yang menawarkan pekerjaan dan kedudukan. Namun Hatta menolaknya.

Salah satu tawaran itu datang dari Bank Dunia yang menawarkan pekerjaan, lalu banyak perusahaan Belanda yang menawari Hatta untuk menjadi komisaris dengan gaji yang cukup besar. Namun Hatta dengan tegas menolak semuanya. 

Walaupun telah memiliki jasa yang besar untuk kemerdekaan bangsa Indonesia, Hatta tidak ingin meminta sesuatu untuk kepentingan pribadinya, baik dari orang lain maupun kepada negara.

Kepribadian dan karakter Hatta terbentuk dari keturunan serta lingkungannya. Pengalaman hidup di masa kecil serta dimatangkan oleh ilmu pengetahuan yang diperolehnya juga menjadi faktor terbentuknya karakter Hatta.

Sejak kecil, Hatta telah memperlihatkan ciri-ciri seorang pemimpin. Bila ada perselisihan terjadi di tengah-tengah keluarga, Hatta selalu dapat menyelesaikannya. Hatta akan memikirkan suatu permasalahan dan dipikir dengan matang-matang setelah itu baru mengambil keputusan.

Hatta telah memberikan warisan kenegarawanan sejati untuk ditiru. Hatta merupakan seorang pejuang yang tidak memburu kekuasaan. Baginya, daripada menyelewengkan cita-cita kemerdekaan, lebih baik ia meninggalkan jabatannya. Ia hingga kini diyakini sebagai pejabat paling bersih, paling jujur, dan uncorruptable.

Demi menjaga jiwa kenegarawannya, Hatta tidak mau sedikit pun, sehalus apa pun, menodai dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme karena ia setia kepada hati nuraninya. Hatta sangat mendambakan bangsa ini maju, dengan jalan setiap pejabat negara mengikuti prinsip hidupnya yang menyatu antara kata, tulisan, ucapan, dan perbuatan.

Politik dalam pandangannya adalah untuk kesejahteraan rakyat, bukan memanfaatkan rakyat untuk politik pribadinya. Pejabat harus bersih, jujur, dan bermartabat serta membangun ekonomi rakyat melalui koperasi. 

Hatta selalu berjuang tanpa melalui kekerasan. Ia sangat berhati-hati dalam mencari strategi. Senjata ampuh yang digunakan Hatta adalah otak dan pena. Ia sangat anti dengan kekerasan karena prinsip Hatta adalah menghormati manusia, baik kawan maupun lawan.